tirto.id - Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia Semuel Abrijani Pangerapan mengeklaim tidak ada “pasal karet” di dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (Permenkominfo 5/2020). Permenkominfo 5/2022 ini menjadi acuan bagi kebijakan PSE Lingkup Privat.
“[Mengenai] pasal karet, tidak ada pasal karet. Sangat jelas, pasal yang mana?” ucap dia via Zoom dalam konferensi pers daring bertajuk “Kewajiban Pendaftaran PSE Lingkup Privat”, Kamis (21/7/2022) sore.
Pasal yang dimaksud ialah Pasal 9 ayat (3) dan (4) Permenkominfo 5/2022. Pasal 9 ayat (3) berbunyi: “PSE Lingkup Privat wajib memastikan: a. Sistem elektroniknya tidak memuat informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang; dan b. Sistem elektroniknya tidak memfasilitasi penyebarluasan Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang."
Untuk Pasal 9 ayat (4) berbunyi: “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan klasifikasi: a. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; b. meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum; dan c. memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang."
“Terkait pasal itu tuh, harus ada dua unsur, harus benar-benar merasakan dan harus benar-benar mengganggu. Dan harus ada kejadiannya,” kata Semuel.
Dia kemudian mencontohkan, bahwa ada konten pemuka agama lain mengkritisi agama lain tentang kitab sucinya.
“Itu sudah mengganggu dan benar-benar ramai di sosial media, sampai Menko [Pol Hukam Mahmud MD] pun turun tangan,” ujar Semuel.
“Jadi tidak ada yang namanya pasal karet,” pungkas dia.
Sejumlah pihak mengkhawatirkan pasal 9 ayat (3) dan (4) dalam Perkominfo Nomor 5 tahun 2022 menjadi karet dalam penafsirannya sehingga berpotensi mengkriminalisasi masyarakat.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sejak Minggu (17/7) bahkan membuka petisi menolak PSE.
"Selama ini, penafsiran ‘yang mengganggu masyarakat atau ketertiban umum’ kerap kali disalahgunakan Negara dengan sasaran warga yang sebenarnya mengangkat problem nyata seputar diskriminasi, korupsi, pelanggaran hak asasi, atau situasi yang terjadi di Papua," tulis petisi tersebut.
Petisi online ini sudah ditandatangani lebih dari 4.700 warganet.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri