tirto.id - Tak lama setelah balatentara Jepang kalah oleh Sekutu, militer Belanda kembali masuk ke Indonesia. Banyak bekas anggota tentara kolonial kerajaan Belanda di Indonesia alias Koninklijk Nederlandsch Indische Lager (KNIL) pun kembali bergabung. Salah satunya bekas ritmeester (kapten kavaleri) Raden Trenggono Soerjobroto.
Pangkat ritmeester setara dengan kapten di dalam korps kavaleri (pasukan berkuda) dalam tradisi KNIL. Soerjobroto dikenal sebagai penunggang kuda dan sering ikut lomba pada zaman kolonial.
Selain Soerjobroto, kata Abdul Haris Nasution dalam Sekitar perang kemerdekaan Indonesia: Agresi Militer Belanda (1977, hlm. 215), beberapa perwira senior KNIL berdarah Indonesia lain yang ikut tentara Belanda adalah bekas mayor Raden Soerio Santoso dan bekas mayor Raden Mas Gonnie Soegondo.
Menurut GPH Djatikusumo dalam buku PETA: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (1996, hlm. 155), Soerjobroto yang komandan kavaleri adalah salah satu lulusan akademi militer kerajaan Belanda.
Staatsblad van het Koningrijk der Nederlanden, 1961, no. 201-301 (01/01/1961) mencatat Raden Trenggono Soerjobroto lahir di Kutoarjo pada 29 September 1905. Kota kecil kelahirannya itu dulu termasuk kawasan Bagelen dan kini dikenal sebagai Kutoarjo. Setelah Perang Diponegoro, banyak pemuda Bagelen yang masuk KNIL. Di antara yang paling kesohor tentu Oerip Soemohardjo yang belakangan ikut mendirikan TNI.
Sejak 1932, menurut De Sumatra Post (3/6/1932), dia menjadikan Soerjobroto sebagai nama belakangnya. Keberadaan nama belakang membuatnya setara secara hukum dengan orang Belanda. Sebelumnya nama yang dipakainya hanya Raden Trenggono. Ketika belajar di Breda, media menyebutnya Raden Trenggono saja.
Koran Nieuwe Rotterdamsche Courant (12/8/1926) memberitakan kedatangannya ke Negeri Belanda untuk belajar di Koninklijk Militaire Academie (akademi militer kerajaan) di Breda. Tahun berikutnya, seperti diberitakan De Tijd (2/8/1927), dia naik tingkat sebagai kadet di Breda. Koran Nieuwe Rotterdamsche Courant (2/9/1929) memberitakan dirinya menjadi calon perwira kavaleri. Dia mulai bertugas di KNIL setelah 1929 ketika usianya sekitar 24 tahun.
Sebagai perwira kavaleri dia suka berkuda. Pada 1930, ketika masih menjadi letnan kelas dua kavaleri, Soerjobroto terluka parah di Madiun ketika berkuda, sebagaimana diberitakan Soerabaijasch handelsblad (8/10/1930). Diperkirakan waktu itu dia tidak bisa bertugas untuk sementara waktu. Tak sekali itu, koran De Indische courant (14/10/1935) memberitakan Soerjobroto jatuh dari kuda dan gegar otak karena terinjak-injak kuda. Koran Bataviaasch nieuwsblad (27/10/1934) memberitakan Letnan Soerjobroto sebagai salah satu pemenang dalam lomba berkuda di Jakarta.
Setelah dua tahun lebih jadi letnan kelas dua Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (21/7/1932) menyebutkan Soerjobroto mendapat promosi menjadi letnan kelas satu di kavaleri. Menurut De Sumatra Post (25/11/1935), Letnan Satu Soerjobroto dimutasikan dari satuannya di Cimahi ke skuadron ke-6 Kavaleri di Malang.
Pada 1939, seperti diberitakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (5/5/1939), letnan kelas satu Soerjobroto bertugas di Resimen Kavaleri I di Bandung. Ketika bertugas di Bandung, seperti diberitakan Bataviaasch Nieuwsblad (18/09/1941), Letnan kelas satu Raden Trenggono Soerjobroto mendapat promosi menjadi ritmeester pada 15 September 1941. Ketika itu Negeri Belanda sudah diduduki Nazi Jerman.
Soerjobroto tidak lama jadi ritmeester di KNIL. Beberapa bulan setelah dia mendapat jabatan itu, Jepang menjadi bahaya nyata bagi Hindia Belanda sampai-sampai banyak orang pribumi Indonesia yang direkrut sebagai anggota milisi, bahkan hingga mendapat pangkat perwira kelas bawah. Gaji Soerjobroto sebagai kapten kavaleri ikut terhenti setelah balatentara Jepang menduduki Indonesia. Setelah Jepang kalah oleh sekutu, ia kembali ke kavaleri KNIL.
Soerjobroto termasuk perwira yang cukup dipercaya. Koran Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia (26/03/1949) menyebut bahwa sejak 21 Maret 1949 dia menjabat komandan sekolah kader pasukan lapis baja di Bandung. Pada tahun-tahun terakhir jelang bubarnya KNIL, ia berpangkat mayor.
Menjelang KNIL bubar, koran De Vrije Pers (30/11/1949) menyebut ada usulan Kolonel Soegondo diangkat sebagai panglima tentara (Angkatan Darat) dalam TNI yang sudah dicampur dengan KNIL. Jenderal Mayor Sultan Hamid II dari Pontianak juga akan dijadikan menteri pertahanan. Rencananya, Mayor Soerjobroto, Mayor Rumimper, Mayor Kaseger, Mayor Nanlohi, dan Kapten Julius Tahija juga masuk TNI. Nama yang terakhir sempat masuk TNI, sebelum akhirnya bekerja untuk Caltex dan belakangan Freeport.
Jika benar Raden Trenggono Soerjobroto masuk ke TNI, kemungkinan besar dia akan menjadi kepala kesenjataan kavaleri di TNI. Angkatan bersenjata Indonesia kekurangan perwira senior di bidang kavaleri pada 1950, sehingga bekas perwira infanteri KNIL yang lebih junior dari Soerjobroto bernama Soerjooerarso pun diangkat sebagai pimpinan pusat kesenjataan infanteri. Setelahnya, bekas KNIL lulusan Breda yang lain, Saleh Sadili, memimpin kesenjataan Kavaleri Indonesia—yang menerima alat dan tempat bekas kavaleri KNIL itu.
Soerjobroto tak pernah benar-benar ikut TNI. TNI tampak tak bermasa depan bagi orang sepertinya yang menjadi musuh Indonesia dengan berdiri di belakang Kerajaan Belanda pada zaman revolusi. Soerjobroto bukan satu-satunya yang bernasib seperti itu. Belakangan, Raden Trenggono Soerjobroto, bekas penunggang kuda tentara Belanda sejak zaman Ratu Wilhelmina hingga Juliana, memilih pergi ke Belanda. Staatsblad van het Koningrijk der Nederlanden, 1961, no. 201-301 menyatakan ia menjadi pejabat pemerintahan pada 1961 dan tinggal di Den Haag, Belanda bagian selatan.
Editor: Windu Jusuf