tirto.id - Dengan bekal Walkman yang telah dipasarkan sejak 1979 dan fondasi teknologi yang dimiliki sejak Perang Dunia II berakhir, Sony sebetulnya bisa menciptakan iPod versinya sendiri, jauh sebelum Apple merilisnya dan mengubah wajah dunia musik pada 2001.
Sialnya, mereka tidak melakukan itu.
Sebagai perangkat, iPod kemudian berevolusi menjadi iPhone. Sebagai platform, iPod berkembang menjadi Apple Music, layanan streaming dengan 56 juta pengguna. Di sisi lain, Walkman produksi Sony itu, berevolusi menjadi ketiadaan: mati ditinggal zaman.
Sony didirikan oleh Masaru Ibuka selepas Perang Dunia II berakhir. Mulanya, Ibuka mendirikan bengkel elektronik di Shirokiya Department Store. Begitu sukses, bengkel itu berkembang menjadi Tokyo Tsushin Kenkyujo dan lambat laun jadilah Sony.
Sebagaimana dituturkan oleh Stephen Bayley dalam “The Rise and Fall of Sony” (2015), perusahaan asal Jepang itu memang identik dengan inovasi. Pada 1959 mereka menciptakan televisi transistor portabel. Di 1965, Sony membuat alat perekam video hitam-putih pertama di dunia. Pada 1971, mereka memperbaruinya dengan versi berwarna. Compact Disc alias CD diperkenalkan Sony pada 1982.
Portofolio Sony di bidang elektronik membentang luas dari TV, konsol video game, hingga ponsel.
Karena inovasinya yang tiada henti, tulis Jake Adelstein, dalam opininya di Kotaku (2012), menyebut, selama dekade 1980an dan 1990an Sony seolah mengatur jalannya teknologi di dunia. Sayangnya, semenjak kedatangan iPhone, pamor Sony makin surut.
Pada 2007, Apple merilis iPhone dan mengubah wajah smartphone. Sony, dalam bisnis perangkat seluler, awalnya bekerjasama dengan Ericsson untuk melahirkan Sony-Ericsson. Namun, karena yakin dengan kemampuannya sendiri, mereka bercerai dengan perusahaan teknologi asal Swedia itu dan merilis Sony Xperia pada 2008.
Tahun terakhir Sony bekerjasama dengan Ericsson berbuah 100 juta unit penjualan perangkat seluler. Di awal kelahiran Xperia, hasil penjualan pun tak buruk. Xperia, merujuk pemberitaan Techradar, sukses menempatkan Sony sebagai perusahaan pemilik 9 persen pangsa pasar smartphone dunia.
Namun, lambat laun Xperia tak bisa bersaing dengan kompetitornya, khususnya Samsung dan pemain-pemain asal Cina. Pada 2012, Sony rugi $6,4 miliar dan pada pertengahan 2014, kerugian pun tidak kunjung bisa ditebus. Kala itu, hanya dari bisnis mobile, yang menaungi Xperia, perusahaan merugi $1,6 miliar.
Akibat kerugian itu, perusahaan menjual Vaio, unit bisnis laptop Sony kepada Japan Industrial Partners senilai $490 miliar.
Hiroko Tabuchi, dalam tulisannya di The New York Times, menyebutkan tiga faktor penyebab kehancuran Sony. Pertama, Sony dan juga pabrikan asal Jepang lain, ditekan oleh para kompetitornya khususnya dari Cina. Perusahaan seperti Xiaomi, OPPO, hingga Vivo sanggup memberikan produk dengan kualitas bersaing namun dengan harga yang jauh lebih kompetitif.
Kedua, strategi fiskal Sony salah. Yen Jepang terlalu kuat sehingga produk-produk yang keluar dari negeri tersebut sukar bersaing dengan perusahaan asal negeri-negeri lain yang kurs mata uangnya lebih lemah.
Terakhir, Sony dianggap kurang gagasan.
“Sony telah mendekati ajalnya,” ucap Yoshiaki Sakito, mantan eksekutif Sony. “Sony melakukan kesalahan di beberapa hal krusial dalam teknologi, seperti digitalisasi, perangkat lunak, dan internet,” tutupnya kemudian.
Pada 2015, Kazuo Harai, yang kala itu menjadi pemimpin eksekutif Sony, menyatakan Sony harus berubah.
“Saya yakin, Sony bisa berubah,” tegas Harai.
Dengan perubahan yang dilakukan, Sony hanya fokus pada tiga unit bisnisnya: Sony Pictures, PlayStation, dan penjualan sensor kamera ke produsen lain, khususnya Apple.
Ketiga unit bisnis itu memang moncer bagi Sony. Sony Pictures, dalam laporan terakhir, memperoleh pendapatan sebesar $9,1 miliar, PlayStation $12,5 miliar, dan bisnis sensor kamera lebih dari $200 juta.
Selain fokus pada tiga unit bisnis itu, sebagaimana dilaporkan The Verge, Sony kini masuk ke dunia baru: ride-sharing.
Selepas ride-sharing dikuasai Uber di Eropa dan Amerika, Go-Jek dan Grab di Asia Tenggara, Ola di India, dan Careem di Timur Tengah, Sony mencoba peruntungannya. Perusahaan itu merilis ride-sharing bernama Minna no Taxi’s S.Ride atau “taksi bagi siapapun” di Jepang.
Minna no Taxi’s S.Ride merupakan produk ride-sharing hasil kerjasama Sony dengan perusahaan teknis konvensional, seperti Daiwa dan Kokusai. Klaim mereka, aplikasi ini menyediakan sekitar 10 ribu kendaraan yang siap dipesan para pengguna.
Jika melihat pasar ride-sharing Jepang, Minna no Taxi’s S.Ride mungkin bisa bertahan. Dalam data yang dipaparkan Statista, pendapatan di pasar ride-sharing di Jepang akan mencapai angka $790 juta pada 2019, dengan pertumbuhan pengguna mencapai 4,9 persen.
Sayangnya, untuk bertahan di pasar ini, Sony harus bersaing dengan JapanTaxi yang telah menguasai bisnis ride-sharing di negeri sakura. Keperkasaan JapanTaxi sanggup menghantam Line, yang menciptakan perusahaan sejenis Minna no Taxi’s S.Ride dengan bekerjasama dengan Nihon Kotsu.
Editor: Windu Jusuf