tirto.id - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin menyatakan mendukung langkah Polri menangkap para pelaku kasus persekusi, termasuk yang melibatkan anggota Front Pembela Islam (FPI). Menurut dia, siapa saja yang melanggar hukum layak ditangkap oleh kepolisian.
"Kalau dia melanggar (hukum) silakan saja. Bukan soal FPI, siapa saja, asal dia melanggar (hukum), polisi berhak menangkap. Tapi, kalau tidak melakukan pelanggaran ya tidak boleh," kata Ma'ruf di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Senin (5/6/2017).
Menurut Ma'ruf, segala tindakan intimidasi dan main hakim sendiri tidak dibenarkan menurut agama Islam dan hukum positif di Indonesia, apapun motifnya dan siapapun pelakunya.
"Tidak boleh melakukan persekusi. Harusnya melaporkan ke yang berwajib. Menurut agama Islam, tidak boleh main hakim sendiri. Ada kesepakatan bahwa negara ini negara hukum. Orang Islam harus patuh terhadap kesepakatan itu," kata Ma'ruf.
Dia menilai aksi persekusi tidak membawa manfaat apapun bagi mereka yang melakukannya, terlebih bagi ormas yang mengaku organisasinya mengikuti ajaran Islam. Ma'ruf menyerukan agar setiap dugaan pelanggaran hukum terkait media sosial diserahkan kepada pihak yang berwajib.
"Perkara ormas-ormas yang itu (melakukan persekusi), kami menyerahkan sepenuhnya kepada pihak yang berwajib. Cuma (syaratnya) prosesnya transparan, adil dan terbuka," katanya.
Ke depan, menurut Ma'ruf, ada kemungkinan MUI juga akan mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan larangan aksi persekusi. Isinya bisa melengkapi keputusan MUI yang sudah menerbitkan fatwa terkait penggunaan media sosial.
"Ya nanti akan kami pikirkan untuk membuat fatwa tentang itu (persekusi). Untuk sekarang, fatwa di media sosial saja dahulu," ujar Ma'ruf.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengimbuhkan, meskipun aparat terlambat dalam melakukan penanganan terhadap pelaku ujaran kebencian di media sosial, aksi persekusi tetap tidak bisa dibenarkan.
"Poinnya begini, untuk pelaku tindakan melanggar hukum dengan main hakim sendiri itu tidak dibenarkan sekalipun itu dilakukan untuk langkah-langkah terhadap orang yang diduga melanggar hukum. Ada mekanisme penegakan hukum yang dimiliki oleh aparat," kata Niam.
Namun, dia juga berpendapat, aparat kepolisian perlu lebih cepat tanggap dalam menangani kasus ujaran kebencian di media sosial demi mencegah tindakan main hakim sendiri dari pihak yang merasa dirugikan.
"Aparat harus cepat masuk. Kepentingannya untuk menegakkan hukum dan mencegah terjadinya kerugian orang lain bila tidak ditindak oleh aparat maka akan main hakim sendiri, karena tidak ada penegakan hukum," katanya.
Selain itu, untuk menghindari terjadinya aksi persekusi terhadap pihak yang dianggap menyampaikan ujaran kebencian, Niam menganggap kesadaran pengguna media sosial agar tidak mengunggah konten negatif sangat penting ditumbuhkan.
"Jadi tahap yang pertama di situ. Ketika seseorang menggunakan media sosial, harus dipastikan secara positif dan juga tidak melakukan hal yang merugikan orang lain," kata Niam.
Di tempat yang sama, Menkominfo Rudiantara menyatakan UU ITE pada dasarnya telah mengatur perihal sanksi untuk pelaku tindak persekusi. UU ITE, dia melanjutkan, tidak hanya mengatur hukuman bagi pelaku pelanggaran di internet.
"Baca pasal 27, 28, 29 (UU ITE) itu kan ada. Itu kan mengancam. Menakut-nakuti. Itu ada di situ dijelaskan," kata Rudiantara.
Rudiantara menegaskan tindakan main hakim sendiri juga tidak bisa dibenarkan dalam negara hukum. "Itu juga termasuk. Persekusi tidak dibenarkan dan bisa ditindak secara hukum. Jadi bukan hanya yang upload (mengunggah konten) saja," katanya.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Addi M Idhom