tirto.id - Pekan keenam Liga Inggris (EPL) jadi ajang pembuktian bagi juara bertahan Manchester City. Tampil di hadapan puluhan ribu pendukungnya yang memadati Stadion Etihad, Sabtu (21/9/2019), The Cityzens menggulung Watford dengan skor telak 8-0.
Tidak hanya mengarahkan mereka ke jalur positif, hasil ini bikin City memecahkan rekor sebagai klub dengan kemenangan terbesar ketiga sepanjang sejarah EPL.
Saking ajaibnya penampilan tuan rumah, Whoscored sampai memberikan nilai sempurna, 10, untuk empat pemain City sekaligus: Sergio Agüero, David Silva, Riyad Mahrez, serta Kevin De Bruyne. Sosok yang disebut terakhir bahkan mendapat pujian khusus dari pelatih Pep Guardiola.
“Di saat tertentu Kevin adalah pemain spesial. Dia bisa melihat sesuatu yang orang lain tidak mampu lihat dari dalam maupun luar lapangan,” kata Guardiola setelah pertandingan.
Pada laga itu De Bruyne memang kalah jumlah gol dari Silva maupun Mahrez. Tapi perihal kontribusi untuk serangan-serangan tuan rumah, tak ada yang bisa menandingi pemain berpaspor Belgia tersebut.
Menurut hitung-hitungan Whoscored, De Bruyne menjadi pemain dengan jumlah key-passes (umpan kunci) terbanyak: delapan kali. Jumlah umpan silang akurat dan assist-nya juga melampaui pemain City yang lain. De Bruyne mencatatkan umpan silang akurat enam, dan dua assist.
De Bruyne juga salah satu pemain paling menonjol sepanjang enam kali main di EPL musim ini. Dia sudah mencatatkan tujuh assist dan dua gol.
“Tahun lalu kami punya musim yang bagus, tapi kami kehilangan Kevin karena cedera panjang. Kami benar-benar merindukannya. Dia pemain yang spesial, dan aku pribadi senang karena dia sekarang di sini bersama kami,” puji Guardiola.
Bukan cuma Guardiola yang senang. Faktanya, De Bruyne juga bahagia karena dilatih sosok macam Pep.
“Sepakbola, kebanyakan adalah tentang perasaan negatif dan rasa takut. Tapi dengan Pep, segalanya bisa berubah jadi positif,” ungkap De Bruyne dalam kolom di The Players Tribune.
Selain pelatih yang memahami mentalitasnya, De Bruyne kini punya rekan-rekan setim yang percaya dengan cara bermainnya, serta jutaan pasang mata yang menyanjung talenta sepakbolanya.
Tapi jangan salah, untuk mendapatkan semua itu, De Bruyne harus melalui hal pedih.
Pendiam yang Kerap Dianggap Rumit
“Sejak kecil aku selalu merasa ada awan mendung yang mengikuti ke mana pun diriku pergi,” ungkap De Bruyne April 2019 lalu.
Awan mendung adalah istilah yang dipakai De Bruyne untuk menggambarkan sifat pendiamnya. Sifat yang oleh kebanyakan orang kerap disalahartikan sebagai ‘berkepribadian rumit’, ‘pemurung’, atau ‘arogan’.
Sejak lahir dari rahim ibunya di Drongen, Belgia, 28 Juni 1991, De Bruyne memang punya bakat menjadi pendiam.
Dia bisa menunggu antrean makan siang dengan rekan-rekan seusianya di sekolah tanpa bicara sepatah kata pun. Selera humornya sangat kering.
De Bruyne juga mengaku tak punya banyak teman dekat di masa kecil. Dia bahkan tak punya Playstation—mainan yang pada masa kecilnya dianggap wajib dimiliki anak-anak.
De Bruyne sendiri mengaku: “aku tidak pandai berekspresi. Satu-satunya caraku mengekspresikan diri adalah bermain sepakbola. Ketika sudah di luar lapangan, aku benar-benar manusia yang introver.”
Sifat ini kerap bikin dunia memandang De Bruyne dengan cara yang salah. Dan pandangan-pandangan salah ini memaksa De Bruyne berkali-kali ditolak lingkungannya.
Saat berusia 14 tahun, ketika bergabung dengan akademi sepakbola RC Genk, De Bruyne pernah diusir oleh keluarga asuh di rumah karantinanya. Alasannya sederhana: pemilik rumah itu menganggap De Bruyne bocah rumit yang sukar dipahami.
“Itu adalah peristiwa paling telak dalam karierku,” kenangnya, “karena saat itu aku belum jadi siapa-siapa. Saat meninggalkan homestay dan pulang ke rumah pada musim panas, aku melihat ibuku ikut menangis karena terpukul dengan kejadian itu. Yang kulakukan hanya memeluk bola dan berlari sekencang-kencangnya ke halaman rumah, lalu berkali-kali menendangnya ke arah tembok.”
Peristiwa itu bikin De Bruyne tidak punya rumah karantina yang mau menampungnya. Dia harus menempuh jarak belasan kilometer lebih jauh dari rekan-rekan sebayanya untuk tiba ke tempat latihan.
Namun atas kejadian ini De Bruyne belajar sesuatu: sebagai manusia, dia tak bisa memaksa orang lain menyukainya.
De Bruyne lantas meninggalkan karantina dan berlatih sepakbola seorang diri. Dua tahun kemudian dia baru kembali ke akademi Genk dengan mental dan semangat melampaui baja.
Pada sebuah pertandingan uji coba, saking inginnya membuktikan diri, dia mencetak lima gol hanya dalam satu babak. Performa ini menggemparkan para pemandu bakat di seantero kota, bahkan sampai bikin De Bruyne langsung dipromosikan ke tim kedua Genk.
“Setelah kejadian itu, keluarga asuh yang pernah menolakku datang lagi dan ingin aku tinggal di rumah mereka. Dia berkata seolah segala peristiwa kejam di masa lalu itu cuma salah paham. Tapi tentu aku menolaknya,” jelas De Bruyne.
Pelajaran itu pula yang bikin De Bruyne mampu melewati periode sulit selama berkostum Chelsea pada 2012-2014. Selama berada di London, perlakuan buruk yang diberikan pelatih Chelsea, José Mourinho, kepada dirinya sudah jadi rahasia umum. Bahkan De Bruyne mengaku selama di sana dia cuma pernah diajak bicara dua kali oleh Mourinho.
Kesempatan bermain yang diberikan kepadanya juga relatif minim jika dibandingkan kompetitornya di skuat utama Chelsea seperti Willian, André Schürrle, sampai Oscar.
Tapi De Bruyne menghadapi ujian itu dengan sabar. Baginya, penolakan adalah makanan sehari-hari.
“Aku sama sekali tidak peduli dengan perlakuan Mourinho. Itu bagian dari sepakbola, semuanya akan naik turun,” ujarnya kepada The Guardian.
Alih-alih banyak omong, De Bruyne memilih berbicara dengan bahasa yang paling dipahaminya: sepakbola. Saat tersisih dan dipinjamkan ke Wolfsburg—kemudian dipermanenkan oleh klub tersebut—pada 2014, dia tetap memberikan yang terbaik. Hasilnya bisa ditebak: De Bruyne menjaringkan 10 gol dan 20 assist dalam 34 penampilan di Bundesliga.
Cara De Bruyne membuktikan eksistensinya lewat sepakbola—dan bukan kata-kata—lantas bikin Manuel Pellegrini luluh. Mantan pelatih Manchester City itu adalah sosok yang paling getol mengupayakan kepulangan De Bruyne ke Inggris.
Dan kendatipun sudah tak lagi melatih City, Pellegrini mengaku tak pernah menyesali transfer De Bruyne. Bahkan meski si pemain dibeli dengan banderol luar biasa tinggi.
Empat tahun sejak kedatangannya di Manchester, sampai saat ini De Bruyne masih jadi orang yang sama. Dia tidak banyak omong, apalagi bikin sensasi di luar lapangan.
“Aku rasa aku memang berbeda dari kebanyakan orang, karena lebih suka mengungkapkan sesuatu dengan permainan di atas lapangan,” akunya.
Editor: Rio Apinino