tirto.id - Tim Advokasi Yntuk Demokrasi kecewa dengan hasil temuan Komnas HAM terkait aksi #ReformasiDikorupsi lantaran tidak memaparkan secara jujur, utuh dan jelas.
Ada lima kategori upaya yang dibuat Komnas HAM dalam perkara tersebut yakni audiensi dan pengaduan; pembentukan tim pascaaksi; pemantauan lapangan; pemanggilan dan klarifikasi; serta media monitoring.
Namun dari segi substansi, lembaga itu kurang mengakomodasi instrumen HAM, terutama data Komnas HAM yang didapatkan dari kepolisian, khususnya Polres Metro Jakarta Barat, perihal kerusuhan demonstrasi periode 24-26 September 2019.
"Di Jakarta, sumber dari Polres Metro Jakarta Barat. Bagaimana mungkin lembaga negara yang dibentuk melalui undang-undang (Komnas HAM), mendapatkan hasil temuan dari data polisi saja?" ucap Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, di kantor Kontras, Jumat (31/1/2020).
Jika Komnas HAM kesulitan mendapatkan data, maka jangan hanya ambil data dari kepolisian sepihak. Komnas HAM dapat meminta data dari Koalisi Masyarakat Sipil sebagai penunjang dan Nelson mengaku pihaknya telah menyampaikan data ke lembaga itu.
Berkaitan dengan kategori audiensi dan pengaduan, Nelson berpendapat semestinya tim Komnas HAM dibentuk sebelum atau saat demonstrasi berlangsung, bukan pascakejadian. "Tentu mereka tak akan mendapatkan informasi yang aktual dan independen," kata dia.
Sementara dalam temuan Komnas HAM, lembaga itu menerima sembilan audiensi tanpa menyebutkan siapa, kapan dan perihal audiensi. Pembentukan tim pun tidak diketahui jumlah anggotanya dan mekanisme kerja.
Nelson melanjutkan, dalam kategori angka penangkapan, ada 1.489 orang yang ditangkap saat kerusuhan aksi berdasarkan data Polda Metro Jaya.
Namun, Komnas HAM menulis para terduga pelaku ialah 'diamankan'. Padahal dalam KUHAP tidak ada istilah diamankan.
Kemudian, juga dengan status pekerjaan peserta aksi dalam temuan Komnas HAM, ada 165 orang disebut preman atau tidak bekerja.
"Dia menyamakan orang-orang tidak bekerja sebagai preman. Memangnya orang tidak bekerja tidak boleh ikut aksi? Jika dia (demonstran) merasa RKUHP tidak sesuai dengan prinsip negara hukum, kenapa Komnas HAM menyamakan seperti itu?" jelas Nelson.
Ia juga menambahkan, Komnas HAM tidak menggunakan instrumen HAM dalam temuan ini. Misalnya gunakan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Sementara itu Deputi Koordinator Kontras, Feri Kusuma menyatakan, kerusuhan itu terjadi pada September, namun laporan baru dirilis pada Januari.
Artinya ada rentang waktu tiga bulan sejak peristiwa, ini mencerminkan Komnas HAM tidak bekerja secara maksimal.
"Karena ini menyangkut indikasi adanya pelanggaran HAM, seharusnya laporan Komnas HAM itu menjadi rujukan apakah satu peristiwa terdapat pelanggaran HAM atau tidak," tutur Feri.
Laporan ini harusnya sudah keluar maksimal dua pekan setelah peristiwa, agar dokumen ini bisa digunakan untuk proses pemeriksaan lanjutan, perbaikan di institusi negara, pemenuhan hak para korban, maupun proses hukum terhadap para pelaku kekerasan.
"Laporan ini kebanyakan tentang teori HAM namun sedikit fakta. Fakta yang disampaikan tentang demonstrasi, bukan fakta peristiwa pelanggaran HAM," ujar Feri.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara merespons temuan tim advokasi.
"Semua langkah, analisis dan kesimpulan temuan Tim Pencari Fakta Komnas HAM didasarkan pada standar HAM, baik yang ada di Undang-Undang Nomor 39/1999 dan juga berbagai instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi Indonesia," ucap Beka ketika dihubungi Tirto, Jumat (31/1/2020).
Laporan itu Beka nyatakan sudah lengkap, tapi masih bisa berubah kalau ada data dan fakta baru, termasuk aduan masyarakat yang secara signifikan bisa mengubah analisis, kesimpulan dan rekomendasi yang ada.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali