tirto.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memberikan perlindungan paripurna bagi warga Ahmadiyah di daerah tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara saat menanggapi kasus penyerangan massa ke permukiman warga Jamaah Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanah Eat, Desa Greneng, Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, NTB pada akhir pekan kemarin.
"Komnas HAM meminta kepada pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat dan pemerintah kabupaten untuk melindungi Jamaah Ahmadiyah secara paripurna, bukan hanya masalah keamanan saja tetapi juga psikososial dan trauma pada anak-anak dan ibu hamil," kata Beka di Kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (21/5/2018).
Maksud dari perlindungan paripurna, menurut Beka Ulung, adalah kemampuan pemerintah daerah untuk menjaga toleransi antara warga Ahmadiyah dengan masyarakat lainnya. Dia mencontohkan, di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, warga Ahmadiyah bisa hidup rukun dan damai dengan masyarakat sekitarnya.
"Banyak sekali sebenarnya daerah-daerah yang mampu melindungi Jamaah Ahmadiyah, misalnya di Wonosobo. Kita mencatat ada 6000 warga Ahmadiyah bertahun-tahun hidup damai [di Wonosobo]. Tidak ada konflik yang berarti,” kata Beka.
Dia menambahkan Komnas HAM menyesalkan aksi intoleran kembali menjadikan warga Ahmadiyah di NTB sebagai korban. Apalagi, Beka mencatat kasus penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di NTB telah terjadi sejak 2006.
"Dari tahun 2006, kita bisa melihat sampai saat ini belum ada solusi yang memadai, baik dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah seperti Pemprov NTB. Sehingga kami meminta kepada negara, karena negara yang memiliki kewajiban konstitusi untuk menghormati, melindungi Hak Asasi Manusia," ujar Beka.
Dia menegaskan kasus penyerangan warga Ahmadiyah di Lombok Timur merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. "Karena itu serangan langsung terhadap hak atas rasa aman hak dan hak untuk bebas dari rasa takut," kata Beka.
Komnas HAM, dia menambahkan, juga meminta kepolisian segera bertindak tegas dan memproses pelanggaran pidana dalam kasus penyerangan terhadap sejumlah rumah warga Ahmadiyah itu. Beka mengkritik langkah kepolisian yang selama ini memilih menuntaskan kasus serupa sebelumnya dengan jalan mediasi.
"Kepolisian lebih sering memilih jalan harmoni dibandingkan memajukan upaya hukum yang memberi efek jera kepada pelaku. Kami mendorong polisi untuk bertindak tegas dalam peristiwa yang terjadi di Lombok Timur," ujar dia.
Penyerangan massa terhadap sejumlah rumah milik warga jamaah Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, NTB terjadi tiga kali pada akhir pekan kemarin. Perusakan dan pengusiran oleh massa itu dilakukan pada Sabtu siang dan malam (19/5/2018), serta Minggu pagi (20/5/2018) sekitar pukul 06.30 WITA.
Serangan massa itu mengakibatkan 8 rumah milik anggota jamaah Ahmadiyah rusak dan empat sepeda motor hancur. Selain itu, 24 penduduk dari tujuh keluarga harus dievakuasi dan terpaksa menginap di Mapolres Lombok Timur usai insiden tersebut.
Sekretaris Pers PB Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana menyatakan indikasi akan adanya serangan massa itu sudah muncul sejak Maret 2018. Indikasi itu dipertegas oleh kejadian pada 9 Mei 2018 di Lombok Timur, tapi di desa yang berbeda.
“Semua rentetan peristiwa tersebut sejak awal telah dilaporkan oleh pengurus Muslim Ahmadiyah Lombok kepada kepolisian dan beberapa kali dilakukan dialog yang dihadiri Polsek dan Polres Lombok Timur,” kata Yendra di siaran persnya.
Dia menilai rentetan peristiwa sejak Maret 2018 hingga 20 Mei 2018 memiliki motif yang sama, yakni “Sikap kebencian dan intoleran pada paham keagamaan yang berbeda yang berujung pada pemaksaan untuk keluar dari komunitas Muslim Ahmadiyah atau ancaman pengusiran.”
Yendra mendesak pemerintah dan kepolisian memberikan jaminan keamanan untuk warga Ahmadiyah sekaligus hak mereka dalam menempati rumahnya dan hak melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya.
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Addi M Idhom