tirto.id - Sebagian besar perusahaan global berlomba masuk ke Indonesia. Mereka melihat Indonesia adalah pasar yang menarik. Marketnya seksi, istilah mereka. Produk retail, makanan-minuman, fashion, barang bergerak, elektronik, digital, barang mewah, sampai properti lokal dan internasional coba dirangsek ke pasar Indonesia, ternyata terbeli. Beberapa berdampak naiknya impor tinggi.
Sebagai negara yang cukup konsumtif, bisa disebut negeri konsumen, semestinya punya daya tawar dengan produsen. Ingat jargon, “pembeli adalah raja”. Sampai sejauh mana pembeli adalah raja menjadi kenyataan? Hal itu bak pujian yang menghanyutkan. Konsumen Indonesia belum mendapatkan perlindungan yang bagus sebagaimana seorang raja.
Dalam hal produk elektronik misalnya, apabila terjadi komplain atas produk, yang terjadi adalah perselisihan antara pembeli (konsumen) dengan penjual, belum tentu sampai ke produsen. Artinya, masalahnya dibiarkan menjadi kasus horisontal karena tidak ada perlindungan oleh negara.
Dalam soal produk jasa, sebagai contoh soal kapasitas akses internet (bandwidth), penjual lebih kuat dibanding pembeli. Layanan sampai-dengan alias kapasitas-hingga (up-to) sering menjebak konsumen menjadi tidak terlindungi karena beli ukuran 5 mbps, kemudian cuma dapat kurang dari 1mbps bisa dianggap sah, karena toh up-to. Paling konsumen pindah ke provider lain pesaingnya.
Indonesia adalah negara besar, minimal dari jumlah penduduk. Ekonomi juga sedang aman, bila memperhatikan pidato Presiden Jokowi sehari menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus di DPR. Angka pertumbuhan ekonomi lumayan bagus 5,3%, tingkat inflasi bisa ditekan sampai 4%, meski nilai dolar Rp13.300 tapi PPP (purchasing power parity/kemampuan daya beli) kita dibanding dengan Gross Domestic Product (GDP) sebesar 58% di atas rata-rata. Kemampuan ini cukup bagus dan semestinya memiliki posisi tawar, meski kita sebagai negara konsumen.
Akan tetapi, alih-alih terlindungi, konsumen Indonesia sering berada di posisi tawar lemah. Konsumen belum merdeka. Semestinya, konsumen bisa menentukan barang yang akan dibeli, menentukan kualitas dengan syarat-syarat yang dimaui (requirement). Sehingga, produsen tidak seenaknya menjejalkan barangnya. Apalagi barang busuk, teknologi usang, tidak peduli kesehatan, dan sebagainya.
Konsumen melalui negara sebenarnya bisa menentukan prasyarat pada produsen. Kita ambil contoh negara Denmark, Inggris, atau Israel. Dalam hal perangkat listrik misalnya, mereka memiliki standar sendiri. Di Inggris misalnya, untuk miniature circuit breaker (MCB) yang mengatur arus listrik ke rumah, harus memakai standar sesuai dengan BS-7671 yang disahkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan perkabelannya. Produsen dari negara manapun, kalau mau mengekspor ke Inggris, harus memproduksi barang sesuai dengan standar (requirement) yang ditetapkan. Di luar itu, akan ditolak.
Begitu juga di Denmark, colokan steker listriknya harus menggunakan standar plug 107-2-D1 standard sheet (SRAF1962/DB-16/87 DN10A-R) yang mana model colokan ini dinilai aman buat anak-anak. Begitu pula Israel punya standar plug SI32 (Type H) yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen negerinya. Itu pula yang menyebabkan barang-barang IT dari Cina tak mudah diterima di Amerika.
Tampaknya hal ini kecil dan sepele, tapi mereka melakukan penelitian apa yang sesuai untuk negaranya. Perangkat listrik tadi hanya salah satu contoh. Untuk makanan (F&B), produk elektronik, toiletris, juga ada. Semua itu arahnya untuk perlindungan konsumen negara tersebut. Diharapkan produsen negara setempat bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Bukan berarti menentang perdagangan internasional dengan menolak barang/produk negara lain namun kebijakan negara atas nama perlindungan konsumen.
Apakah negara peduli dengan rakyatnya sebagai konsumen agar terlindungi? Memang, kita sudah punya Undang-Undang No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, menurut pendapat Yohanes Gunawan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung, UU Perlindungan Konsumen sudah saatnya direvisi. Ada empat perubahan substansi dalam UUPK, yaitu: 1) Hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha/penyedia jasa, perlu dirinci sesuai dengan perkembangan jaman, ada soal barang bergerak dan tak bergerak, berwujud, dan profesionalisme untuk jasa. 2) Perlunya menjelaskan secara rinci tanggung jawab pelaku usaha barang dan jasa. 3) Perjanjian baku dan klausula baku. Perlunya kontrak yang dilakukan dalam e-commerce agar melindungi konsumen, termasuk aturan digital kontrak karena banyak transaksi online. 4) Penyelesaian sengketa konsumen atau kelembagaan perlindungan konsumen.
Pasal 23 UUPK menjelaskan sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua cara yakni pengadilan dan luar pengadilan. UUPK menyebutkan putusan yang diselesaikan melalui jalur non litigasi atau BPSK adalah final dan mengikat. Kemudian atas putusan tersebut, ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan melalui pengadilan. “Alur penyelesaian semacam itu keliru,” kata Yohannes seperti dikutip hukumonline.
Dalam hal perlindungan konsumen, di Asean kita juga kalah peduli dibanding Malaysia dan Thailand. Malaysia misalnya, ada badan DSM (Departement of Standards Malaysia) dengan mandat melipatgadakan kualitas hidup rakyat Malaysia agar berdaya saing global untuk produk & jasa Malaysia. Termasuk di dalamnya objektifnya melindungi konsumen. DSM didukung lembaga riset bernama SIRIM yang fokus melakukan kajian standard industri.
Thailand juga memiliki lembaga serupa yakni TISI (Thai Industry Standard Institute) berada di bawah Kementerian Perindustrian. Badan ini diisi wakil pemerintah dan swasta. Di TISI seperti halnya DSM dilengkapi perlindungan konsumen dan advokasi.
Semua barang baik yang diproduksi dalam negeri maupun luar negeri dan dikonsumsi dalam negeri harus mendapatkan label/sertifikasi keamanan dan kualitas serta komposisi disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri.
Indonesia memiliki Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang mengeluarkan standar nasional Indonesia (SNI). Akan tetapi sayang di BSN tidak ada advokasi. Di situs resmi BSN ada e-pengaduan, itu bukan aduan konsumen tapi laporan masyarakat bila petugas BSN nakal.
Advokasinya selama ini diserahkan ke YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) yang merupakan lembaga non pemerintah (NGO). Ketika konsumen Indonesia digempur produk berbagai macam, baik dari global maupun dari lokal, tidak ada pemerintah mengadvokasi konsumen tapi dilempar YLKI yang tentu tidak maksimal. Membuat konsumen Indonesia tidak mendapatkan kemerdekaan.
Di Malaysia dan Thailand, standarisasi tidak hanya untuk produk, tetapi juga untuk jasa. Sedangkan di Indonesia, SNI belum diwajibkan untuk seluruh barang. Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) PP 102/2000, SNI bersifat sukarela untuk ditetapkan oleh pelaku usaha. Akan tetapi, dalam hal SNI berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan/atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis sesuai parameter dalam SNI (Pasal 12 ayat [3] PP 102/2000), terkesan bersifat opsional.
Dari catatan dari peraturan tentang perlindungan konsumen di beberapa negara, adalah: A) Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan produk dan jasa dari kebutuhan sehari-hari, termasuk makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan perumahan; B) Konsumen dilindungi dari produk, jasa, dan proses manufaktur yang berbahaya bagi kesehatan dan hidupnya; C) Konsumen berhak mendapatkan informasi seluruh barang baik yang dibuat di dalam negeri maupun luar negeri dan mendapat label proteksi dari pemerintah; D) Konsumen berhak mendapat keselamatan dengan adanya info kesesuaian kualitas, kondisi, asal produk, dan volume; E) Konsumen berhak meminta ganti rugi jika produk/jasa yang diberikan produsen tidak sesuai; F) Konsumen berhak atas persyaratan kontrak yang adil.
Di Kementerian Perindustrian sebenarnya ada aturan tentang TKDN (tingkat kandungan dalam negeri), yang pendekatannya agar produsen lokal lebih berdaya dalam pemenuhan dalam negeri. Aturan TKDN bukan dalam konteks perlindungan konsumen tapi lebih ke produsen lokal.
Hal yang menarik, bahwa meskipun brand global berseliweran di Indonesia, ternyata konsumen kita masih percaya pada brand lokal. Ini berdasar hasil riset oleh McKinsey dan Millward Brown.
Dalam Indonesia Consumer Report McKinsey tahun 2014, dengan 5500 responden di 44 kota dengan wawancara, hasilnya bahwa 75% mereka sudah punya pilihan produk sebelum ke toko untuk kebutuhan rumah tangga, 2/3 memilih mi instan, teh, coklat, kopi, dan jus untuk makanan&minuman. Mereka percaya dengan produk lokal karena dianggap lebih mengerti kebutuhan mereka dibanding brand asing. Kecuali untuk barang elektronik banyak konsumen masih perlu advis penjual di toko. Beberapa brand asing memang sudah ada yang familier yang tanpa sadar dianggap lokal, seperti produk Unilever atau P&G sebagai misalnya.
Penelitian McKinsey tampaknya sebelas-duabelas dengan Milward Brown yang dalam penelitian demografi tahun 2015 tentang 50 Top Valuable Brand dengan metode kuantitatif secara interview, hasilnya 10 besar adalah brand lokal: BCA, Bank BRI, Telkomsel, Bank Mandiri, Sampoerna A-Mild, Matahari Mal, BNI-46, Rokok Surya, Dji Sam Soe kretek, dan Marlboro. Dari 50 yang produk (afiliasi) asing antara lain, Pepsodent, Rinso, Sunsilk, Ponds, Lifebuoy, dan Clear. Saking kuatnya mereka seolah sudah jadi brand lokal.
Mumpung masih dimenangkan brand lokal, masih ada kesempatan bagi negara berbuat untuk melindungi konsumen dengan lebih peduli. Bukan sekadar pernyataan tapi dengan menyusun RUU Perlindungan Konsumen yang adaptif dan membentuk badan yang berdiri atas nama konsumen, serta membuat standard barang dan jasa yang melindungi konsumen. Dengan demikian negara hadir untuk kemerdekaan konsumen.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.