Menuju konten utama

Kisah Para "Underdog" di Rio 2016

Olimpiade Rio 2016 telah mencatatkan berbagai rekor, baik dari segi penyelenggaraan, maupun dari sisi kompetisi di arena. Beberapa negara besar dengan atlet-atlet tangguh menguasai gelanggang dengan memborong perolehan medali. Di sisi lain, ajang ini juga memberikan ruang bagi para debutan untuk berjaya. Negara dan atlet mana saja yang mampu mencuri perhatian pada gelaran Olimpiade Rio 2016?

Kisah Para
Joseph Schooling, memenangi medali emas mengalahkan idolanya Michael Phelps. Ia membuat Singapura mendapatkan medali emas Olimpiade untuk pertama kalinya. [Foto/straitstimes.com]

tirto.id - Olimpiade Rio 2016 telah usai. Berbagai pencapaian gemilang tercatat di ajang ini. Kita dapat menyaksikan keperkasaan Michael Phelps melengkapi emas ke-23nya di kolam akuatik dalam usia yang tak lagi muda. Di lapangan sepakbola, kita menyaksikan bagaimana Brazil akhirnya berhasil memenangkan medali emas olimpiade setelah berkali-kali gagal.

Rio 2016 juga menjadi saksi kedigdayaan Amerika Serikat yang kembali menjadi juara umum dengan selisih medali yang cukup banyak dengan para pesaingnya.

Namun, apakah Rio 2016 hanya sebatas ajang kejumawaan negara-negara besar? Tunggu dulu.

Olimpiade Rio 2016 juga menjadi panggung bagi negara-negara kecil yang kerap lekat dengan status “underdog” atau pihak yang tidak diunggulkan. Sebagian di antaranya adalah negara yang tak terkenal. Beberapa negara lainnya bahkan negara yang baru saja lahir.

Atlet-atlet negara ini menunjukkan bahwa prestasi tidak serta merta berbanding lurus dengan kemampuan finansial atau kemakmuran, mengingat mereka seringkali bergelut dengan keterbatasan.

Berikut merupakan catatan singkat tentang negara-negara non-unggulan yang telah sukses mewarnai gelaran Rio 2016.

Para debutan di Rio 2016

Komite Olimpiade Internasional (IOC) mencatatkan dua negara yang baru pertama kali berpartisipasi pada olimpiade di ajang Rio 2016: Sudan Selatan dan Kosovo. Keduanya adalah negara yang terhitung masih belia. Namun, keduanya memiliki kisahnya masing-masing.

Sudan Selatan baru resmi meraih status negara melalui referendum yang digelar di negara induknya, Sudan, pada 2011. Negara ini pun baru memperoleh status keanggotaan IOC secara aklamasi pada 128th IOC Session di Kualalumpur, 2 Agustus 2015. Sebelumnya, negara ini sempat mengirimkan satu atletnya, Guor Marial, untuk berkompetisi di Olimpiade 2012. Di ajang itu, Marial mengusung status “Independent Olympic Athlete” pada cabang maraton, karena komite olimpiade negaranya belum terbentuk.

Olimpiade adalah ajang yang sangat berarti bagi negara baru seperti Sudan Selatan. Statusnya sebagai ajang olahraga terbesar dan tertinggi di dunia memberi kesempatan bagi negara-negara ini untuk dikenal dan diakui oleh dunia. Tak heran mereka menyambutnya dengan sangat antusias.

Saat acara pengesahan keikutsertaan Sudan Selatan di Rio 2016, para delegasi Sudan Selatan tampak emosional. Tangis mereka pecah seketika di tengah sesi yang masih berlangsung.

Tong Deran, sekretaris jenderal komite olimpiade Sudan Selatan, mengatakan air matanya didedikasikan untuk para atlet negaranya yang bahkan harus “berlatih tanpa bisa sarapan terlebih dahulu,” seperti dikutip dari The Guardian.

Kondisi Sudan Selatan yang memprihatinkan membuat presiden IOC Thomas Bach menjamin dukungan lembaganya terhadap kontingen Sudan Selatan.

“Kami mengharapkan masa depan yang lebih baik bagi kalian. Kami akan selalu berada di sisi kalian,” tandasnya.

Pada ajang Rio 2016, Sudan Selatan mengirimkan tiga atlet: Santino Kenyi pada nomor lari 1500 meter, Margret Rumar Hassan pada nomor lari 200 meter, serta Guor Marial yang kembali berlaga pada nomor maraton. Sayangnya, hingga Rio 2016 berakhir, Sudan Selatan belum berhasil memperoleh medali.

Perjuangan atlet Sudan Selatan untuk mencapai Olimpiade tidak main-main. Mereka tetap tegar berlatih di tengah-tengah peperangan yang masih berkecamuk. Mereka benar-benar berlatih di bawah ancaman peluru yang berdesingan di telinga mereka.

“Saya berlatih dengan ditemani perang. Orang-orang di sekitar kami bertempur dan kami tetap berlatih,” ungkap Santino Kenyi kepada VOA.

“Peperangan ini sudah berulang kali terjadi di sekitar kami para atlet dan saya sudah terbiasa mendengar desing peluru, karena hal itu selalu terjadi di dekatku,” imbuh Kenyi.

Para atlet Sudan Selatan tidak memiliki harapan yang muluk untuk memenangkan medali. Misi mereka lebih besar dari sekadar kalungan medali di leher. Mereka berharap, keikutsertaan ini dapat meniupkan harapan bagi negara yang masih tercabik peperangan.

“Kami bahagia untuk generasi mendatang Sudan Selatan, mereka akan dapat membawa bendera kami di olimpiade. Kami hanyalah pembuka jalan bagi mereka,” papar Kenyi.

“Kami berharap dapat membawa persatuan. Semoga peran yang kami rintis di olahraga dapat menyatukan 64 suku dan 10 negara bagian di Sudan Selatan,” tandas Guor Marial.

Cerita berbeda ditorehkan oleh Kosovo. Negara pecahan federasi Yugoslavia ini justru berhasil membukukan emas pertamanya pada debut mereka di Olimpiade. Keberhasilan Kosovo dibukukan oleh atlet judo mereka, Majlinda Kelmendi, yang turun pada kelas 52 kg. Kosovo sendiri turun di Rio 2016 dengan beranggotakan delapan atlet.

Kelmendi—yang juga merupakan pembawa bendera kontingen Kosovo di pembukaan Rio 2016—ternyata bukanlah atlet sembarangan. Kelmendi merupakan atlet peringkat 1 di kelasnya dan tercatat dua kali sebagai juara dunia judo sehingga dijuluki sebagai “sang ratu judo.” Kelmendi juga telah berpartisipasi pada Olimpiade London 2012, meskipun saat itu ia berlaga di bawah bendera Albania.

Harapan Kelmendi dan atlet-atlet Kosovo untuk memanggul nama negaranya di pundak seringkali mendapat hambatan politis dari negara-negara eks federasi Yugoslavia, khususnya Serbia. Tak tanggung-tanggung, Serbia bahkan mengundurkan diri dari Rio 2016 untuk memprotes keikutsertaan Kosovo. Langkah ini diambil mengingat Serbia masih menganggap Kosovo sebagai salah satu provinsi mereka.

Saat mengikuti Kejuaraan Dunia Judo 2015 di Rusia, Kelmendi terpaksa melepas nama “Kosovo” dari seragamnya. Ia mendapatkan tekanan dari pihak Rusia—yang merupakan sekutu lama Serbia—untuk berlaga dengan memakai inisial “IJF” di seragamnya.

“Pelecehan” itu sepertinya tidak membuat Kelmendi gentar. Ia dengan gagah berhasil menyabet gelar juara dunia di depan presiden Rusia, Vladimir Putin—seseorang pemimpin yang juga dikenal sebagai atlet judo tangguh pemegang sabuk hitam. Kemenangan Kelmendi seakan mengirimkan pesan bagi Putin, bahwa negaranya tidak memerlukan seragam hanya untuk diakui oleh dunia.

Selepas kemenangannya di Rio 2016, Kelmendi merasa bangga dapat menjadi pahlawan bagi anak-anak Kosovo.

“Saya bisa membuktikan kepada mereka [anak-anak Kosovo] bahwa setelah negara kami berhasil selamat dari peperangan, jika mereka ingin meraih sesuatu, mereka pasti bisa. Jika mereka ingin jadi juara Olimpiade, mereka pasti bisa, meskipun berasal dari negara kecil dan miskin seperti kami,” papar perempuan yang sempat berpikir untuk pindah kewarganegaraan akibat kurangnya perhatian dari pemerintah Kosovo ini.

Emas pertama di Rio 2016

Selain menjadi ajang para negara debutan, Olimpiade Rio 2016 juga diwarnai oleh sukacita negara-negara yang baru pertama kali memperoleh medali emas.

Negara-negara yang berhasil meraih emas pertama antara lain Fiji ( untuk cabang olahraga rugby), Bahrain (3.000 meter halang rintang putri), Pantai Gading (taekwondo), Yordania (taekwondo), Puerto Riko (tenis tunggal putri), Singapura (renang 100 meter gaya kupu-kupu), Tajikistan (lontar martil), Vietnam (menembak) dan Kosovo (judo).

Satu emas lagi diraih oleh atlet Kuwait bernama Fehaid al-Deehani. Sayangnya, pada Rio 2016 ia tidak mewakili negaranya. Saat ini Kuwait tengah mendapatkan sanksi dari IOC akibat intervensi yang dilakukan oleh pemerintah mereka atas Komite Olimpiade Kuwait.

Sanksi ini membuat al-Deehani harus “rela” mewakili bendera “Independent Olympic Athletes”, sebuah entitas untuk mewadahi atlet-atlet yang terancam tidak bisa berlaga di olimpiade karena masalah negara mereka.

Kenyataan ini tidak menghalangi semangat bertarung al-Deehani—yang juga merupakan perwira militer di negara asalnya. Ia akhirnya berhasil menyabet emas untuk cabang menembak nomor double trap putra, sekaligus menjadi emas pertama bagi kontingen “Independent Olympic Atheletes” sejak mulai berlaga di Olimpiade Sydney 2000.

Himpitan para raksasa juga tak membuat gentar petenis Puerto Riko, Monica Puig. Puig—petenis peringkat 34 dunia yang belum pernah menyentuh semifinal turnamen Grand Slam sepanjang karirnya—berhasil menaklukkan Angelique Kerber, sang juara Australia Terbuka 2016.

“Olimpiade ini bukan hanya tentang saya, tapi tentang Puerto Riko!” pekiknya sebelum pertandingan.

Kedigdayaan juga ditunjukkan oleh Joseph Schooling, pemuda berusia 21 tahun yang menyumbangkan emas pertama bagi Singapura. Pada perlombaan renang nomor 100 meter gaya kupu-kupu, ia berhasil mengungguli idola masa kecilnya, perenang Michael Phelps dari Amerika Serikat.

Kemenangan Schooling ini mengejutkan, tidak hanya bagi publik atau Phelps, tapi juga bagi Schooling sendiri. Ia tidak pernah menyangka dapat menyentuh garis finish mendahului sang legenda Olimpiade yang telah mengoleksi 23 medali emas sepanjang karirnya.

“Maafkan saya kalau saya terlihat tidak bahagia tapi saya tidak tahu harus berkata apa. Saya masih belum percaya, apakah saya sudah memenangkan emas, atau masih mempersiapkan lomba tadi. Perasaan saya masih terombang-ambing di antara keduanya,” beber Schooling kepada situs resmi Rio 2016.

Selepas berlaga, Phelps masih sempat bertukar sapa dan memberikan apresiasi atas keberhasilan Schooling mengalahkannya. Kedua perenang ini terlibat perbincangan yang cukup menarik di dalam kolam olimpiade.

Phelps berkata, “Kerja yang bagus. Itu tadi adalah balapan yang sangat hebat.”

Schooling menimpalinya sembari berkelakar: “Empat tahun lagi?”

Phelps menolaknya. “No way”, tandas Phelps. Usianya memang sudah tak muda dan berkali-kali bilang akan pensiun.

Schooling berharap Phelps mengubah keputusannya. Ia mengaku sangat menikmati berlomba melawan salah satu perenang terbaik sepanjang masa itu.

Keikutsertaan negara-negara non-unggulan di Olimpiade merupakan perlambang bahwa mereka bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara yang jauh lebih besar.

Atau, jika mereka berhasil mendapatkan emas, seperti yang telah ditunjukkan negara-negara dalam tulisan ini, berarti mereka bisa berdiri setingkat lebih tinggi dari negara-negara lainnya.

Citius! Altius! Fortius!

Baca juga artikel terkait OLIMPIADE atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Olahraga
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Maulida Sri Handayani