Menuju konten utama

Kisah Eksplorasi Awal Bangsa Eropa ke Tanah Papua

Selama berabad-abad, Papua telah terhubung dengan Nusantara dan dunia. Namun, sampai menjelang zaman modern, rahasia di balik lebatnya hutan Papua masih belum tersingkap.

Kisah Eksplorasi Awal Bangsa Eropa ke Tanah Papua
Peta Papua tahun 1600. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Alfred Russel Wallace gusar dan kesal. Kala itu, Mei 1858, musim kemarau menjelang dan cuaca benar-benar bagus untuk berburu spesimen. Tetapi gara-gara luka di tumitnya yang mengalami peradangan, Wallace hanya bisa berdiam diri di gubuknya.

Malang, semua pembantunya juga jatuh sakit. Ia hanya bisa duduk seharian sambil membayangkan soal 20 atau 30 spesimen serangga yang bisa dikumpulkannya kalau saja kakinya baik-baik saja. Padahal, ia sedang berada di pulau paling indah di dunia.

“Dan di sinilah tempatnya, di New Guinea—sebuah wilayah yang mungkin saja tidak akan pernah saya kunjungi lagi, sebuah wilayah di mana tidak seorang naturalis pun pernah tinggal di sana sebelumnya—sebuah wilayah yang memiliki lebih banyak benda-benda alam yang asing, baru dan indah dibandingkan belahan dunia lain,” tulis naturalis Inggris itu dalam Kepulauan Nusantara (2009: 369).

Kala itu Wallace bermukim di Dorey, sebuah desa pesisir di dekat Kota Manokwari sekarang. Itu adalah kunjungannya yang pertama dan terakhir di daratan Nieuw Guinea. Pada 1857, ia telah lebih dulu memudiki Kepulauan Aru dan Kei. Di sana ia cukup banyak memperoleh spesimen kumbang dan burung-burung langka.

Karenanya, Wallace memacak ekspektasi besar di Nieuw Guinea. Namun sayang, ia dan pembantu-pembantunya malah lebih sering meringkuk di gubuk akibat terserang demam atau disentri. Dalam bukunya ia mengakui, tantangan di Nieuw Guinea lebih sulit daripada yang pernah ia alami sebelumnya.

Dan sampai saat itu isi daratan Nieuw Guinea—atau yang hari ini kita kenal sebagai Papua—masih misterius. Karena tenaga dan perlengkapan yang terbatas, Wallace tak bisa menjelajah lebih jauh dari hutan-hutan di sekitar kampung Dorey. Seperti diungkapkan Wallace, belum ada seorang pun yang menyingkap apa yang ada di balik lebatnya hutan tropis Nieuw Guinea.

Usaha Wallace mendapatkan lebih banyak spesimen cendrawasih gagal. Dari keseluruhan ekspedisinya di Kepulauan Aru, Waigeo, dan Dorey, selama 1857-1860, hanya lima spesies cendrawasih yang berhasil di dapatnya.

Tetapi, ia tahu belaka bahwa daerah pesisir memang bukanlah tempat yang cocok untuk berburu cendrawasih. Spesies cendrawasih yang langka hanya dapat ditemukan di pedalaman, sejauh beberapa hari perjalanan di antara gunung-gunung terjal. Masalahnya, saat itu tak ada seorang pun yang berani lebih jauh. Orang Dorey, misalnya, takut pada suku-suku penghuni pegunungan Arfak. Nieuw Guinea benar-benar belum tersentuh.

“Seluruh New Guinea berbatu-batu dan bergunung-gunung, serta ditutupi oleh hutan belantara yang lebat. Selain itu, di New Guinea terdapat banyak rawa, jurang dalam dan tebing curam. Akibatnya, daerah pedalaman New Guinea sulit ditembus,” tulis Wallace dalam bukunya (hlm. 421).

Kabar-Kabar Pertama tentang Papua

Papua sebenarnya tak benar-benar asing bagi warga Nusantara. Kakawin Negara Kertagama dari abad ke-14 telah mencatat adanya kontak antara Jawa dengan beberapa penguasa dari wilayah barat Papua. Utusan-utusan dari Wanin, Sran, dan Wandan—ketiganya mengacu ke beberapa daerah di “kepala burung” Papua—setidaknya pernah menyambangi ibu kota Majapahit kala itu.

Kontak yang lebih intens dengan orang-orang Papua dijalin kesultanan-kesultanan di Maluku. Rosmaida Sinaga dalam Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962 (2013: 35) menyebut, pada abad ke-16 pulau-pulau di Raja Ampat menjadi rebutan kesultanan-kesultanan besar Maluku. Ketika Sultan Ternate melebarkan hegemoni ke Sulawesi, Sultan Tidore telah punya pengaruh di Seram Timur dan pulau-pulau di antara Halmahera dan Nieuw Guinea sebelah barat.

Kabar-kabar tentang Papua juga didapat dari pelaut-pelaut Eropa. Orang Eropa pertama yang mengabarkan tentang adanya pulau besar di sebelah timur Kepulauan Maluku adalah dua pelaut Portugis bernama D’Abreu dan Serrano pada 1511. Nama Papua untuk menyebut pulau itu pertama kali dituturkan oleh Antonio Pigafetta, penjelajah asal Italia dan anak buah Ferdinand Magellan, pada 1521.

Nama Nueva Giunea, atau dalam bahasa Belanda disebut Nieuw Guinea—Guinea Baru, adalah yang paling dikenal dunia selama beberapa abad. Nama itu berasal dari pelaut Spanyol Ortiz de Retes yang menginjakkan kaki di sana pada Juni 1545. Kesamaan ciri fisik penduduk pulau tersebut dengan orang-orang Guinea di Afrika mengilhaminya memberi nama itu.

Sejauh itu, orang-orang Eropa hanya memandang Nieuw Guinea dari geladak kapal mereka. Sangat sedikit keterangan rinci tentang daratan itu. Suatu informasi yang patut disebut salah satunya datang dari seorang pelaut VOC bernama Jan Cartensz.

Norman Edwin dalam artikel “Gunung Salju di Irian Jaya” yang tayang di majalah Suara Alam (no. 63, Desember 1988) menyebut bahwa Cartensz adalah orang Eropa pertama yang mengabarkan tentang adanya gunung bersalju di Nieuw Guinea. Saat itu, 16 Februari 1623, ia sedang berada di perairan Laut Arafuru.

“Kami melihat suatu gunung sangat tinggi yang memutih di berbagai tempat karena salju, suatu hal yang tentunya aneh bagi gunung yang begitu dekat dengan garis khatulistiwa,” tulis Cartensz dalam buku catatannya sebagaimana dikutip Norman Edwin.

Tak ada saksi lain yang membenarkan pandangan mata Cartensz saat itu. Karenanya, informasi itu hanya dianggap mitos selama dua abad berikutnya.

Informasi lain yang serba sedikit tentang topografi tanah Nieuw Guinea dikabarkan penjelajah Perancis bernama Louis-Antoine de Bougainville. Pada 1768, di tengah pelayarannya mengelilingi dunia, de Bougainville menyusuri pesisir utara Nieuw Giunea. Perjalanan itu tercatat dalam Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX yang disusun Bernard Dorleans (2016).

Seturut de Bougainville, pesisir Nieuw Guinea adalah dataran rendah yang dipenuhi rawa-rawa. Ia dan anak buahnya tak tertarik mendarat karena tanah itu tandus. Tetapi, dari kejauhan diamatinya gunung-gunung yang ditaksirnya memiliki ketinggian lebih dari 5.000 meter (hlm. 239). Salah satu gunung yang dilihatnya kemudian disebutnya sebagai Gunung Cyclops.

Infografik Pionir eksplorasi papua

Belanda Mulai Tertarik

Sejak abad ke-18, VOC mengawasi Nieuw Guinea melalui perantaraan Kesultanan Tidore. VOC merasa tak perlu menguasai langsung pulau itu karena tak ada rempah-rempah yang tumbuh baik di sana. VOC hanya membantu Tidore mengamankan pesisir utara Nieuw Guinea dari perompak lokal.

Menurut Rosmaida, Belanda baru menaruh perhatian kepada Nieuw Guinea saat bangsa Eropa lain mulai berdatangan ke sana pada awal abad ke-18. Meskipun tak membawa keuntungan finansial, Belanda tak rela bangsa lain mengolonisasi Nieuw Guinea. Pada 1828, Belanda mendirikan pangkalan militer di sebuah wilayah di Kepala Burung yang diberi nama Fort du Bus.

Pangkalan itu tak bertahan lama, karena pada 1835 sudah dibongkar. Sejak itu, Belanda hanya mengintensifkan patroli kapal perang di perairan Nieuw Guinea. Di beberapa tempat, patroli tersebut bertugas menumpas perampok dan memasang patok sebagai tengara kekuasaan Belanda.

Belanda sadar, meskipun punya kekuatan militer, pengetahuan mereka atas Nieuw Guinea sangat terbatas. Belanda menguasai perairan dan daerah pesisir tetapi belum pernah mengadakan kontak sekalipun dengan pedalaman Nieuw Guinea.

“Kegagalan Fort du Bus telah menyadarkan pemerintah Belanda akan pentingnya suatu penelitian ilmiah sebelum pembukaan suatu pangkalan. Selain itu, eksplorasi menjadi sarana untuk memperkuat hak Belanda atas bagian barat Nieuw Guinea,” tulis Rosmaida dalam bukunya (hlm. 41-12).

Ketika bermukim di Dorey, Wallace bertemu dengan seorang naturalis Jerman bernama Rosenberg. Ia adalah salah satu anggota Misi Etna yang diberi tugas sebagai juru gambar. Misi Etna dikirim khusus untuk memetakan dan mengeksplorasi salah satu terra incognita terbesar di bumi kala itu.

Di bukunya, Wallace menulis, “Di sana mereka akan tinggal selama beberapa tahun untuk mengelilingi pulau. Mereka menelusuri sungai-sungainya yang besar sejauh mungkin hingga masuk ke pedalaman, serta mengumpulkan koleksi flora dan faunanya sebanyak mungkin” (hlm. 423).

Namun, bukan sebuah laporan eksplorasi yang kemudian diberikan Misi Etna kepada pemerintah kolonial Belanda. Rosmaida menyebut bahwa Misi Etna malah mengajukan rekomendasi untuk mencabut instruksi pendirian pangkalan militer atau pemerintahan di Nieuw Guinea (hlm. 41). Masih butuh waktu lama bagi masyarakat dunia menyingkap tabir belantara Papua.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PAPUA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan