tirto.id - Di tengah zaman modern, masih ada sejumlah anak muda berupaya melestarikan kuliner tradisional. Anindwitya R Monica lah salah satunya. Perempuan yang karib disapa Monic itu melestarikan kuliner jamu asal Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Gadis berusia 25 tahun ini, bersama temannya, Tania Nugraheni, mengangkat Jamu Yogyakarta sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta dengan menggunakan resep eyangnya sejak 1950 lewat merk JogJamu pada 2019.
“Aku sama partner aku, Tania, ingin skill up pertemanan karena sama-sama dari jurusan pariwisata, kami ingin melestarikan jamunya eyangku,” ujarnya dihubungi kontributor Tirto, Sabtu (28/9/2024).
Monic melihat potensi jamu sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta karena belum mendapati jamu dengan kemasan dan pemasaran yang menarik bagi kalangan muda. Di samping itu, dia dan Tania punya jejaring bisnis di bidang travel dan hotel. “Kami punya partner di tour and travel, hotel, kami test drive dengan mereka,” bebernya.
Melalui kemasan JogJamu, Monic dan Tania tidak menampik tetap mengejar pendapatan ekonomi. Ia mengatakan, JogJamu merupakan sebuah usaha meskipun napasnya, melestarikan budaya. Selain itu, mereka juga memberdayakan tim di bidang digital dan produksi yang harus diberi upah.
“Menurutku ada aspek sosial-budaya, kami gabungkan ketika membuat jamu ini. Aku berpikir caranya sukses bersama. Aku dan Tania berpikir ekonomi tidak banget (bukan utama), tapi kami juga berpikiran teman-teman happy di JogJamu. Misalnya teman di konten, marketing, admin, atau teman di bagian produksi. Kami berpikir bagaimana mereka tetap happy di tempat kami, senang di pekerjaan ini, dan merasa dimanusiakan,” ucapnya.
Dalam upaya memasyarakatkan jamu, Monic mengaku masih belajar tentang manfaat jamu lewat beragam referensi buku. Monic meyakini masih banyak hal yang dapat digali dan dipelajari dari jamu. “Tania dan aku masih banyak sekali belajar dari buku, istilahnya kenapa kita harus minum jamu. Kenapa bisa menjadi pertolongan pertama dan gimana kami menyadarkan Gen Z dan milenial ini untuk kembali minum jamu,” sebutnya.
Monic juga bercita-cita, jamu dapat disuguhkan jadi salah satu pilihan utama pada tamu yang bertandang. “Selain ada kopi atau teh yang orang sering tawarkan. Kami juga ingin ada yang bisa ditawarkan adalah jamu. Jadi ada hal, jamu sebagai top of mind teman-teman muda,” kata Monic.
Harus diakui, Jamu Yogyakarta saat ini sudah menjadi salah satu dari 213 warisan budaya tak benda (WBTB) yang diakui di Indonesia. Saat ini, Pemprov DIY tengah mengajukan kembali 32 WBTB sebagai bagian budaya Yogyakarta, yang mayoritas adalah kuliner.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Laksmi Pratiwi, membenarkan ratusan WBTB diakui Indonesia, salah satunya jamu yogyakarta. Ia menerangkan, DIY memiliki cukup banyak karya budaya warisan tak benda. Salah satu bentuk warisan tersebut adalah resep turun-temurun dari para leluhur. Dia menerangkan, warisan kuliner di DIY berasal dari upaya masyarakat menghadapi masalah pangan di masa lalu.
“Kuliner yang muncul di DIY dan menjadi warisan budaya tak benda rata-rata memiliki latar belakang terkait dengan ketahanan pangan mereka masa lalu,” sebutnya diwawancarai kontributor Tirto, di Kompleks Masjid Gedhe Mataram Kotagede, Padukuhan Sayangan, Kalurahan Jagalan, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul, DIY pada Jumat (20/9/2024) malam.
Dian mencontohkan makanan growol, geblek, dan geplak. Makanan tersebut adalah upaya memanfaatkan produk tanaman lokal yang ada di sekitar mereka untuk diolah dan dikonsumsi. Makanan tersebut menjadi sumber kehidupan yang tidak hanya dimakan oleh keluarga, tetapi juga dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian mereka.
“Rata-rata makanan kuliner tradisional di DIY mempunyai storyline, cerita yang terkoneksi dengan kehidupan susah di masa lalu, pada masa perjuangan, dan terkait alam kemudian ada pemanfaatan terhadap sekitarnya,” ucapnya.
Dian menjelaskan, kuliner tradisional tidak hanya berkaitan ketahanan pangan, tetapi juga menunjukkan ide dan kreativitas masyarakat masa lalu terkait dengan munculnya keragaman pangan.
“Ketika makanan diturunkan dari generasi ke generasi menunjukkan bahwa konsumen selalu ada, kalau tidak pasti itu langka. Mengapa? Karena budaya itu menurun. Kalau budaya nggak menurun nggak mungkin mereka membutuhkan makanan tradisional,” jelas Dian.
Pada saat modern, makanan olahan tradisional hasil kreativitas leluhur masih diminati generasi muda. Hal itu terbukti dengan selalu ramainya pergelaran festival jajanan tradisional yang disesaki tidak hanya generasi tua sebagai penikmat kuliner masa lalu, tetapi juga dihadiri generasi muda.
“Kalau kita lihat makanan kuliner masa lalu kemudian naik kelas. Naik kelas karena packaging, kreasi, dan kami menginginkan cara melestarikan ya dengan melazimkan atau memasyarakatkan itu jadi kuliner kita,” paparnya.
Dian menambahkan, Kundha Kabudayan tidak sendiri dalam upaya pelestarian kuliner tradisional. Ia beralasan, berbicara urusan kebudayaan maka masuk dalam ranah ekosistem kebudayaan. Artinya, ekosistem itu berperan dalam menjaga wadah budaya, mulai dari kuliner muncul, nilai tradisinya, sampai cara membuatnya secara tradisional pun turut diturunkan.
“(Ada peran) dari perindustrian-perdagangan, koperasi-UMKM, dan pendidikan-pariwisata untuk mengedukasi, bahwa kuliner tradisional menjadi makanan yang rata-rata sehat. Karena tidak mengenal 3P (pengawet, perasa, dan pewarna). Itu membuktikan nenek moyang kita awet panjang umur karena makan ubi menjadi berbagai makanan tradisional,” jabarnya.
Dian menambahkan, keberadaan makanan tradisional penting dalam upaya pemberdayaan perempuan. Ia beralasan, mayoritas pelaku kuliner adalah perempuan yang terwujud dalam usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
“Sebetulnya, inti peradaban itu adalah ibu dan anak. Jadi kami punya program Desa Mandiri Budaya adalah kawasan yang memiliki potensi budaya, mulai dari tradisi lisan adat istiadat seni lanskap kawasan historis, kemahiran kerajinan tradisional. Ditopang oleh tiga sektor, yaitu Desa Wisata, Desa Prima, dan Desa Prenuer jadi satu kolaborasi,” tutur Dian.
Wakil Bupati Bantul, Joko Purnomo, mendukung pengembangan kuliner tradisional karena ada keterkaitan dengan pemberdayaan perempuan, pengembangan ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, dia menganjurkan pengembangan kuliner tradisional dapat dibarengi dengan penyelenggaraan event di lokasi cagar budaya.
“Makanan itu (tradisional) ditarik ke sini ternyata anak dan cucu kita ini kepingin mengerti dan menyicipi. Kalau ini rutin dilaksanakan dan pengunjungnya semakin banyak. Ini membuktikan bahwa Mataram adalah sebuah negara yang hebat. Ngayogyakarta adalah negara hebat yang awalnya tumbuh dari Mataram Islam,” lontarnya.
Salah satu pergelaran festival penganan tradisional di DIY adalah Pasar Lawas Mataram. Meski sempat tertunda akibat pandemi, tahun ini Pasar Lawas Mataram dapat digelar untuk kelima kalinya. Lurah Jagalan, Gono Santoso, menyebutkan, sekitar 40 gubuk lapak tahun ini disiapkan. Jumlah ini meningkat dari penyelenggaraan sebelumnya yang hanya 30 gubuk.
"Acara ini digelar esensinya yang paling utama adalah untuk pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan itu harus dirasakan oleh masyarakat," ujar Gono.
Pedagang menjajakan aneka jajanan lawasan, seperti ronde, aneka jenang, gudeg, bakmi lethek, adrem, klepon, cenil, legomoro, dan lain sebagainya, dari pukul 10 pagi hingga 10 malam. Antusiasme masyarakat cukup tinggi dibuktikan dengan transaksi pada penyelenggaraan sebelumnya yang mencapai ratusan juta rupiah.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Andrian Pratama Taher