tirto.id - "Ini [unjuk rasa di Bandara Hong Kong] sangat memengaruhi bisnis. Pada dasarnya semua bisnis. Kita harus berhenti menggunakan kekerasan. Itu hal yang paling penting. Baru kita bisa bicara."
Begitulah harapan pengusaha asal Hong Kong Allan Zeman, seperti dilansir Bloomberg. Presiden Direktur Lan Kwai Fong Grup di Hong Kong ini adalah salah satu pelaku usaha yang bisnisnya terganggu akibat protes berkepanjangan di Hong Kong.
Sudah sembilan pekan Hong Kong dilanda protes besar menolak rencana RUU Ekstradisi yang digulirkan Pemerintah Hong Kong. Protes yang diwarnai bentrok dengan polisi dan kerusuhan itu jelas menjadi mimpi buruk pengusaha. Apalagi, aksi protes juga sempat membuat operasi Bandara Hong Kong ditutup sehingga denyut perekonomian terganggu.
Sebagaimana di Hong Kong, geliat ekonomi dan investasi Papua dan Papua Barat pun terganggu akibat sejumlah konflik yang tak kunjung mereda. Beberapa hari terakhir, kerusuhan di beberapa tempat di Papua sebagai imbas dari pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya juga sempat merembet ke bandara.
Fasilitas Bandara Sorong mulai dari bangunan hingga kendaraan dirusak. Kerusuhan juga terjadi di Fakfak, Papua Barat. Sejumlah kios dibakar massa.
Tantangan Presiden Jokowi membangun perekonomian setempat jelas semakin berat. "Kalau berkepanjangan biasanya dia [konflik] punya impact ke persepsi investor terutama Papua. Kan, kita kenal sebagai sektor yang banyak menarik investasi tambang," kata Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto kepada Tirto.
Fokus Khusus Jokowi
Pulau Papua merupakan salah satu wilayah yang mendapatkan banyak perhatian khusus selama pemerintahan periode pertama Presiden Jokowi. Sejak dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, lebih dari 10 kali Jokowi mengunjungi Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Pilpres 2014, pasangan calon Jokowi dan Jusuf Kalla juga mengawali kampanye mereka di sana.
Selama ini, geliat ekonomi Indonesia lebih banyak berpusat di Pulau Jawa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa menyumbang 59,11 persen dari PDB Indonesia per kuartal II/2019. Kontribusi Pulau Papua dan Maluku paling kecil dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, yakni sebesar 2,17 persen. Keduanya berada di bawah Pulau Bali dan Nusa tenggara dengan 3,06 persen, Sulawesi sebesar 6,34 persen, Kalimantan 8,01 persen, dan Sumatera 21,31 persen.
Tak heran, Pulau Papua menjadi fokus utama akselerasi pemerataan pembangunan pemerintah di kawasan timur Indonesia dengan tema besar "Membangun Papua untuk kemakmuran Rakyat" (PDF). Program Jokowi untuk Papua antara lain membuka keterisolasian antardaerah melalui Jalan Trans Papua, membangun bandara dan pelabuhan baru, hingga menaikkan rasio elektrifikasi PLN.
Sejumlah program lainnya, sementara itu, bertujuan untuk meningkatkan produksi daging dan perkebunan rakyat, memberikan 10 persen divestasi Freeport untuk Papua, hingga membangun kawasan zona industri. Tak ketinggalan, pemerintah juga meningkatkan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan di Pulau Papua.
Lantas, bagaimana hasilnya?
Merujuk data dari BPS, tren pertumbuhan ekonomi di Papua dan Papua Barat meningkat positif, namun kurang stabil. Belakangan, pertumbuhan ekonomi Papua dan Papua Barat malah minus.
Pertumbuhan ekonomi Papua pada kuartal II/2019 ini minus 23,98 persen dari periode yang sama tahun lalu. Begitu pula Papua Barat. Pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut pada kuartal II/2019 juga turun 0,5 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
"Penurunan ini terutama disebabkan berkurangnya produksi bijih logam Freeport di Papua, di mana sedang dalam masa transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC)," sebut BPS dalam rilisnya.
Selain faktor Freeport, anjloknya ekonomi juga membuat kontribusi Papua terhadap PDB Indonesia juga lebih kecil ketimbang 2013. Sebagai catatan, sebelum Jokowi menjabat sebagai presiden, kontribusi Papua dan Maluku terhadap PDB Indonesia sempat mencapai 2,47 persen.
Banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan pemerintah, mulai dari kesehatan, pendidikan, kesenjangan ekonomi, isolasi daerah, keamanan, hingga kekerasan struktural. Problemnya, pendekatan keamanan yang diterapkan pemerintah tak kunjung meredam konflik yang terus bergejolak di pulau bagian Timur Indonesia tersebut. Tercatat 37 ribu warga di Kabupaten Nduga, misalnya, dikabarkan mengungsi akibat konflik bersenjata antara aparat keamanan dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menyatakan situasi rentan konflik dapat mengancam laju pertumbuhan ekonomi di Bumi Cendrawasih. "Apalagi motor pertumbuhan ekonomi di Pulau Papua dari sektor tambang juga sedang turun. Investasi baru tentu dibutuhkan untuk mengganti itu. Tapi, dengan konflik yang berlarut-larut seperti ini, sulit untuk mengundang investor," katanya kepada Tirto.
Ia menambahkan pula bahwa konflik yang terjadi di Pulau Papua juga bisa jadi merupakan konsekuensi dari, salah satunya, penurunan geliat ekonomi Papua dalam dua kuartal terakhir. Dalam jangka panjang, konflik ini akan membuat ekonomi Papua semakin terpuruk.
Studi Akhiruddin Mahjuddin dari Universitas Indonesia bertajuk "Dampak Konflik terhadap Perkembangan Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Rakyat (Studi Kasus Aceh)" menegaskan pernyataan Fithra. Studi tersebut menyebutkan bahwa konflik memang dapat berpengaruh negatif secara keseluruhan pada kinerja ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Aceh sebelum konflik, yakni pada periode 1980-1989, rata-rata naik 10 persen per tahun. Namun, ketika konflik meletus, yakni 1990-2005, rata-rata pertumbuhan ekonomi Aceh minus 2,5 persen per tahun.
Hal yang sama juga terjadi pada inflasi. Pada periode 1980-1989, tingkat inflasi sekitar 5,9 persen per tahun. Pada periode 1990-2005, sementara itu, tingkat inflasi Aceh meningkat tajam menjadi sebesar 17,7 persen per tahun.
Konteks konflik Aceh dan Papua tentu berbeda, tapi bukan berarti tak bisa dibandingkan dalam hal pendekatan negara. Respons pemerintah dalam konflik bersenjata berkepanjangan di Aceh sejak 1990 hingga 2005 di Aceh bisa berlaku sebagai cermin untuk mengukur efektivitas pendekatan keamanan di Papua. Berkaca dari Aceh, penyelesaian dengan cara kekerasan jelas tidak membuahkan hasil positif, khususnya untuk kestabilan ekonomi.
Editor: Windu Jusuf & Ign. L. Adhi Bhaskara