tirto.id - Orang-orang Papua yang tinggal di Jakarta kerap diperlakukan rasis hanya karena fisiknya berbeda dibanding yang lain.
Ambrosius Mulait (23), mahasiswa asal Papua yang menjabat Plt Dewan Pimpinan Wilayah Indonesia Barat Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (AMPTPI), tahu betul perkara ini. Perlakuan rasis harus dia terima bahkan saat baru menginjakkan kaki di Jakarta.
Ambrosius ingat betul bagaimana dia dan kawan-kawan Papua lain kesulitan mencari kontrakan. Banyak pemilik kontrakan menolak kamarnya dihuni mahasiswa asal Papua.
"Mereka sebut kami pemabuk, suka berkumpul banyak. Stigma kami sudah buruk," katanya kepada saya, Senin (26/8/2019) pagi.
Masyarakat Indonesia sebetulnya baik, kata Ambrosius. Masalahnya ada pada aparat: merekalah produsen rasisme dan orang-orang jadi mengikuti, menurut Ambrosius.
"Aparat negara kadang tidak suka ketika kami turun aksi damai ke jalan. Kemudian bentrok, menangkap kami. Aparat dapat citra buruk dan akhirnya mereka malu dan ciptakan stigma negatif kepada masyarakat Jawa untuk memandang Papua. Mereka memandang mahasiswa Papua negatif dan buruk. Itu sangat terlihat."
Michael Himan (26), pengacara publik pendamping mahasiswa Papua dan advokasi buruh, tak luput diperlakukan rasis. Dia membenarkan pernyataan Ambrosius bahwa rasisme memang dilanggengkan. Salah satunya lewat media massa.
Media massa, menurut Wisnu Prasetya Utomo dalam salah satu tulisannya di Remotivi, mengatakan berita yang bertendensi rasis "bisa membuat publik terpengaruh dan menjadikan berita sebagai legitimasi untuk melakukan aksi-aksi kekerasan."
"Lewat televisi-televisi dan media, saat kampanye Pilpres, selalu disampaikan bahwa Papua memiliki keterbelakangan. Akhirnya stigma menempel. Dalam pidato-pidato resmi itu, kan, [politikus] selalu bicara Papua karena ketertinggalan, keterbelakangan. Akhirnya paradigma masyarakat Indonesia barat teradopsi dari kalimat-kalimat yang dikeluarkan secara sistematis dari pemimpin negara," kata Michael.
Michael sudah delapan tahun tinggal di Jakarta. Selama itu pula dia terus menerus diperlakukan rendah. Saat naik angkot, di warung makan, bahkan di dalam mal, kata Michael.
"Kok bisa, ya, orang Papua ke mal?" kata Michael mencoba menafsirkan apa yang ada di benak orang-orang yang memandanginya. "Aduh, saya merasakan sekali itu. Cara pandangnya merendahkan sekali."
Filep Karma, aktivis kemerdekaan Papua yang pernah dipenjara karena mengibarkan Bintang Kejora, merangkum semua perlakuan rasis ini--juga kekerasan-kekerasan terhadap orang Papua--dalam buku berjudul Seakan Kitorang Setengah Binatang.
Bagi Michael, tidak ada yang lebih tepat menggambarkan kondisi orang Papua di Indonesia bagian barat selain dari judul buku itu. "Seperti itulah," katanya.
Semestinya rasisme dibuang jauh-jauh dari bumi Indonesia, kata Michael, karena masyarakat Indonesia pun dalam sejarahnya diperlakukan rasis oleh Kumpeni Belanda.
"Seharusnya saudara-saudara yang lama terjajah mengajari kami. Ini malah sebaliknya."
Akhirnya, kata Michael, warga Papua jadi rendah diri. "Jadi lingkaran setan, terus berputar saja seperti ini. Jadi... begitulah," katanya dengan nada kesal.
Seperti api dalam sekam, rasisme akhirnya memicu kerusuhan di Papua sejak Senin pekan lalu (19/8/2019). Pemicunya adalah pengepungan mahasiswa Papua di Surabaya oleh ormas dan TNI dan Polri. Mereka dituduh merusak bendera merah putih, lalu dimaki dengan sebutan binatang.
Informasi ini sampai juga ke Tanah Papua. Masyarakat marah dan protes. Aksi damai hingga kerusuhan terjadi di mana-mana. Bahkan hingga berita ini ditulis kabarnya aksi-aksi menolak rasisme masih terjadi di Papua.
Mikael Kudiai, seorang demonstran di Nabire, menegaskan apa yang terjadi di tanah kelahirannya saat ini adalah akumulasi atas rasisme yang tidak kunjung habis.
"Rasisme ini sangat menyakiti kami. Ini menjatuhkan martabat orang Papua," katanya.
Respons pemerintah yang paling menonjol atas aksi-aksi protes ini adalah: membatasi lalu memutus sama sekali akses internet.
Sementara Presiden Joko Widodo meminta orang Papua memaafkan perlakuan rasis terhadap mereka.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino