tirto.id - Pada suatu malam, Juli 2018, Rakbar Khan seharusnya bisa sampai rumah dengan selamat. Namun, nasib berkata lain. Di tengah perjalanan, Rakbar, yang tengah membawa dua ekor sapi menyusuri jalanan setapak di perdesaan Rajasthan, selatan New Delhi, dihadang sekelompok pria. Rakbar lantas dihajar bertubi-tubi hingga tewas.
Apa yang menimpa Rakbar bukan tindak kejahatan biasa, bukan pula kebetulan. Di India, aksi kriminal semacam ini sudah seperti sel kanker yang menggerogoti kewarasan masyarakat. Sasarannya pun juga tak sembarangan: peternak sapi muslim. Angka kejahatannya—begitu juga korbannya—makin meningkat semenjak berkuasanya Bharatiya Janata (BJP), partai ultra-nasionalis yang dipimpin Narendra Modi.
Kebal Hukum
Laporan BBC berjudul “Rakbar Khan: Did Cow Vigilantes Lynch A Muslim Farmer” (2019) menyebut bahwa para pelaku pembunuhan Rakbar kerap diidentifikasikan sebagai gau rakshaks, atau “geng pelindung sapi”.
Anggota geng-geng ini terdiri atas anak muda Hindu garis keras yang percaya bahwa hewan suci agamanya—sapi—harus dilindungi mati-matian. Mereka meyakini undang-undang yang telah diteken untuk melindungi sapi, seperti larangan penyembelihan dan konsumsi di 24 negara bagian, tidak sepenuhnya ditegakkan.
Sejak itulah mereka sering main hakim sendiri dengan memburu peternak—sebagian besar muslim—yang dipercayai mengambil sapi untuk disembelih dan diambil dagingnya. Dalam menjalankan aksinya, kelompok gau rakshaks seringkali memakai senjata.
Polemik tentang sapi, sebagai hewan suci atau komoditas dagang serta konsumsi, sebetulnya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat India sejak dulu kala. Akan tetapi, polemik jadi sumber konflik ketika BJP memenangkan pemilihan umum pada 2014 dan Modi terpilih sebagai perdana menteri.
Dalam laporan setebal 104 halaman bertajuk Violent Cow Protection in India: Vigilante Groups Attack Minorities (2019), Human Rights Watch (HRW) menjelaskan antara Mei 2015 hingga Desember 2018 setidaknya sudah ada 44 orang—36 muslim—terbunuh karena serangan semacam itu. Kebanyakan kasus terjadi di empat wilayah: Haryana, Uttar Pradesh, Rajasthan, dan Jharkhand.
Anggota BJP, dalam laporan HRW, digambarkan sering menggunakan retorika kebencian yang memicu kampanye main hakim sendiri terhadap siapapun yang dituduh menodai status sapi sebagai hewan suci.
Salah seorang politikus parlemen di Ramgarh yang berafiliasi dengan BJP, misalnya, mengungkapkan bahwa “kematian merupakan hukuman yang pantas bila seseorang terlibat dalam penyelundupan dan penyembelihan sapi”. Ia menambahkan: “Penyelundupan sapi lebih buruk daripada terorisme.”
“Seruan untuk melindungi sapi, mungkin, diniatkan untuk menarik suara [kelompok] Hindu. Akan tetapi, lambat laun, berubah jadi jalan bagi massa untuk menyerang dan membunuh mereka yang minoritas,” tegas Direktur HRW Asia Selatan, Meenakshi Ganguly. “Pemerintah India harus menghentikan serangan-serangan ini, berhenti melindungi para pelaku, dan berhenti menyalahkan korban.”
Tuduhan tersebut langsung dibantah BJP. Juru bicara BJP, Nalin Kohli, mengatakan partainya tidak punya hubungan apa pun dengan aksi kekerasan terhadap peternak sapi. Ia menyatakan tuduhan yang dialamatkan ke BJP adalah “jahat, tidak akurat, dan salah.”
Kondisi di lapangan justru berkebalikan dengan klaim sang jubir. Di Uttar Pradesh, misalnya, politisi BJP dengan keras memberlakukan penutupan rumah potong hewan. Sedangkan di Gujarat, BJP menerapkan hukuman seumur hidup bagi mereka yang kedapatan menyembelih sapi dan 10 tahun penjara kepada mereka yang ‘hanya’ mengangkut sapi—untuk disembelih.
Keadaan bertambah buruk manakala kepolisian, yang semestinya bersikap tegas dan netral, justru mudah ditekan secara politis oleh BJP. Konsekuensinya tak main-main: banyak kasus pembunuhan yang penyelidikannya dihentikan dan pelakunya dibiarkan bebas begitu saja.
Konflik yang menyasar para peternak sapi ini mau tak mau turut memengaruhi pendapatan mereka. Di pasaran, mengutip pemberitaan Financial Times, permintaan akan daging sapi turun drastis. Serangan-serangan tersebut juga memicu kekurangan pasokan daging yang akut, khususnya bagi muslim India yang menganggap daging sapi adalah sumber protein yang terjangkau.
“Orang-orang terlalu takut untuk datang ke sini [membeli daging sapi]. Tidak ada pembeli,” keluh Kamal Querishi, pedagang ternak yang mengaku omsetnya menurun secara drastis setelah fenomena kekerasan ini meningkat dalam kurun waktu belakangan.
Analis politik menyebut BJP sengaja membiarkan—atau membenarkan—serangan atas nama “perlindungan terhadap sapi” untuk menarik perhatian umat Hindu menjelang pemilihan anggota parlemen pada 2019.
“Ini implementasi dari jargon 'rebut kembali negara kita',” terang Peter Ronald DeSouza, analis dari Center for Strategic Development Studies, lembaga think tank yang berpusat di New Delhi. “Ini merupakan upaya untuk menciptakan mayoritas pemilih yang stabil namun di saat bersamaan dapat meningkatkan kecemasan dan kekerasan terhadap mereka yang tak bersalah [minoritas].”
Tidak Akan Banyak Berubah
Selama lima tahun terakhir, Modi dan BJP gemar menjual politik identitas, sama seperti yang dilakukan Donald Trump di AS maupun para pemimpin sayap kanan di negara-negara Eropa. Perspektif identitas Modi, termasuk berpandangan bahwa sapi adalah hewan suci, terangkum dalam konsep “Hindutva".
Hindutva merupakan istilah yang dicetuskan penulis, penyair, sekaligus politikus bernama Vinayak Damodar Savarkar pada 1923. Dalam tulisannya di The Conversation, Sumit Ganguly, pengajar kebudayaan India di University of Indiana, mengatakan bahwa paham Hindutva menginginkan tanah air Hindu yang bebas dari pemeluk agama lain.
Lahirnya Hindutva tak lepas dari narasi masuknya Islam ke India. Pada 1000-an, gelombang pertama invasi muslim menyapu Afghanistan, dataran Indus, hingga India. Kuil-kuil umat Hindu dihancurkan, termasuk Somnath yang menjadi salah satu kuil terbesar untuk Dewa Siwa yang terletak di Gujarat. Sekitar 50 ribu orang Hindu dibunuh.
Kolonisasi Inggris pada abad ke-18 menyisakan sejumlah umat Islam di India dan menuai perlawanan umat Hindu pada abad ke-20. Situasi kian memanas ketika mulai banyak pamflet bernada kebencian yang tersebar. Salah satunya yaitu pamflet berjudul "Hindu: A Dying Race" yang berisi pesan-pesan ketakutan bahwa Hindu akan segera menjadi minoritas dan Muslim jadi mayoritas di India.
Salah satu sosok yang menentang paham Hindutva, masih mengutip tulisan Ganguly, adalah Mahatma Gandhi. Baginya, kelompok atau agama apa pun dapat hidup berdampingan di sebuah negara. Ia juga mengecam segregasi antara India dan Pakistan yang didasarkan atas agama.
Memasuki dekade 1990-an, ancaman Hindutva kian mengemuka. Ia sedikit-banyak dipengaruhi radikalisme dan revivalisme Islam di negara lain dan dibarengi dengan kemunculan kelas menengah yang lebih konservatif. Paham ini melekat dengan organisasi-organisasi sayap kanan macam Rashtriya Swayamsevak Sangh, BJP, Vishwa Hindu Parishad (organisasi propagandis Hindutva), dan Bajrang Dal (sayap paramiliter Vishwa Hindu Parishad).
Hindutva ala Modi terlihat jelas ketika ia menunjuk pemuka agama Hindu yang sangat anti-Islam, Yogi Adityanath, sebagai menteri utama di Uttar Pradesh, negara bagian India dengan penduduk terpadat. Sejumlah laporan menyebut bahwa Adityanath dipilih untuk memperkokoh dukungan terhadap Modi di Uttar Pradesh dalam pemilu 2019.
Terlepas dari kalkulasi politik yang ada, naiknya Adityanath sendiri adalah sinyal buruk untuk kelompok minoritas. Laporan Foreign Policy (2017) menjelaskan Adityanath dikenal begitu agresif dalam menyerang orang-orang yang beragama di luar Hindu. Ia piawai membakar amarah massa dengan retorika anti-muslim yang berapi-api.
“Jika mereka membunuh satu orang Hindu saja, kita akan membunuh 100!” serunya.
Kerumunan di depannya pun langsung merespons dengan antusias.
Ajang pemilu telah selesai dan berdasarkan hasil perhitungan, Modi dipastikan bakal tetap berkuasa untuk masa jabatan yang kedua. Dalam pidato kemenangannya, Modi menegaskan bahwa ia dan BJP akan terus mendukung sekularisme seraya berupaya untuk tetap adil terhadap semua agama, tak terkecuali Islam yang kerap jadi sansak kebencian orang-orang Hindu.
Sayang, pernyataan Modi rupanya tak mampu menghentikan konflik antar-agama yang sudah kadung mendidih. Tak lama setelah Modi pidato, mengutip Al Jazeera, tiga orang muslim dipukuli habis-habisan oleh massa di negara bagian Madhya karena dicurigai membawa daging sapi. Di Gurugram, pinggiran Delhi, seorang pria muslim diserang dan dipaksa untuk meneriakkan rapalan pujian kepada dewa-dewa Hindu.
Modi boleh saja sesumbar ingin menjunjung tinggi sekularisme. Tapi, itu tak berlaku bagi para pendukungnya yang terlanjur setiap hari mengonsumsi retorika kebencian terhadap muslim, yang sekali lagi turut disumbangkan oleh Modi dan kader-kader partainya.
Editor: Windu Jusuf