tirto.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta kepada panitia kerja (panja) RUU KUHP untuk tidak memasukkan pasal pelanggaran HAM berat dalam KUHP.
"Pidana khusus tak perlu diatur dalam KUHP kaena akan membatasi banyak hal dan logika hukumnya berlainan," kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam kepada Tirto, Kamis (8/2/2018).
Menurut Anam, pelanggaran HAM berat bila dimasukkan dalam KUHP akan menjadikannya sebagai tindak pidana umum, bukan tindak pidana khusus. Padahal, kedua jenis tindak pidana tersebut memiliki batas kedaluwarsa yang berlainan dalam penindakannya.
"Dalam hukum biasa [kedaluwarsa] 20 tahun. Dalam konteks pelanggaran HAM berat itu enggak ada angkanya," kata Anam.
Anam mencontohkan kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Pol Pot yang penindakannya tidak kedaluwarsa meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia dan pengadilan terhadapnya terus berjalan.
Karena, menurut Anam, menindak pelanggaran HAM berat tidak hanya soal jeratan hukuman bagi pelaku, melainkan juga ada proses pencarian keadilan bagi korban.
"Disebut pelanggaran HAM berat karena ada nilai dasar manusia secara kodrati yang dilanggar oleh orang lain, oleh kekuasaan macam-macam, yang seharusnya tidak diperbolehkan. Makanya disebut melanggar, bukan dikatakan kejahatan," kata Anam.
Lagi pula, kata Anam, pemerintah tidak akan mampu menangangi pelanggaran HAM berat jika masuk dalam KUHP. Karena, pelanggaran HAM berat itu juga meliputi pelanggaran atas HAM dalam seluruh aspek kehidupan manusia yang dilakukan secara sistemik.
"Memang mau kemudian semua dimaknai melanggar HAM berat? Mau ditangkap semua atas pelanggaran HAM berat? Enggak, kan?" kata Anam.
Maka, dalam hal ini, Anam mengusulkan sebaiknya pemerintah dan DPR mendorong revisi atas UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang saat ini menurutnya masih kurang sempurna karena belum memasukkan empat poin statuta Roma di dalamnya.
"Harusnya semangat untuk mendiskusikan pelanggaran HAM berat itu adalah semangat merevisi UU 26 Tahun 2000. Bukan menjadikan pasal tersebut masuk ke KUHP. Jadi UU-nya khusus dan diatur secara komprehensif," kata Anam.
Dengan begitu, kata Anam, yang akan masuk tidak hanya pasal-pasal pokok saja. Melainkan juga pasal-pasal lain yang masuk dalam penindakan HAM berat juga bisa masuk.
Selain itu, kata Anam, masuknya pelanggaran HAM berat di KUHP akan membuat Komnas HAM kehilangan fungsi penindakan. Karena, menurutnya, nomenklatur penindakan KUHP adalah kepolisian.
"Kalau di UU 26 Tahun 2000, penyidikan dan penindakan oleh Komnas HAM langsung ke kejaksaan," kata Anam.
Adapun pernyataan ini disampaikan Anam sebagai respons atas usulan pemerintah kepada DPR untuk memasukkan pelanggaran HAM berat sebagai salah satu pasal di KUHP baru saat rapat tim perumus RUU KUHP, Senin (5/2/2018) lalu.
Pemerintah menganggap perlu ada pasal pelanggaran HAM berat sebagai bentuk implikasi statuta Roma mengenai pelanggaran HAM berat, yakni untuk tindakan genosida, agresi, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Terpisah, anggota Panja RUU KUHP, Taufiqulhadi menyatakan semua usulan pemerintah tersebut akan dimasukkan dalam KUHP. "Semuanya masuk," kata Taufiqulhadi di kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (8/2/2018).
Menurutnya, masuknya seluruh usulan pemerintah menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi dan berideologikan Pancasila telah mengadopsi statuta Roma.
"Enggak perlu pasal khusus. Justru mereka [Komnas HAM] itu harusnya mendorong agar tidak dipisahkan. Jangan curiga begitulah," kata Taufiqulhadi.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yuliana Ratnasari