tirto.id - Ketua Komnas HAM Taufan Damanik menyampaikan bahwa perusahaan atau korporasi menjadi salah satu pihak yang sangat sulit untuk memenuhi rekomendasi Komnas HAM.
"Rata-rata kalau kasusnya sudah dengan perusahaan, bahkan BUMN, dipanggil saja tidak mau datang. Ada yang datang, tapi kebanyakan tidak mau datang," ungkap Taufan kepada reporter saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan pada Senin (6/1/2020).
"Jarang sekali mereka mau memberikan respon. Kalau Pemda kadang masih merespon," lanjutnya.
Terlebih, ujar Taufan, dengan posisi rekomendasi dari Komnas HAM yang tak memiliki keterikatan secara hukum.
"Kelemahan UU 39/1999 itu, Komnas HAM itu memiliki kewenangan untuk melakukan kajian dan memberikan rekomendasi, tetapi kelemahannya, rekomendasi itu tidak mengikat," ungkap Taufan.
"Jadi kalau tidak dijalankan rekomendasinya, tidak mendapatkan sanksi," lanjutnya.
Lantaran itu lah, Taufan menilai bahwa perlu ada perluasan aturan mengenai kekuatan rekomendasi dari Komnas HAM, sehingga ada sanksi saat pihak yang diberikan rekomendasi tak menjalankannya.
"Korporasi yang paling tidak mau peduli," tegasnya.
Padahal, ujar Taufan, dalam konteks konflik agraria, khususnya akibat pertambangan, rekomendasi dari Komnas HAM jarang dijalankan, padahal perampasan hak masyarakat akibat konflik tersebut cukup tinggi, termasuk dalam bentuk kriminalisasi.
Terlebih, dengan posisi tambang yang memang rentan memiliki dampak terhadap konflik agraria di masyarakat.
Konsekuensinya, ujar Taufan, akhirnya yang merasakan adalah masyarakat. Mereka kehilangan lahan, pekerjaan, sehingga berdampak ke kehidupan sosialnya akibat pertambangan.
"Konsesi tambang itu banyak yang di konsesi pertanian, akhirnya masyarakat banyak yang harus dikeluarkan dari daerah," ujar Taufan.
Kedua, dampak paling parah dari kerusakan ekologis yang dihasilkan dari tambang adalah warga sekitar. "Saat ada kerusakan ekologis, yang menjadi korbannya adalah warga di sekitar situ. Pertaniannya terganggu, perikanannya terganggu, atau dia menanggung resiko dari dampak ekologisnya," pungkasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Hendra Friana