tirto.id - Hubungan pebulu tangkis Kevin Sanjaya Sukamuljo dengan pelatih Herry Iman Pierngadi atau Herry IP beberapa hari ke belakang sempat memburuk dan menjadi perbincangan di kalangan pencinta bulu tangkis.
Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Kevin mengaku sudah tidak bisa lagi bekerja sama dengan Herry IP karena sang pelatih tidak pernah memperlakukan dia dan pasangan gandanya dengan baik sejak pertama kali masuk Pelatnas bulu tangkis.
Memburuknya hubungan mereka pertama kali mencuat setelah gelaran Indonesia Open, 14-19 Juni 2022. Setelah turnamen itu Kevin tidak lagi mau berlatih di Pelatnas Cipayung. Ia menjelaskan segala alasan dan pertimbangannya kepada Aryono yang merupakan asisten Herry IP. Aryono pun sudah menyampaikan itu kepada Herry IP.
Sementara Herry IP mengaku tidak ada masalah dengan Kevin. Ketika dihubungi wartawan pada 26 September 2022, ia malah meminta supaya pertanyaan diajukan kepada Kevin.
"Saya tidak ada masalah karena Kevin yang tidak mau latihan dengan saya. Katanya, Kevin sudah tidak cocok berlatih dengan saya. Kalau sudah tidak merasa cocok, ya, tidak usah latihan dengan saya," ucap pelatih berjuluk Naga Api itu, dilansir Kompas.
Konflik ini kemudian berakhir setelah keduanya saling mengakui kesalahan dan meminta maaf, dilansir dari Jawa Pos.
Perseteruan seperti ini sebetulnya bukan barang baru di dunia perbulutangkisan Indonesia.
Pada akhir dekade 2000-an, PBSI sempat berseteru dengan Taufik Hidayat yang menolak berlatih dengan Joko Supriyanto. Taufik kecewa dengan keputusan federasi yang sudah memecat Mulyo Handoyo, sosok yang berjasa mengantarkan Taufik ke podium teratas Olimpiade Athena 2004.
Taufik adalah atlet kelas satu dan dia punya cukup kuasa untuk mengontrol apa yang terjadi di sekelilingnya. Ditambah lagi, periode tersebut bisa dibilang sebagai periode yang kurang bagus bagi bulu tangkis Indonesia. Artinya, Taufik adalah harapan terbesar bagi PBSI untuk meraup prestasi. Akhirnya, PBSI pun mengalah dan Mulyo dikembalikan ke Pelatnas.
Perseteruan seperti ini juga acap terjadi di berbagai cabang olahraga lainnya. Masih hangat dalam pusaran pemberitaan olahraga bagaimana 15 pemain Timnas Sepak Bola Perempuan Spanyol menolak panggilan dari pelatih mereka, Jorge Vilda.
Ke-15 pemain itu menulis surat terbuka dalam bahasa Inggris dan Spanyol yang diunggah ke akun media sosial mereka masing-masing. Gamblangnya, para penggawa La Roja tidak sudi bermain di bawah asuhan Vilda yang mereka anggap inkompeten dan menciptakan suasana tidak nyaman di kamp latihan.
Para pemain kecewa dengan rezim latihan Vilda yang membuat permainan mereka tidak berkembang dan gampang cedera. Mereka juga tidak menyukai cara Vilda mengontrol tim, salah satunya dengan memaksa agar pintu kamar hotel dibuka sampai tengah malam supaya dia bisa memastikan pemain sudah tidur.
Ini semua membuat para pemain Timnas Perempuan Spanyol serentak menentang Vilda. Selama Vilda masih menangani Timnas, mereka tidak akan mau menerima panggilan. Sayangnya, karena kuatnya unsur politis di RFEF (Federasi Sepak Bola Spanyol), Vilda rasanya bakal tetap dipertahankan.
Unsur politis itu erat kaitannya dengan posisi Luis Rubiales sebagai Presiden RFEF. Ayah Jorge Vilda, Angel, punya suara di RFEF dan dia merupakan salah satu pendukung Rubiales. Jika Rubiales menendang Vilda, dia bakal kehilangan suara penting yang mendukung rezimnya. Karena itu, cekcok di persepakbolaan perempuan Spanyol sepertinya bakal berlangsung lama.
Masih dari sepak bola, belum lama ini sejumlah penggawa Juventus juga dikabarkan mulai menentang Max Allegri. Menyusul hasil imbang kontra Salernitana, pertengahan September lalu, bek anyar Gleison Bremer diberitakan mengkritik taktik Allegri di ruang ganti. Bek asal Brasil itu mengaku tidak memahami apa yang diinginkan sang mister dari para pemainnya.
Padahal, tak lama sesudah bergabung dengan Juventus dari Torino, Bremer sempat melayangkan banyak pujian untuk allenatore barunya. Kata Bremer waktu itu, Allegri banyak mengajarkan hal baru kepadanya. Namun, tak berselang lama, dia sudah merasa frustrasi lantaran Allegri tak kunjung mampu menemukan racikan terbaik untuk Si Nyonya Tua.
Dari bela diri campuran (mixed martial arts/MMA), petarung UFC Colby Covington juga tak segan melempar pelatihnya ke bawah bus menyusul kekalahan pertamanya dari Kamaru Usman.
"Tidak semua orang tahu caranya bertarung dan memberi instruksi yang benar kepada petarung," ucap petarung berjuluk Chaos tersebut.
Antara Relasi Kuasa dan Perbedaan Visi
Di kebanyakan kasus, hubungan atlet dan pelatih bisa dijelaskan dengan relasi kuasa. Atlet boleh saja dielu-elukan dan lebih populer. Akan tetapi, pada praktiknya, mereka sebetulnya ada di posisi hierarkis terbawah. Ada relasi kuasa yang sebenarnya tak sehat antara atlet dan pelatih, khususnya dalam olahraga individual.
Pelatih biasanya berumur lebih tua dari atlet, oleh karena itu mereka dipandang sebagai sosok yang lebih tahu, lebih bijak, dan harus dihormati. Di beberapa kasus, ini memang benar.
Hubungan Mike Tyson dengan Cus D'Amato bisa jadi contoh. Tanpa D'Amato, potensi Tyson bakal terbuang sia-sia di jalanan atau malah di penjara. Tanpa D'Amato, Tyson tidak akan bisa jadi juara dunia tinju.
Namun, di kasus-kasus lain, hubungan pelatih dan atlet ini bisa menjurus ke perampasan otoritas. Pam Shriver, juara Grand Slam tenis ganda 22 kali, mengaku pernah terlibat dalam hubungan seksual dengan pelatihnya, Don Candy.
Hubungan itu dimulai ketika Shriver masih berumur 17 tahun dan Candy 50 tahun. Secara teknis, apa yang dilakukan Candy itu adalah statutory rape karena usia legal di Amerika Serikat adalah 18 tahun.
Kasus lain menimpa legenda tinju Sugar Ray Leonard yang mengaku pernah dilecehkan secara seksual oleh pelatihnya saat dia masih remaja. Menurut Leonard, pelatih tersebut tidak cuma melecehkan dirinya tetapi juga seorang atlet remaja lainnya.
Hal-hal seperti ini jamak sekali ditemukan di dunia olahraga. Bahkan, terkadang tak cuma pelatih yang melakukan perampasan otoritas tersebut. Di tim senam perempuan Olimpiade Amerika Serikat, seorang dokter bernama Larry Nassar juga melakukan hal serupa. Dengan kata lain, olahraga adalah ladang subur untuk terjadinya hal-hal durjana semacam ini.
Memang, tidak semua hubungan atlet dan pelatih seburuk itu. Biasanya, ini terjadi ketika ada ketimpangan yang amat sangat antara pelatih dan atlet, misalnya saat seorang atlet masih berusia sangat muda atau seorang atlet belum terkenal dan memiliki banyak prestasi.
Apa yang sempat terjadi dengan Kevin dan Herry IP, apabila ucapan Kevin memang benar, adalah contoh lain dari relasi kuasa yang timpang. Kevin menyebut bahwa Herry IP seperti menganaktirikannya ketika dia pertama kali masuk Pelatnas. Dengan kata lain, ini semua bermula ketika Kevin masih sangat muda, belum terkenal, dan belum berprestasi.
Namun, apabila ucapan Kevin itu tidak benar, berarti memang ada perbedaan pandangan yang sulit dikompromikan. Hal ini pun lumrah terjadi baik di olahraga tim maupun individual. Mari kita ambil Juventus sebagai contoh lagi.
Matthijs de Ligt, Dejan Kulusevski, dan Denis Zakaria musim lalu masih berkostum Juventus. Musim ini, masing-masing berkostum Bayern Muenchen, Chelsea, dan Tottenham Hotspur. Tiga pemain tersebut, dalam wawancara termutakhir, menyatakan bahwa mereka pindah dari Juventus karena ada ketidakcocokan dengan gaya bermain Allegri.
Kulusevski sudah menunjukkan bahwa pindah dari Juventus merupakan keputusan tepat. Bersama Antonio Conte di Tottenham, pemain asal Swedia itu tampil cemerlang dengan torehan 1 gol dan 3 asis sejauh ini di musim 2022/23. Sementara itu, De Ligt dan Zakaria belum betul-betul bersinar tetapi mereka mengaku lebih nyaman berada di klub barunya.
Di olahraga tim, seorang atlet memang tidak bisa seenaknya memilih pelatih. Sebuah tim olahraga pada dasarnya berfungsi bak sebuah perusahaan di mana pelatih adalah manajer yang mengatur segala tindak-tanduk pemain di lapangan. Jika ada ketidakcocokan, yang bisa dilakukan seorang pemain adalah beradaptasi atau angkat kaki.
Namun, dalam beberapa kasus, ada sejumlah atlet yang memiliki kuasa amat besar sehingga bisa memengaruhi pengambilan kebijakan di level manajemen. LeBron James dan mendiang Kobe Bryant di Los Angeles Lakers, misalnya, punya kuasa sebesar itu karena mereka adalah franchise player alias pemain tumpuan yang tidak cuma diandalkan untuk mendulang kemenangan tetapi juga fulus.
Bahkan, atlet seperti Tom Brady di NFL bisa punya kuasa untuk menunjuk pemain mana yang direkrut. Di Tampa Bay Buccaneers, Brady sanggup memengaruhi manajemen untuk merekrut Rob Gronkowski yang sebetulnya sudah pensiun dari NFL. Meski begitu, atlet yang punya kuasa sebesar ini hanya segelintir. Sebagian besar, ya, harus beradaptasi atau angkat kaki.
Di olahraga individual seperti tenis, tinju, atau MMA, seorang atlet di atas kertas punya kuasa lebih besar untuk menunjuk pelatih. Malah, dalam beberapa kesempatan, atlet-atlet di cabang ini ada yang memilih untuk tidak memiliki pelatih sama sekali seperti petenis putri Emma Raducanu pada paruh pertama tahun 2022.
Memang, potensi terjadinya perampasan otoritas dalam olahraga individual juga sebetulnya lebih besar, terutama ketika seorang atlet belum memiliki kuasa yang besar. Akan tetapi, ketika seorang atlet sudah mencapai level tertentu, tak jarang relasi kuasa ini berbalik arah. Atletlah yang lebih berkuasa menunjuk serta memberhentikan pelatihnya jika dianggap tidak cocok.
Bulu tangkis sebenarnya olahraga individual. Akan tetapi, Pelatnas Cipayung tidak ubahnya sebuah perusahaan laiknya sebuah tim olahraga. Ada manajemen, ada pelatih, dan ada atlet yang terlibat dalam dinamikanya. Oleh karena itu, atlet seperti Kevin punya opsi terbatas. Kevin tak bisa sembarangan memecat Herry IP karena bukan dia yang punya wewenang dalam hal itu.
Tak Selalu Berhasil
Lalu, apakah melakukan pergantian pelatih bakal selalu berefek positif? Tentu saja tidak, karena memang ada banyak sekali faktor yang bermain dalam keberhasilan seorang atlet. Bahkan, belakangan ini mulai banyak yang menghitung keberuntungan sebagai sebuah faktor yang valid.
Sir Andy Murray, misalnya, sangat sering melakukan pergantian pelatih. Akan tetapi, faktor cedera acap menghambatnya dalam meraih prestasi terbaik. Petenis asal Skotlandia itu sebenarnya punya kemampuan yang mumpuni, terbukti dari keberhasilannya meraih tiga gelar Grand Slam. Namun, Murray mesti bergelut dengan banyak hal selain metode latihan untuk bisa konsisten berprestasi.
Di sisi lain, Novak Djokovic yang jarang terkendala cedera mengalami nasib bertolak belakang. Djokovic pun beberapa kali melakukan pergantian pelatih dan dia tetap konsisten berprestasi di level tertinggi. Bahkan, torehan gelar Grand Slam-nya kini jadi yang terbanyak kedua di tenis putra. Dia hanya tertinggal dari Rafael Nadal.
Bicara soal Nadal, pergantian pelatih juga tidak banyak berpengaruh baginya. Pada 2017 lalu Nadal berpisah dengan paman yang sudah melatihnya sejak kanak-kanak, Toni. Nyatanya, bersama pelatih baru Carlos Moya, kemenakan eks pesepak bola Miguel Angel Nadal itu tetap konsisten berprestasi, terlihat dari kesuksesan meraih enam gelar Grand Slam.
Di olahraga tim, pergantian pelatih juga tidak menjamin apa pun. Memang, bakal selalu ada sentimen positif ketika ada pergantian pelatih di masa sulit. Namun, mengubah sentimen positif itu menjadi konsistensi adalah perkara yang sulitnya bukan main. Lagi-lagi, ada banyak sekali faktor yang bermain di sana.
Pada akhirnya, mencari kecocokan antara atlet dan pelatih adalah perkara luar biasa sulit. Ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan. Ada banyak hal yang acapkali mesti dikorbankan kedua belah pihak.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi