tirto.id - Hari ini, Artificial Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan ada di mana-mana. Huawei dan OPPO menghadirkan AI dalam bentuk ponsel Huawei Mate 20 Pro dan OPPO R15 Pro. Sementara Samsung menghadirkan AI pada kulkas ciptaan mereka: Samsung Family Hub 2.0 Refrigerator. Dalam Consumer Electronic Show (CES) 2019, Oral-B, produsen alat-alat kesehatan gigi, memperkenalkan sikat gigi yang diklaim membawa kehebatan AI.
Sayangnya, tak semua gembar-gembor soal AI ini benar.
Dalam “The State of AI,” The Verge menyebut bahwa embel-embel AI seperti yang dibawa Oral-B tak lebih dari sekadar omong kosong. Ia hanya membuat teknologi biasa, dipromosikan berlebihan sebagai AI. Bahkan Luis Perez-Breva, pengajar di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dalam tulisannya di Quartz menegaskan: embel-embel AI dalam produk-produk yang dijual bebas di masyarakat adalah hal yang berlebihan.
Bagi Perez-Breva, canggihnya Alexa maupun Google Assistant, bukanlah hasil dari AI. Menurutnya, dua fitur itu lebih pas disebut sebagai hasil yang diperoleh dari machine learning, natural language processing, atau statistical algorithm semata. Itu semua adalah teknologi yang mendukung terciptanya AI, bukan AI dalam bentuk utuh.
AI, dalam penjabaran yang paling sederhana, merupakan algoritma super-cerdas, yang istilahnya dicetuskan pada 1956 oleh seorang ilmuwan bernama John McCarthy. Sedangkan Technopedia menyebut AI sebagai, "...bidang ilmu komputer yang menekankan pembuatan mesin cerdas yang bisa bekerja dan bereaksi seperti manusia."
Dalam AI, ada sub-bidang yang saat ini tengah berkembang seperti machine learning. Alih-alih memprogram suatu kegiatan dengan terperinci dan terukur, machine learning dibuat berdasarkan contoh dari jutaan, bahkan miliaran data. Dari sana, machine learning dapat melakukan sebuah kegiatan secara mandiri, tanpa ada tuntunan terperinci dan terukur dari manusia. Dengan kata lain, machine learning merupakan segala hal yang membuat komputer bisa belajar dengan sendirinya.
Mengutip apa yang ditulis Wired, banyak orang yang punya pikiran berlebihan terhadap AI. Misalnya, AI dianggap teknologi yang jahat, seperti yang ditampilkan dalam seri film Terminator. Pikiran seperti ini agak susah dienyahkan, apalagi tokoh teknologi masa kini seperti Elon Musk juga menyebarkan pemahaman yang sama. Seperti dilaporkan CNBC, bos SpaceX dan Tesla itu menyebut bahwa AI sangat mungkin berimplikasi negatif.
“Ia berisiko lebih besar dibandingkan Korea Utara," ujar Musk. "Dan, kompetisi superioritas di bidang AI sangat mungkin menjadi penyebab Perang Dunia III. AI merupakan risiko paling mendasar bagi kepunahan peradaban manusia.”
Pendapat Musk dibantah oleh banyak orang. Salah satunya adalah Eric Schmidt, mantan Kepala Eksekutif pertama Google. Dalam pemikiran Schmidt, Musk tak memahami potensi AI. Tentu saja, AI bisa berbahaya. Namun itu tak lebih seperti pisau, yang akan berbahaya di tangan penjahat, tetapi jadi berkah di tangan seorang juru masak.
“Anda tidak akan menciptakan telepon karena kemungkinan penyalahgunaan telepon oleh orang jahat. Tidak. Anda akan membangun telepon dan Anda akan mencoba mencari cara untuk mengawasi penyalahgunaan telepon itu,” urai Schmidt.
Lantas, sejak kapan orang terkena euforia sehingga semua-semua teknologi canggih dilabeli sebagai AI?
Bisa jadi sejak pertengahan 2017, ketika beberapa ilmuwan Facebook merilis paper berjudul “Deal or No Deal? End-to-End Learning for Negotiation Dialogues.” Paper itu bersumber dari riset di Facebook tentang memperkenalkan bahasa alami pada AI dalam bentuk percakapan.
Dalam riset tersebut, tim peneliti menemukan hal unik. Pada salah satu bot, ada percakapan yang berbunyi “Balls have zero to me to me to me to me to me …”
Dalam benak para peneliti, apa yang diucapkan bot itu bukanlah suatu masalah. Hanya semacam glitch dari sistem yang mereka buat. Namun, sebulan selepas paper itu diunggah, Fast Company, media asal Amerika Serikat, menyebut fenomena itu sebagai, “AI yang menciptakan bahasa baru!”
Publikasi Fast Company itu jadi viral. Seperti halnya banyak berita viral lain, kisah itupun menyebar dengan disertai bumbu-bumbu bombastis yang kebenarannya diragukan. Pada The Guardian, Zachary Lipton, asisten profesor di Carnegie Mellon University, menyebut viralnya kabar itu membuat penelitian menarik yang dilakukan Facebook menjadi hanya sekadar "...omong kosong sensasional."
Menurut Lipton, sejak beberapa tahun terakhir, masyarakat makin berminat pada topik-topik AI, juga tentang machine learning, ataupun natural language processing. Karena tingginya tingkat permintaan bacaan bertema AI, semakin banyak pula konten media yang membahas soal AI. Sayangnya, ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai “AI misinformation epidemic”, yakni suatu fenomena ketika jurnalisme atau media menghasilkan informasi-informasi yang salah dan berlebihan soal AI.
AI misinformation epidemic bukan fenomena baru. Ketika Electronic Numerical Integrator and Computer (ENIAC), komputer awal yang berukuran sebesar bus lahir Pada dekade 1940an, jurnalis menyebutnya sebagai “Frankenstein matematika,” hingga “mesin penyihir.”
Tak berapa lama berselang selepas ENIAC, Cornell Aeronautical Laboratory merilis algoritma canggih bernama Perceptron. Ketika itu, jurnalis The New York Times menyebutnya sebagai “otak elektronik” yang bisa “mengajar dirinya sendiri.”
Namun kesalahpahaman tentang AI ini dapat dimaklumi, apalagi ini bidang yang sama sekali asing bagi banyak orang awam. Drew McDermott dalam makalah “Artificial Intelligence Meets Natural Stupidity" yang diterbitkan di SIGART Newsletter edisi April 1976, menyebut bahwa AI berada di perbatasan antara kehormatan dan kegilaan. Karenanya, hal-hal aneh nan mistis tentang AI saling terkait dengan segala unsur matematisnya.
Di kalangan akademisi bidang komputer bahkan masih sering terjadi perdebatan dan kesalahpahaman tentang apa itu AI dan apa tujuan AI. Karena itu pula, tak heran kalau ada banyak orang yang menganggap bahwa kelak AI bisa melahirkan robot-robot yang memusnahkan umat manusia.
Editor: Nuran Wibisono