Menuju konten utama

Komisioner Komnas HAM: Hindari Memakai Istilah Agama Resmi

Choirul Anam mengatakan, salah satu faktor penyebab terjadinya persekusi adalah penggunaan istilah dan bahasa yang tidak tepat untuk menyebut kaum minoritas.

Komisioner Komnas HAM: Hindari Memakai Istilah Agama Resmi
Ilustrasi. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif bersama Kepala BNN Komjen Pol Heru Winoko dan Komisioner Komnas HAM Mohamad Choirul Anam bersiap menjadi pembicara dalam diskusi mengenai Revisi UU KUHP di gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/6/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan bahwa salah satu faktor terbesar terjadinya persekusi terhadap kaum minoritas adalah penggunaan istilah dan bahasa yang tidak tepat dan mengundang persekusi. Hal tersebut terutama jika merujuk dalam kasus-kasus konflik beragama terhadap kaum minoritas.

"Oleh karena itu harusnya kita, dan juga para awak media, tidak menggunakan istilah dan bahasan yang rentan mengundang tindakan persekusi terhadap kaum agama minoritas," katanya pada Senin (3/9/18) pagi.

Salah satu contoh yang ia katakan adalah penggunaan kata "sesat" yang kerap dijadikan cap kepada kaum beragama minoritas. Ia mengatakan harusnya penggunaan kata tersebut bisa diganti dengan kata "berbeda".

Tak hanya itu, Anam juga mengatakan agar meminimalisir menggunakan diksi "agama resmi", karena hal tersebut mengasumsikan bahwa di luar "agama resmi" tersebut dianggap sesat dan boleh dipersekusi.

Anam memberikan komentar tersebut terkait salah satu cara pemulihan korban tindakan kekerasan dan persekusi berbasis agama yang terjadi beberapa tahun terakhir.

Komnas HAM dan Human Rights Working Group (HRWG) telah menerbitkan laporan penelitian berjudul Pemulihan Hak Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Studi Penanganan Pengungsi JAI NTB, Syiah Sampang, dan Eks-Gafatar (2018).

Laporan tersebut melampirkan beberapa tindak kekerasan berbasis agama di Indonesia yang belum juga terpenuhi hak korban dan proses pemulihannya.

Penelitian tersebut berfokus pada kasus kekerasan terhadap jemaah Ahamdiyah di NTB sejak 2005, kekerasan terhadap kaum Syiah di Sampang, Madura, pada 2011, dan dan persekusi kelompok Eks-Gafatar di Kalimantan Barat beberapa tahun silam.

Anam mengatakan guna melakukan pemulihan terhadap korban kekerasan agama, yang harus dilakukan adalah membuka ruang partisipasi lebih luas kepada masyarakat sipil.

"Selama ini partisipasi masyarakat dianggap tidak positif. Padahal elemen paling penting adalah membangun dialog antar masyarakat agar tidak muncul rasa saling curiga," katanya.

Ia juga mengatakan bahwa jika terjadi kekerasan berbasis agama yang bahkan memakan korban, seharusnya pihak yang dihukum adalah yang melakukan tindah kekerasan, bukan malah korban.

Baca juga artikel terkait PERSEKUSI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Yandri Daniel Damaledo