tirto.id - Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali angkat bicara mengenai Peninjauan Kembali (PK) sebagai alat meringankan hukuman koruptor, sebagaimana terjadi pada OC Kaligis.
Menurut Hatta, seorang hakim harus selalu dijiwai kecermatan untuk bisa menimbang-nimbang antara kadar kesalahan dengan pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.
"Dalam lingkup itu adalah merupakan independensi hakim pribadi yang bersangkutan. Jadi lembaga saya pun sebagai ketua pengadilan tidak bisa mencampuri hal yang seperti ini," kata Hatta dalam acara Catatan Akhir Tahun Mahkamah Agung 2017 di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (28/12/2017).
MA baru saja mengabulkan upaya PK putusan OC Kaligis dalam kasus suap hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Putusan itu keluar pada Selasa 19 Desember 2017 dalam Nomor Perkara 176 PK/Pid.Sus/2017.
Putusan Majelis Hakim MA ini mengejutkan sebab amar putusan MA memutuskan pengurangan hukuman bagi OC Kaligis, dari 10 tahun penjara menjadi 7 tahun. Hukuman denda juga diperkecil, dari Rp500 juta menjadi Rp300 juta.
Namun Hatta enggan berkomentar lebih jauh tentang isi putusan PK OC Kaligis itu. Ia hanya menduga, pengurangan hukuman karena OC Kaligis mengaku tidak menyuruh anak buah menyuap hakim dalam perkara korupsi mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo. Selain itu, penyerahan uang tidak dilakukan secara langsung oleh Kaligis sehingga perlu dipertimbangkan keterlibatan dalam kasus tersebut.
OC Kaligis diputuskan bersalah telah menyuap Tripeni Irianto Putro selaku ketua majelis hakim PTUN Medan sebesar 5 ribu dolar Singapura dan 15 ribu dolar AS. Ia juga menyuap 2 anggota majelis hakim, Dermawan Ginting dan Amir Fauzi masing-masing 5 ribu dolar AS. Suapnya juga mengalir ke Syamsir Yusfan selaku Panitera PTUN Medan sebesar 2 ribu dolar AS. Total suapnya mencapai 27 ribu dolar AS dan 5 ribu dolar Singapura.
Namun Hatta berdalih, konstitusi Indonesia sudah menjamin independensi hakim sesuai pasal 24 UUD 45. Dalam undang-undang tersebut, hakim dinyatakan tidak boleh berpihak, tetapi harus selalu objektif dan sama sekali selalu melihat fakta hukumnya dan ditimbang-timbang sesuai dengan sanksi pidana.
Hatta menganalogikan putusan hakim dalam perkara pencurian dengan kasus korupsi. Menurut dia, hakim tidak mungkin asal "pukul rata" memberikan hukuman untuk para koruptor.
"Misalnya para kepala desa, dia korupsi beras raskin. Dia mendapat keuntungan dari beras miskin mungkin ada 5 juta, 10 juta 15 juta. Apakah adil ini dihukum sama dengan korupsi yang sampai ratusan miliar, kan tidak adil," kata Hatta.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Agung DH