tirto.id - Wana Alamsyah, 27 tahun, masih sibuk mengedit video sampai pukul 11 malam, Minggu 23 Februari 2020. Hujan sudah turun hampir tiga jam. Sebagian warga lain barangkali sudah tidur karena besoknya harus kembali bekerja.
Wana mengedit di kamarnya yang terletak di lantai dua. Rumahnya di RT04/RW018 Perumahan Harapan Indah, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi. Untuk satu keperluan, dia turun ke lantai satu, lalu melongok ke arah depan rumah. Ternyata air sudah menggenangi jalan depan rumah yang lebarnya tiga meter.
"Saat itu air masih setinggi mata kaki," kata Wana kepada saya, Rabu (26/2/2020) lalu.
Air meninggi, seiring dengan hujan yang tak kunjung reda. Pukul 2 malam, sudah hari Senin, air sudah setinggi betis dan terus naik hingga pusar satu jam kemudian. Wana lantas membangunkan anggota keluarga, juga tetangga depan. Kala itu air telah setinggi dada orang dewasa.
Setelah tujuh jam, hujan akhirnya reda sekira pukul 6 pagi. Evakuasi sudah berlangsung sejak malam. Listrik dipadamkan untuk menghindari korsleting.
Volume air berkurang pukul 11 malam. "Betul-betul surut," kata Wana. Warga mulai mengeluarkan barang-barang yang bisa diselamatkan.
Tapi hujan kembali mengguyur pemukiman itu pada Selasa (25/2), sekira pukul 1 malam. Wana, juga warga lain, kembali gelisah dan khawatir air meninggi.
Kecemasan mereka terbukti. Air sampai pinggang dalam tempo empat jam. Saat banjir, sebagian warga mengungsikan kendaraannya di area parkir masjid.
Wana dan warga menduga banjir terjadi karena saluran air yang menuju sungai pampat karena dipasang ram yang penuh sampah. "Sebelumnya tidak ada teralis (ram), jadi air masih bisa mengalir," kata Aldi, juga warga setempat. Lebar parit di area tersebut kurang lebih 50-60 sentimeter. Ketika volume air meningkat dan lantas meluap ke jalanan, banjir tak terhindarkan.
Masyarakat sempat menjebol bagian bawah tembok pemisah Perumahan Harapan Indah dengan Cluster Taman Sari--dua perumahan yang berdampingan tapi bernasib berbeda, yang satu banjir, satunya relatif aman--agar aliran air lancar. Namun itu membuat sampah terbawa ke selokan Taman Sari.
Akun Twitter @niniesrina mengunggah foto perbedaan situasi dua daerah tersebut ketika banjir. Terlihat tumpukan sampah di gorong-gorong masjid Harapan Indah, sedangkan di seberang tembok, Cluster Taman Sari, air tak terlihat sama sekali.
Saya menaiki balkon masjid melalui menara untuk membuktikan unggahan tersebut. Ternyata perbedaan situasi memang terpampang jelas.
Pada hari yang sama setelah banjir kedua, pukul 1 siang, 100 orang yang tergabung dalam Forum Warga Perumahan Harapan Indah mendatangi kantor pengelola perumahan, PT Hasana Damai Putra (HDP).
Warga menuntut tiga hal kepada pengelola. Pertama, PT HDP menyediakan pompa air tambahan dan operator pompa yang bersiaga sepanjang hari; kedua, PT HDP menyediakan ekskavator untuk memperdalam dan memperlebar saluran air; ketiga, PT HDP menyediakan tandon air untuk memperbanyak daerah resapan air. "Poin keempat, dalam waktu enam bulan, pengembang mesti memberitahukan kemajuan penyediaan tandon air," kata Wana.
PT HDP setuju. Poin-poin tuntutan tertera dalam Surat Kesepakatan Bersama yang ditandatangani di atas meterai oleh Wana sebagai perwakilan forum warga dengan Gunawan selaku Division Head Town Manager PT HDP.
Saya mencoba hubungi Gunawan via telepon dan pesan singkat Whatsapp, namun ia tak merespons.
Sedada Perdana
Soejadi sudah bermukim di Jalan Nusa Indah X Blok MK 17 sejak 1991. Banjir pada Minggu malam itu tak pernah ia perkirakan karena sebelumnya air tak pernah lebih tinggi dari dengkul. "Di dalam rumah, air sepinggang. Di jalan depan, sedada."
Soejadi menganggap gorong-gorong di depan Masjid Baitul Husna yang berjarak 300 meter dari rumahnya itu terlalu sempit untuk bisa menampung volume air dari kompleks bagian atas. "Makin ke sini, daerah semakin cekung. Jadi, area ini seperti wadah tampung air," katanya. Gorong-gorong itu berukuran kurang lebih dua meter, masih muat jika orang dewasa berjongkok di dalamnya.
Tanah di RT. 04 dan RT. 05 yang landai, ditambah selokan yang dihalangi ram, menyebabkan air tak mengucur ke sungai. Menurut Soejadi, sudah berulang kali masyarakat meminta PT HDP membuat daerah resapan serta tandon air. "Hingga hari ini tak pernah dibangun," katanya.
Pria 59 tahun itu menduga pengembang lebih memilih membikin ruko baru, alih-alih selokan, karena jelas lebih menguntungkan.
Sementara Aldi, warga yang baru lima tahun pindah ke Harapan Indah, mengaku banjir pada pertengahan Februari ini paling parah. "Setinggi ini," katanya sembari menunjuk dinding samping rumah yang sejajar dengan dadanya. Air pun merendam setengah bagian mobilnya. "Pertama kali seperti ini."
Aldi punya anak usia lima tahun. Ia khawatir anaknya terjangkiti demam berdarah karena sampah menumpuk di lahan sebelah rumahnya. "Saya pernah minta orang untuk bakar sampah itu, lalu banjir lagi. Ketimbang rugi duit, saya biarkan saja saat banjir terakhir," imbuh dia.
Ketakutan akan penyakit juga dirasakan oleh Lutfi, warga RT 04. Baru tiga pekan istrinya melahirkan anak kedua saat banjir terjadi. Dia mengevakuasi anaknya menggunakan bak mandi bayi, seolah tengah melarung. "Malam itu saya keluar rumah, air sudah sedada," akunya.
Lutfi baru setahun tinggal di kompleks ini. Ia tidak betah dan berencana pindah. Dia cemas tumbuh kembang anak dan aktivitas keluarganya terhambat.
Andika Dwiwanto, koordinator lapangan Forum Warga Perumahan Harapan Indah, menyatakan banjir setinggi dengkul itu lumrah, "tapi setinggi dada, itu luar biasa." Serupa dengan warga lain, ia menegaskan banjir setinggi itu pertama kalinya terjadi selama dia menetap selama 35 tahun terakhir.
Taman Sari Kaget
Perempuan itu tengah selonjoran di teras sambil mengelem karet sepatu ketika saya hampiri. Dia tak mau menyebutkan nama, tak juga membukakan pagar. Namun ia mengaku banjir membuat majikan dan dirinya yang berdiam di Blok HN terkejut.
"Air masuk parkiran, sepinggang saya. Mobil juga terendam," katanya, salah satu penghuni Cluster Taman Sari. Di jalanan depan rumah, lanjutnya, air menyentuh paha. Untuk menyegerakan air surut, beberapa pemilik rumah urunan untuk membeli mesin pompa air. Dia tak ingat betul kapan air mulai naik atau surut di hari kejadian.
Andre, marbot masjid di klaster itu, mengatakan air masuk ke tempat mereka karena warga Harapan Indah merusak dinding pembatas agar air mengalir. "[Dipukul] pakai linggis, palu," katanya. Dinding pembatas yang coak itu tepat di sebelah masjid. Dari lubang tersebut, saya bisa melihat jelas Harapan Indah.
Di jalanan depan masjid, air sempat sepinggang orang dewasa. Sementara di teras masjid yang berposisi lebih tinggi dari jalanan, air setinggi paha.
Pemasangan ram--yang membuat sampah tersendat dan akhirnya membuat air menggenang di Harapan Indah--menurutnya memang dipasang warga Taman Sari pada 1 Januari. Menurutnya pemasangan itu awalnya sederhana: agar sampah tak sampai ke saluran pembuangan Taman Sari. Dia mengatakan tidak memperkirakan kalau itu membuat air di Harapan Indah bertambah parah.
"Tentu yang terkena banjir lebih besar [penduduk Harapan Indah], wajar jika kesal. Tapi tidak [boleh] ribut-ribut," ujar lelaki yang telah bekerja 10 tahun di sana.
Cluster Taman Sari masuk wilayah Pusaka Rakyat, Kecamatan Taruma Jaya, Kabupaten Bekasi. Artinya, dinding itu sekaligus memisahkan dua wilayah administrasi meski sama-sama dikembangkan oleh PT HDP.
Andre berharap pemerintah kota maupun kabupaten dapat bekerja sama, serta melibatkan PT HDP agar turun tangan menyelesaikan perkara banjir.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino