tirto.id - Masyarakat Dusun Punik, Desa Batudulang, Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) perlu berjalan kaki menanjak sejauh 500 meter menuju pegunungan hanya untuk mendapatkan sinyal internet. Itu pun berjudi, sebab tak melulu sinyal bagus.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebut pada 2018 lalu masih ada 31,8 persen penduduk di NTB yang belum menggunakan internet.
Dusun Punik berada di ketinggian 840 mdpl, dengan topografi cekung akibat berada di antara perbukitan. Kurang lebih 500 KK mendiami dusun tersebut. Butuh waktu 1 jam 30 menit atau sekitar 35 kilometer dari pusat Kota Sumbawa untuk tiba di sana melalui jalur darat, dengan jalan yang tak semulus aspal perkotaan.
Beruntung listrik sudah masuk ke tempat ini pada Agustus 2019. PLN Unit Induk Wilayah NTB membangun jaringan di sana.
Karena listrik pula para murid SDN Punik dan SMPN 3 Satap masih tetap bisa belajar meski tak di sekolah karena Corona. Di tengah keterbatasan internet, mereka belajar dengan cara yang tak lazim: menggunakan handie talkie (HT).
Pegiat pendidikan sekaligus Dosen FKIP Universitas Samawa (Unsa) Rusdianto AR adalah inisiator konsep pembelajaran yang disebut smart learning yang mengandalkan jejaring sesama anggota Radio Amatir Penduduk Indonesia (RAPI) itu. Ide ini diperoleh setelah ia berdiskusi dengan dinas pendidikan setempat.
“Kebetulan saya, para guru, dan kepala sekolah di sana satu grup di RAPI. Kami sharing seperti itu [menggagas belajar dengan HT],” ujar Rusdi kepada reporter Tirto, Senin (10/8/2020).
Lebih Murah
Metode belajar dengan HT lebih murah ketimbang pakai internet. Warga Dusun Punik yang mayoritas petani kopi hanya perlu mengisi ulang baterai HT sampai penuh. HT pun siap dipakai selama tiga hari.
Sementara untuk pengadaan HT-nya sendiri, warga patungan, dan Rusdi yang membelinya. Sebenarnya ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp800 ribu untuk SD dan Rp 1,2 juta untuk SMP yang bisa dipakai. Namun karena lama cair, uang BOS tak dipakai.
Rusdi memborong HT bopeng buatan Cina dari toko jual beli daring yang masing-masing dijual dengan harga Rp105 ribu. Sekarang sudah ada 108 HT yang dipakai 60 siswa dan 8 guru tingkat SD; dan 35 siswa dan 5 guru tingkat SMP.
Terdapat 16 saluran dalam frekuensi ultra tinggi atau Ultra High Frequency (UHF). Siswa kelas 1 akan berada di saluran satu, siswa kelas 2 di saluran dua, begitu seterusnya sampai siswa kelas 9.
Sisa saluran yang tersedia akan digunakan untuk kegiatan guru dan lain-lain. Tidak melulu untuk pembelajaran, melainkan bisa dimanfaatkan warga untuk “menginformasikan keluarga yang berada di kebun juga.”
Ada kelebihan, ada pula kekurangan. HT tidak bisa digunakan di luar dusun. Cakupan radio hanya bisa menjangkau jarak kurang lebih 5 kilometer.
Menurut Rusdi, metode belajar dengan HT akan terus digunakan dan selama “belum ada kebijakan yang melarangnya.”
Dana BOS Bisa Dimanfaatkan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai insiatif Rusdi dan kawan-kawan di Dusun Punik dapat menjadi percontohan bagi daerah lain yang mengalami kesulitan pembelajaran selama COVID-19.
Selain memberdayakan masyarakat sekitar, menurut Ubaid, perlu juga adanya dukungan pemerintah dalam kelenturan memanfaatkan dana BOS agar “menyesuaikan dengan kebutuhan lokal.”
Namun, pemerintah dan pihak sekolah harus berkoordinasi lebih lanjut sehingga dana BOS bisa dibelanjakan dengan benar.
“Pihak sekolah juga harus memahami pengelolaannya. BOS ini masih jadi barang misteri di sekolah karena tidak dikelola secara transparan dan akuntabel,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri