Menuju konten utama

Koalisi Seni: Revisi UU Penyiaran Jadi Penghalang Kerja Kreatif

Amalia Ikhlasanti menyebut ada tiga masalah utama dalam revisi UU Penyiaran. Apa saja?

Koalisi Seni: Revisi UU Penyiaran Jadi Penghalang Kerja Kreatif
Seorang wartawan melakukan teatrikal menggunakan replika televisi saat unjuk rasa menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran di depan Gedung Balai Kota Malang, Malang, Jawa Timur, Jumat (17/5/2024). Wartawan yang tergabung dalam organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di daerah tersebut menggelar aksi untuk menolak pasal-pasal dalam RUU penyiaran yang dinilai berpotensi menghalangi tugas jurnalistik dan kebebasan pers. ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/rwa.

tirto.id - Koordinator Komunikasi Sekretariat Koalisi Seni, Amalia Ikhlasanti, menegaskan, rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran akan menjadi penghalang bagi pekerja seni dalam bekerja. Amalia berargumen revisi undang-undang tersebut akan menghalangi kebebasan berkesenian, terutama hak untuk berkarya tanpa sensor dan intimidasi, hak untuk mendapatkan dukungan, jalur distribusi dan balas jasa atas karya, dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.

Dalam analisanya, Amalia menyebut ada tiga masalah utama dalam revisi UU Penyiaran. Pertama, lahirnya lembaga sensor baru yang mengancam kebebasan seniman untuk berkarya akibat perluasan tugas dan wewenang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dari yang sebelumnya mengawasi menjadi mengatur isi dan konten siaran. KPI kini berwenang untuk mengeluarkan surat kelayakan isi siaran berdasarkan P3 dan SIS yang ditetapkan tanpa kewajiban melibatkan pemangku kepentingan yang lain.

“Hal ini akan menghambat tercapainya cita-cita RUU Penyiaran yang tertulis dalam bagian penjelasan yaitu ‘terciptanya siaran yang merefleksikan aspirasi masyarakat yang beraneka ragam,’” kata Amalia dalam keterangan pers, Sabtu (25/5/2024).

Kedua, Koalisi Seni menuding revisi UU Penyiaran akan menjadi alat subjektif dalam membungkam kreativitas seni. Karena para pekerja seni dipaksa untuk mematuhi (Pedoman Perilaku Penyiaran) P3 dan (Standar Isi Penyiaran) SIS yang didasarkan pada nilai subjektif dan multitafsir seperti agama, moral, dan adat istiadat.

“Pembatasan seperti ini akan berpotensi semakin membungkam ekspresi dari masyarakat minoritas dan kelompok rentan,” kata Amalia.

Ketiga, Koalisi Seni menilai ada penyempitan ruang bagi masyarakat sipil dalam berekspresi imbas perluasan ruang lingkup penyiaran ke ranah digital dari yang semula hanya mencakup televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik.

Menurut dia, kebijakan tersebut akan berdampak pada hilangnya ruang bagi seniman untuk dapat mendistribusikan karyanya, khususnya bagi mereka yang selama ini memilih platform digital sebagai kanal distribusi utama.

“Tidak hanya berdampak negatif bagi seniman, seluruh pembatasan terhadap akses isi siaran dan konten siaran yang beragam pada akhirnya juga akan mencederai hak masyarakat untuk mengakses karya sesuai dengan preferensi dan kebutuhan mereka,” kata dia.

Sebagai rekomendasi, Koalisi Seni mengusulkan kepada pemerintah dan DPR sebagai lembaga legislasi agar UU Penyiaran ke depannya sejalan dengan keinginan pekerja seni. Pertama, mengubah naskah RUU Penyiaran secara keseluruhan guna menghilangkan pengaturan anti kebebasan berkesenian dalam UU Penyiaran 2002.

Kedua, mengubah pendekatan sensor menjadi klasifikasi usia yang disertai peningkatan literasi penonton guna membentuk masyarakat yang dewasa dalam memilih dan menilai siaran yang layak.

“Ketiga, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk seniman, dalam pembahasan RUU Penyiaran guna memastikan aturan yang dihasilkan ditujukan demi kepentingan publik,” kata dia.

Baca juga artikel terkait REVISI UNDANG-UNDANG atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz