tirto.id - Pulau Sulawesi merupakan gabungan 4 jazirah yang memanjang. Barisan pegunungan berapi aktif berdiri di lengan jazirah itu dan sebagian mencapai ketinggian di atas 3000 mdpl.
Garis khatulistiwa juga melintasi Pulau Sulawesi. Sekitar seperempat bagian dari Pulau Sulawesi berada di utara khatulistiwa. Dengan demikian, mayoritas dari daratan Sulawesi terletak di selatan garis khatulistiwa.
Secara geologis, Pulau Sulawesi mempunyai daratan labil karena dilintasi patahan lempeng pasifik. Pulau ini juga jadi titik tumbukan antara Lempeng Asia, Lempeng Australia, dan Lempeng Pasifik.
Dari segi geologis, sejarah terbentuknya Pulau Sulawesi terbilang rumit. Pembentukan pulau mirip huruf K ini diperkirakan terjadi sejak zaman palaeozoikum (245-545 juta tahun lalu).
Pada era ini, lempeng Benua Australia bergerak ke utara yang menyebabkan bagian timur daratan banda melengkung ke barat. Secara bersamaan, ada desakan patahan sorong darat ke arah timur-barat yang mengubah bentuk masa daratan. Benturan tersebut diduga menjadi awal pembentukan Pulau Sulawesi dan pulau-pulau lain di sekitarnya.
Pulau Sulawesi tak hanya memiliki kondisi alam dan lingkungan unik. Kebudayaan masyarakat di pulau tersebut juga memiliki riwayat panjang, sejak ribuan tahun yang lalu.
Mengutip bukuSejarah Kebudayaan Sulawesi (1995:14-15), penduduk Pulau Sulawesi pada zaman purba merupakan campuran dari berbagai ras. Di antara mereka, termasuk Ras Austro Melanesoid, yang datang dari selatan (Jawa) dan timur (Papua), serta Paleo Mongoloid dari arah utara.
Migrasi ras-ras tersebut menjadi bagian dari gelombang pertama penyebaran penduduk Indonesia dan pendukung kebudayaan mesolitikum (zaman batu madya).
Hasil asimilasi ras Austro-Melanesoid dengan Paleo-Mongoloid diduga membentuk masyarakat baru yang di kemudian hari disebut sebagai orang Toala. Kelompok ini belakangan banyak bermukim di kawasan pegunungan.
Kondisi Geografis Pulau Sulawesi
Pulau Sulawesi memiliki wilayah seluas 174.600 km persegi. Luas daratan ini menjadikan Sulawesi sebagai pulau terbesar ke-11 di dunia, atau ke-4 di Indonesia.
Secara geografis, Pulau Sulawesi, terletak di antara Pulau Kalimantan dan Kepulauan Maluku. Kini, dalam hal administrasi pemerintahan, Pulau Sulawesi terbagi menjadi wilayah enam provinsi, yakni Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat.
Adapun secara astronomis, detail letak Pulau Sulawesi berada di koordinat 2°08'LU - 120°17'BT / 2,133°LS - 120,283°BT.
Dalam gambar di peta, kondisi morfologi Pulau Sulawesi akan terlihat seperti gabungan dari empat semenanjung. Ada semenanjung utara (minahasa), semenanjung timur, semenanjung tenggara, dan semenanjung selatan.
Empat semenanjung tersebut dipisahkan oleh tiga teluk besar, yakni Teluk Tomini di sebelah timur laut, Teluk Tolo di sebelah tenggara, dan Teluk Bone di sebelah selatan.
Adapun batas-batas wilayah Pulau Sulawesi adalah sebagai berikut:
- Utara: Laut Sulawesi
- Selatan: Laut Flores
- Timur: Laut Maluku dan Laut Banda
- Barat: Selat Makassar.
Keadaan Alam Pulau Sulawesi
Daratan Pulau Sulawesi banyak dihuni oleh gunung-gunung berapi yang aktif. Gunung Rantemario (3.440 mdpl) di sebelah utara Sulawesi Selatan merupakan puncak tertinggi di Pulau Sulawesi.
Keempat semenanjung di Sulawesi bahkan masing-masing memiliki gunung yang lebih tinggi dari 2.500 mdpl. Tercatat ada belasan gunung api di Pulau Sulawesi.
Di semenanjung utara yang memiliki morfologi berkelok, berdiri Gunung Lokon, Gunung Kelabat, dan Gunung Soputan. Area ini juga dilintasi Patahan Palu dan Patahan Gorontalo yang aktif. Saat ini wilayah semenanjung utara masuk provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo.
Kemudian, semenanjung timur yang masuk wilayah Provinsi Sulawesi Tengah memiliki daratan dengan dominasi batuan gabro dan malihan. Wilayah ini memiliki sejumlah sungai sempit dan pendek, serta banyak kawasan perbukitan maupun pegunungan.
Sementara itu, di semenanjung tenggara (masuk provinsi Sulawesi Tenggara) tidak ada gunung api. Kawasan ini punya daerah aliran sungai (DAS) yang memanjang dan dataran luas.
Daratan dengan dominasi pegunungan kembali terlihat begitu memasuki semenanjung selatan (masuk provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat). Di semenanjung selatan, ada Gunung Lompobatang dengan tinggi 2.871 mdpl. Batuan andesit di kawasan ini cukup dominan, sedangkan tanahnya terbilang subur dengan sungai-sungai yang relatif pendek.
Bentuk topografi ini menyebabkan dataran rendah di Sulawesi terbatas, umumnya hanya tersebar di sepanjang garis pantai. Dataran ini dipisahkan oleh pegunungan, teluk dan laut yang bercurah hujan tinggi. Dataran rendah (kurang dari 50 m) hanya meliputi 10,3% dari total luas wilayah di Pulau Sulawesi.
Sebagaimana daerah lain di Indonesia, Pulau Sulawesi memiliki dua musim, yaitu musim kemarau (Mei-Oktober) dan musim hujan (November-April). Curah hujan tinggi jatuh pada Januari-Februari.
Lokasi Sulawesi yang dilintasi garis khatulistiwa menyebabkan temperatur di pulau ini bervariasi. Temperatur di dataran rendah berkisar dari 21ºC sampai 35ºC, dan di dataran tinggi bervariasi dari 15ºC sampai 30ºC. Temperatur rata-rata tahunan di wilayah dataran rendah sekitar 27ºC.
Flora dan Fauna di Pulau Sulawesi
Pulau Sulawesi juga dikenal sebagai habitat banyak jenis flora dan fauna khas. Kondisi ini terkait dengan riwayat asal-usul pulau celebes dalam proses pembentukan daratan di nusantara.
Terletak di Indonesia bagian tengah serta terbentuk sejak sebelum era Pleistosen, Pulau Sulawesi merupakan bagian terpisah sekaligus tidak menyatu dengan daratan benua Asia maupun Australia. Karakteritik geografis Pulau Sulawesi ini berbeda dengan Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Akibatnya, mengutip penjelasan di laman Kementerian LHK, jenis-jenis flora dan fauna di Pulau Sulawesi punya ciri khas tersendiri. Sebagian besar fauna endemik di Pulau Sulawesi bahkan tidak ditemukan di wilayah Indonesia lainnya.
Riwayat geologis itu pun membuat wilayah Sulawesi disebut "Wallacea." Sebab, pulau ini terletak di antara garis wallace (ke arah barat Sulawesi) dan garis weber (ke arah timur Sulawesi). Kedua garis imajiner terakhir merupakan topik penting dalam kajian flora-fauna Indonesia, maupun studi ilmu hewan, ilmu tumbuhan, biologi secara umum.
Fauna dan flora di Pulau Sulawesi merupakan hasil peralihan dan percampuran corak Asia maupun Australia. Namun demikian, sejumlah jenis flora-fauna di Sulawesi masih punya kesamaan dengan tumbuhan atau satwa di Maluku dan Nusa tenggara.
Dalam regnum bio-geografis Wallacea dilaporkan ada lebih dari 11.400 spesies yang ditemukan di Sulawesi, dan masih lebih banyak lagi yang belum ditetapkan. Keragaman hayati di Sulawesi saat ini masih terjaga setidaknya dalam wilayah 9 taman nasional.
Abdul Haris Mustari dalam Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi (2020:1-6), menggambarkan betapa celebes kaya akan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna.
Mustari mencatat hingga kini ditemukan ada 230 spesies mamalia di Sulawesi, dengan rincian 114 spesies mamalia darat, 75 spesies kelelawar, 32 spesies mamalia air (paus dan lumba-lumba), dan 9 satwa domestik. Mayoritas merupakan satwa endemik (populasi satwa terbatas di Sulawesi dan sekitarnya).
Dari 114 spesies mamalia darat saja, sebanyak 95 spesies (83,3 persen) termasuk satwa endemik, baik di Sulawesi maupun pulau-pulau sekitarnya (Kepulauan Sangihe, Kepulaun Talaud, Kepulauan Togean, Peleng, Buton, dan Muna). Lalu, dari 75 spesies kelelawar, 18 spesies juga endemik.
Tingkat endemisitas mamalia di Sulawesi diprediksi akan terus bertambah seiring dengan adanya hasil penelitian terbaru. Tarsius di Sulawesi, misalnya, semula dikenali satu spesies saja (Tarsius spectrum). Namun, saat ini diketahui sudah ada 12 spesies tarsius.
Beberapa spesies baru mamalia dari Ordo Rodensia, khususnya jenis tikus (Sciuridae dan Muridae) belakangan juga ditemukan di pegunungan Sulawesi dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Demikian pula dengan satwa taksa burung, amfibi, reptil, hingga serangga.
Sulawesi juga memiliki keanekaragaman tumbuhan khas yang tinggi. Salah satu tumbuhan khas di Sulawesi adalah kayu hitam sulawesi atau eboni (Diospyros celebica). Kayu eboni dikenal kuat dan awet, serta berwarna unik (hitam kecokelatan bergaris). Namun, daya tarik kayu eboni mendorong penebangan liar sehingga keberadaan tumbuhan tersebut di habitat aslinya semakin langka.
Editor: Iswara N Raditya