Menuju konten utama

Koalisi Nasional Demokrat-PDIP Tersandera Konflik Lama SBY & Mega?

PDIP tak mau berkoalisi dengan Partai Demokrat. Pengamat itu adalah dampak dari rivalitas SBY-Megawati selama bertahun-tahun.

Koalisi Nasional Demokrat-PDIP Tersandera Konflik Lama SBY & Mega?
Ilustrasi megawati soekarnoputri. tirto.id/Lugas

tirto.id - Baru selesai gaduh Pilkada 2020, para elite partai politik sudah memikirkan bagaimana mengambil posisi untuk 2024—tahun di mana semua kegiatan politik elektoral menjadi satu. Tak terkecuali bagi Partai Demokrat dan PDI Perjuangan, rival sejak 2004.

Semua bermula saat Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengaku jika partainya tak cocok dan sulit untuk berkoalisi dengan dua partai oposisi saat ini: Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Untuk Partai Demokrat, Hasto mengaku basis kedua partai tersebut sudah berbeda.

“Dengan [Partai] Demokrat berbeda, basisnya berbeda, partai elektoral. Kami adalah partai ideologi, tapi kami juga bertumpu pada kekuatan massa,” kata dia dalam sebuah diskusi daring, Jumat (28/5/2021) pekan lalu.

Bersama PKS pun sulit, lanjut Hasto, karena “basis ideologinya berbeda”. “Sehingga sangat sulit untuk melakukan koalisi dengan PKS, saya tegaskan sejak awal,” tambahnya.

Satu hari setelahnya (29/5/2021), Partai Demokrat merespons pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa mereka sedang tidak fokus untuk 2024. “Belanda masih jauh,” kata Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, mengutip Antara. “Instruksi ketua umum kami jelas kepada seluruh jajaran. Pertama, bantu rakyat dengan gerakan nasional lawan Corona termasuk gerakan nasional peduli dan berbagi.”

Pernyataan kedua fungsionaris partai tersebut sebenarnya adalah manifestasi dari ketegangan lawas antara Partai Demokrat dan PDI Perjuangan.

Setidaknya ketegangan itu sudah terlihat sejak masa SBY menjabat presiden selama dua periode (2004-2014). Megawati bersama PDIP berada di luar pemerintahan sebagai oposisi. Megawati bahkan sampai emoh datang ke pelantikan SBY.

Situasi berbalik saat PDIP berkuasa sejak 2014. Benih-benih drama adu gengsi juga muncul pada 2018, saat semua partai ramai-ramai mencari koalisi untuk Pilpres 2019. Terbukti, dua partai itu berada di koalisi yang berbeda.

Konflik Masa Lalu

Ketegangan dua partai itu dapat dipersempit lagi spektrumnya menjadi Megawati Sukarnoputri lawan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kata pengajar ilmu politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin. “Persoalan ayah dan ibu yang berseteru di 2004,” kata dia saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (2/6/2021) sore.

Yang dimaksud oleh Ujang sebagai “ayah dan ibu” adalah masa di mana SBY dan Mega pernah dalam satu kabinet. Dalam periode 2001-2004, saat Megawati menjadi presiden, SBY diberikan jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.

“Ini dendam lama yang mengemuka kembali. Ini soal sakit hati seorang ibu yang belum terobati,” kata dia.

Keadaan, menurutnya, tak berubah karena situasi ini terus diwariskan ke generasi berikutnya, yang dididik dengan gaya patronase. “Mega dan SBY sudah memosisikan diri berhadap-hadapan terus. Dan secara politik belum bisa bertemu. Akhirnya, masing-masing membangun kekuatan dan membuat patron di partai,” kata dia.

Partai Demokrat saat ini dipimpin anak SBY, Agus Harimurti Yudhoyono; sementara anak Mega, Puan Maharani, juga menjadi calon penerus.

Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati juga menduga demikian. Selama ini Mega dan SBY selalu menampilkan kesan 'one-man show effect' yang akhirnya berdampak pada terbangunnya kultus. Dua partai tersebut cenderung sulit mencair hingga ke para politikus muda yang saat ini mengurusi partai.

“Hal ini yang membuat baik PDIP maupun Demokrat susah beranjak,” kata dia, Rabu sore. “Pada akhirnya kedua partai itu berjalan mengikuti patronnya karena efek pengkultusan pribadi itu. Itu juga berakibat pada loyalitas harga mati bagi kedua kader partai politik,” kata dia.

Anggota DPR RI Fraksi PDIP Andreas Hugo Pareira menilai bahwa itu hanya interpretasi yang terlalu jauh. Kata dia, apa yang dikatakan Hasto sudah cukup mewakilkan alasan mengapa dua partai tersebut sulit menyatu.

“Pak Hasto bilang ada perbedaan basis massa. [Kami] ideologis, yang sana [Partai Demokrati] elektoral,” kata Andreas, Rabu sore. “Kalau soal dendam dan yang lain-lain itu interpretasi pengamat.”

Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra juga tak membenarkan dugaan-dugaan tersebut. Buktinya, kata dia, saat Pilkada 2020 dua partai tersebut berkoalisi di beberapa daerah. “Kemarin ada 32 daerah yang kami koalisi dengan PDIP,” kata dia kepada wartawan Tirto.

“Namun, poin utamanya, pemilu masih tiga tahun lagi. Bagi kami, belum saatnya berbicara mengenai Pemilu 2024. Situasi negara dan rakyat lagi susah karena pandemi dan krisis ekonomi. Lebih baik fokus bantu rakyat urus pandemi dan krisis ekonomi,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KOALISI PARTAI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino