tirto.id - Label bengis dan raja tega cukup pantas disematkan kepada Carl Panzram. Pria yang lahir pada 28 Juni 1892 ini, salah satu pembunuh berantai paling sohor dalam sejarah Amerika Serikat (AS).
Panzram mengklaim telah melakoni 21 pembunuhan dan menyodomi lebih dari 1.000 laki-laki dewasa dan anak-anak. Setelah serangkaian penangkapan dan kabur dari penjara, ia akhirnya dieksekusi pada 1930 di Leavenworth Federal Penitentiary.
Sesaat sebelum menuju tiang gantungan, ia meludahi seorang algojo yang berusaha menutup kepalanya dengan tudung berwarna hitam. Saat ditanya apa kata-kata terakhirnya sebelum meninggal, Panzram menjawab lantang sembari menyeringai: “Cepat lakukan, bangsat! Saya bisa membunuh selusin laki-laki saat kamu mengacau!”
Bedanya orang kebanyakan dengan Panzram, ia punya kesempatan mengetahui kapan maut menjemput dan sempat mengucapkan kata-kata terakhir. Kata-kata tersebut bisa menjadi semacam ringkasan mengenai hidup yang pernah dijalani.
Pada 11 Mei 2018, seorang profesor asal Australia berusia 104 tahun, David Goodall, terbang dari Perth menuju Basel, Swiss, demi satu tujuan: ia ingin mengakhiri hidupnya. Goodall pun kemudian tiba Life Circle/ Eternal Spirit Foundation: sebuah klinik khusus untuk menangani orang-orang yang ingin mati.
Selayaknya persiapan jelang kematian, Goodall tentu juga punya permintaan khusus. Ia ingin menyantap kue keju serta fish and chips dan minta diputarkan lagu "Ode to Joy". Lagu tersebut dalam bahasa aslinya (Jerman) berjudul "An die Freude" Ludwig van Beethoven mengadaptasi lagu "Ode to Joy" untuk membuat sebuah komposisi instrumental termahsyur dalam sejarah musik klasik: Symphony No. 9.
"Ode to Joy" melekat sebagai musik pembebasan. Para demonstran di Chile menggunakannya ketika unjuk rasa menentang kediktatoran Pinochet; lagu ini juga diputar di lapangan Tiananmen tatkala ribuan siswa Cina melakukan demonstrasi; Leonard Bernstein menggelar konser dengan lagu ini untuk memperingati runtuhnya tembok Berlin; setiap bulan Desember di Jepang, lagu ini selalu diputar untuk mengenang tragedi tsunami 2011 dan dikenal dengan istilah Daiku.
Kembali ke cerita Goodall, sebelum eksekusi dimulai, Dr Philip Nitschke, salah satu dokter yang ikut dalam momen ini, sempat bertanya kembali kepada Goodall mengenai beberapa hal, seperti, “Apakah Anda tahu siapa Anda?”, “Apakah Anda tahu sekarang berada di mana?”, “Apakah Anda tahu apa yang akan Anda lakukan?” Goodall menjawab semua pertanyaan dengan jelas, bahkan ia juga sempat berkelakar yang jadi ucapan terakhirnya: “Duh, kelamaan, nih!”
Praktik euthanasia itu pun dimulai. Dr Christian Weber memasukkan kanula berisi cairan mematikan ke dalam lengan Goodall, lalu memutar kursi roda sang pasien secara perlahan agar cairan tersebut mengalir sempurna. Dari balik pelantang komputer lipat, petikan bait “Ode to Joy” mengalun merdu. Joy, beautiful spark of the gods/Daughter from Elysium/We enter, drunk with fire/Heavenly One, thy sanctuary!
Tak lama setelahnya, Goodall berpulang. Usianya 104 tahun.
Cuek, Bernyali Besar, Ketenangan, dan Kengerian
Dalam video dokumenter berjudul "What Do People Say Before They Die?", BBC merangkum berbagai ucapan terakhir orang-orang sebelum meninggal berdasarkan kesaksian para perawat dari rumah sakit Royal Stoke University di Stoke-on-Trent, Staffordshire, Inggris.
Salah seorang perawat mengatakan, pernah ada pasangan pasien yang berada di satu ruangan, meminta ranjang mereka didekatkan agar dapat saling menggenggam tangan satu sama lain. Berjeda 10 hari kemudian, satu per satu dari mereka pun meninggal.
Louise Massey, perawat lainnya yang juga turut diwawancarai, mengungkapkan: “Menyaksikan rona kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka yang tengah sekarat ketika ditemani anjing-anjing kesayangannya adalah sesuatu yang amat berharga.”
Sementara Carnia Lowe yang juga berprofesi sama, menyebut: “Hal yang masih saya ingat adalah ketika seorang pasien mengatakan bahwa proses kematian tidaklah seperti yang Anda lihat di televisi atau di film. Saya kira, kematian yang indah itu ada dan komunikasi adalah kuncinya. Jika ada sesuatu yang ingin Anda lakukan, maka lakukanlah.”
Mengetahui bahwa sebentar lagi kesadaran menghilang dan nyawa bakal tanggal, itu bisa berarti kebahagiaan atau kesialan. Ada orang yang beruntung sehingga dapat memberi petuah kebijaksanaan. Namun tak sedikit dari mereka yang ogah berbasa-basi dan menganggap kematian hanyalah satu fase yang memang pasti dialami manusia.
Sir Winston Leonard Spencer-Churchill atau yang biasa dikenal denga Winston Churchill, negarawan Inggris paling kesohor, sebelum menghembuskan napas terakhir pada 24 Januari 1965 di usia 90 tahun, mengucapkan kalimat singkat yang mengindikasikan betapa tidak asyiknya hidup sampai tua. Churchill mengatakan: “Saya telah bosan dengan semuanya.”
Ada banyak desas-desus yang menjadi penyebab kematian Ludwig van Beethoven. Sebagian menyebut karena masalah kerusakan hati akibat konsumsi alkohol berlebih, sementara banyak yang menduga ia diracun secara bertahap oleh tim dokter yang menanganinya. Satu hal yang pasti, Beethoven meninggal pada 26 Maret 1827, pada malam hari ketika hujan lebat dan suara guntur bersahutan. Berdasarkan kesaksian beberapa kerabat yang ada pada malam itu, menjelang detik-detik kematiannya ia mengucap lirih:
“Plaudite, amici, comedia finita est" ("Tepuk tangan, teman-temanku, komedi telah selesai.”)
Pada sore hari, 21 Februari 1965, Malcolm X sedang mempersiapkan pidatonya di Audubon Ballroom di Manhattan, sebelum satu orang di antara 400 hadirin tiba-tiba berteriak. "Hei, Negro menyingkirlah dari kehidupanku!". X dan pengawalnya mencoba mengusir pria tersebut, namun seorang pria lain menghambur ke depan dan menembak tepat di dada sang martir.
Sejurus kemudian, dua orang lainnya yang membawa senapan mesin otomatis turut memberondong X yang sudah tersungkur. Di napasnya yang sekarat, X masih sanggup berkata kepada mereka, “coba tenang dulu, Saudaraku…,” sebelum akhirnya wafat tak lama setelah tiba di RS Columbia Presbyterian, pukul 15.30.
Para martir macam Malcolm X memang telah diberkahi dengan nyali besar, kendatipun ketika mereka tengah berhadap-hadapan dengan maut. Che Guevara, misalnya, ketika hendak menjalani eksekusi mati pada 9 Oktober 1967, dengan lantang berseru kepada Mario Teran yang menjadi eksekutor: “Aku tahu kau datang untuk membunuhku. Tembaklah, kau hanya membunuh seorang laki-laki.” Berselang sedetik kemudian, sejumlah timah panas dari senjata Karabin M1 buatan Amerika Serikat pun bersarang di kedua lengan, kaki, dan dada yang mengoyak paru-paru sang komandante.
Ratusan tahun sebelumnya, George Engel, aktivis serikat buruh sekaligus pendiri Partai Buruh Sosialis Amerika Utara, dihukum gantung pada 11 November 1887 bersama empat orang lainnya yang didakwa sebagai biang kerok kerusuhan Haymarket. Persis di tiang gantungan, ketika tali sudah mengikat lehernya, Engel berteriak sekencang mungkin: “Ini adalah momen paling membahagiakan dalam hidupku! Hore untuk anarki!”
Namun tentunya tidak semua orang secuek Churchill, setenang Beethoven dan X, atau selantang Che serta Engel saat menghadapi kematian. Pada masa Tiongkok kuno, ada dua metode eksekusi yang sangat digemari penguasa untuk menghukum penjahat: mengikat mereka di lapangan, menelanjanginya, lalu menyuruh seorang kate menggigit buah zakarnya sampai putus. Sementara metode yang lain, juga dengan mengikat tubuh bugil si pesakitan di lapangan, namun setelah itu ia akan disayat-sayat hingga tewas.
Apa yang bisa diucapkan ketika menghadapi kengerian semacam itu? Amat mungkin horor seperti itu pula yang dirasakan jurnalis Washington Post, Jamal Khashoggi. Beberapa hari lalu, CNN berdasarkan sumbernya merilis transkrip jelang detik-detik kematian Khashoggi di Istanbul, Turki. Dalam rekaman tersebut terdengar ucapan Khashoggi: “Saya tidak bisa bernapas…. Saya tidak bisa bernapas….”
Editor: Suhendra