tirto.id - Konsep teori konstruktivisme dalam hubungan internasional muncul sebagai alternatif untuk mengakomodasi hal-hal abstrak atau nonmaterial yang tidak dihiraukan oleh dua perspektif lain, yakni liberalisme dan realisme.
Perspektif konstruktivisme telah ditemukan sejak abad ke-18. Giambattista Vico merupakan salah satu ilmuwan yang berkontribusi besar dalam perkembangannya. Namun, perspektif konstruktivisme mulanya dikembangkan dan digunakan dalam studi sosiologi.
Konstruktivisme dikembangkan dalam studi hubungan internasional bersamaan dengan beberapa postmodernisme seperti perspektif kritis, postkolonialisme, dan feminisme.
Para ilmuwan mentransformasikan konstruktivisme sebagaimana perspektif postmodernisme lain karena ketidakpuasan akan penjelasan perspektif arus utama seperti perspektif realisme, liberalisme, dan strukturalisme.
Teori Konstruktivisme dalam Hubungan Internasional
Teori konstruktivisme hadir guna mengisi celah yang ditinggalkan oleh perspektif liberalisme dan realisme.
Teori realisme hanya menggunakan konsep balance of power. Sementara itu, teori liberalisme menggunakan terma-terma demokratis, independensi, dan institusi internasional.
Di samping itu, perspektif realisme dan liberalisme cenderung menekankan aspek material seperti kapabilitas militer, ekonomi, dan tingkat kerja sama. Aspek nonmaterial seperti gagasan dan norma tidak dibahas oleh kedua teori itu.
Teori konstruktivisme memusatkan perhatian pada peran norma dan identitas dalam menganalisis persoalan perang dan damai. Dalam konsep konstruktivisme, identitas nasional dan norma politik domestik menjadi bahan utama pemecahan masalah dalam hubungan internasional.
Budi Handoyo dalam modul Geografi Kelas XII (2022) menjelaskan, konstruktivisme merupakan landasan berpikir yang menawarkan konsep alternatif, bahwa konsekuensi pengalaman sejarah dapat membangun sebuah kenyataan sosial. Secara tidak langsung, berbagai tindakan yang telah dilakukan di masa lalu akan menghasilkan konsekuensi berupa fakta sosial yang terjadi kini.
Sugiarto Pramono dan Andi Purwono, dalam jurnal Konstruktivisme Dalam Studi Hubungan Internasional: Gagasan dan Posisi Teoritik (2010), menyebutkan dua gagasan kunci teori konstruktivisme dalam hubungan internasional.
Pertama, struktur-struktur yang menyatukan umat manusia ditentukan oleh gagasan yang diyakini bersama (share ideas), bukan dari kekuatan material.
Kedua, identitas dan kepentingan aktor-aktor ditentukan share ideas, bukan faktor alam. Dalam hal ini, tindakan aktor ditentukan oleh interaksi antar-individu di lingkungan sekitar seperti struktur sosial, politik, ekonomi, hingga budaya, bukan semata-semata motif, alasan, dan kepentingan.
Salah satu pandangan konstruktivisme dalam hubungan internasional adalah komunitas keamanan, yakni perkumpulan antar-negara yang menyelesaikan permasalahan tanpa kekuatan militer, melainkan melalui cara-cara damai (peaceful changes). Dengan begitu, pandangan konstruktivisme memunculkan kerja sama antarnegara secara konstruktif.
Implementasi paradigma konstruktivisme membuat kerja sama antarnegara lebih dinamis, damai, setara, dan produktif, sehingga menumbuhkan banyak kerja sama baik bilateral, multilateral, dan regional.
Contoh Kasus Konstruktivisme dalam Hubungan Internasional
Contoh kasus konstruktivisme dalam hubungan internasional adalah krisis Semenanjung Korea. Kasus krisis tersebut nyaris memicu konflik terbuka Tiongkok dan Amerika Serikat tetapi tidak terjadi.
Dalam pandangan konstruktivisme, konflik terbuka tidak terjadi karena peran norma dan identitas nasional Tiongkok yang berbeda dengan Amerika Serikat dalam menghadapi situasi keamanan di kawasan.
Tiongkok memakai norma cooperative security sebagai prinsip diplomasi di pentas global.
Cooperative security yang juga disebut dengan istilah hezuo anquan ini berasal dari Etika Konfusian yang menjadi prinsip politik Tiongkok. Etika ini didasarkan pada filsafat konfusianisme, yang memandang bahwa harmoni dan kedamaian merupakan sebuah kebaikan.
Norma tersebut membuat Tiongkok mampu mendinginkan suasana tanpa harus kehilangan muka. Di samping itu, normal cooperative security merepresentasikan identitas Tiongkok sebagai negara besar yang bertanggung jawab dalam masalah internasional untuk mengedepankan dialog daripada konfrontasi.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin