tirto.id - Pada 21 Januari 1903, lima tahun setelah memperoleh kekuasaan penuh atas Filipina dari Spanyol melalui Perjanjian Paris, Mayor Jenderal Leonard Wood yang ditugaskan Amerika Serikat menjadi Gubernur Provinsi Moro melakukan inspeksi kewilayahan.
Kala itu, bertanggung jawab atas ratusan pulau yang terletak di antara Laut Sulu dan Laut Sulawesi, Wood menemukan bahwa salah pulau terpencil yang dikuasainya, Pulau Palmas, telah diduduki Belanda--penguasa wilayah Hindia Belanda (Indonesia).
Mantan Gubernur Jenderal Kuba itu berang. Terlebih, dalam penyerahaan kedaulatan yang diberikan Spanyol, parimeter paling selatan Filipina--yang tercantum dalam Pasal III Perjanjian Paris--berada di titik 4 derajat dan 45 menit Lintang Utara.
Ingin menjadi tetangga yang baik, AS mengirimkan salinan perjanjian tersebut kepada Belanda dua bulan setelah ditandatangani, yang tak sedikitpun dibalas oleh Belanda. Maka, karena Pulau Palmas terletak di titik 5 derajat dan 5 menit Lintang Utara, Wood menyakini bahwa Belanda telah melanggar kedaulatan AS atas Filipina.
Kementerian Luar Negeri AS di Washington kemudian mengirim nota keberatan kepada Belanda tertanggal 31 Maret 1906. Belanda jelas menolak mentah-mentah tuduhan tersebut. Sempat bingung tentang pulau yang dipersengketakan AS, Belanda kemudian tersadar bahwa pulau yang disebut Pulau Palmas adalah Pulau Miangas.
Pulau ini klaim Belanda, "telah kami kuasai, via Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) sejak awal abad ke-17. Melalui konvensi dengan dua kepala suku asli pulau tersebut, kedaulatan kami telah bertahan dan ditunjukkan di pulau tersebut selama dua abad terakhir," tulis Allan Chester Nadate dalam "The Early 20th Century US-Dutch Conflict over Pulau Miangas" (Asian Studies, 2016).
Karena sama-sama meyakini kepemilikan Pulau Palmas atau Pulau Miangas, AS dan Belanda sepakat membawa sengketa ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional sejak 23 Januari 1925.
Dipimpin oleh pengacara cum diplomat asal Swiss bernama Hans Max Huber, Mahkamah Arbitrase Internasional akhirnya memutuskan bahwa Pulau Palmas atau Pulau Miangas diberikan kepada Belanda.
Mengapa? Secara sederhana, Palmas kalah berharga dibandingkan Miangas.
Antara Palmas dan Miangas
Terletak sekitar 40 mil laut dari Mindanao sebagai pulau terbesar kedua milik Filipina, tak diketahui pasti kapan Pulau Miangas ditemukan. Namun, merujuk paparan Alex J. Ulaen dalam buku Wilayah Perbatasan Miangas-Filipina 1928-2010 (2011), pulau ini konon ditemukan pada Oktober 1526 oleh pelaut cum peneliti asal Spanyol bernama Garcia de Loaisa. Dalam sumber lain ditemukan pelaut Portugis yang tak diketahui namanya.
Miangas telah tercatat sebagai salah satu pulau yang eksis di dunia sejak pertengahan abad ke-16, melalui peta Asia Tenggara buatan Gerard Mercator (1569), Abraham Ortelius (1570), Petrus Plancius (1594), dan Antonio de Herare y Tordesillas (1601).
Catatan-catatan awal Barat tentang Pulau Miangas dinamai sebagai "y(slas) de Cocos", "Ilha de Palmeiras", dan "Isla de las Palmas". Nama yang terakhir disebut kemudian membuat Barat sepakat menamainya Pulau Palmas.
Di sisi lain, diisi sekitar 750 jiwa penduduk yang sebagian besar berasal dari pulau-pulau Nanusa seperti Marampit dan Karatung, secara lokal pulau ini tak dikenal sebagai Palmas, tetapi "Tinonda" atau "Poilaten"--untuk kemudian dikenal dengan sebutan "Miangas".
Dalam "The Palmas Island Arbitration" (American Society of International Law, 1928), Philip C. Jesup, Profesor Hukum pada Columbia University, menyebut bahwa perbedaan nama yang digunakan Barat dan penduduk lokal terhadap Pulau Miangas merupakan salah satu kunci mengapa Mahkamah Arbitrase Internasional memutuskan Pulau Miangas menjadi hak Belanda.
Meskipun mengklaim bahwa Miangas ditemukan Spanyol, dan merujuk paparan Lauren benton dalam "Acquiring Empire by Law: From Roman Doctrine to Early Modern European Practice" (Law and History Review, 2010), AS berhak mewarisi pulau tersebut via doktrin okupasi ala Hukum Romawi, perbedaan nama Barat dan lokal menjadi bukti bahwa Spanyol tak benar-benar menemukan Pulau Miangas.
Mungkin Spanyol memang menjadi bangsa Barat pertama yang melihat Pulau Miangas, tapi atas perbedaan nama, Spanyol kemungkinan hanya melihat dari kejauhan, alias tidak singgah di pulau. Secara etimologi, dibuktikan dengan penggunaan nama Palmas yang berarti "pohon palem", pohon yang banyak tumbuh di Pulau Miangas.
Seandainya Spanyol mendarat dan berinteraksi dengan penduduk lokal, mereka seharusnya tahu bahwa pulau yang berada di ujung selatan Filipina ini bernama "Tinonda", "Poilaten", ataupun "Miangas." Dalam pelbagai dokumen yang dimiliki Spanyol, tak tercantum nama-nama lokal untuk menyebut pulau ini.
Sementara itu, meskipun muncul untuk pertama kalinya dalam dokumen Belanda tahun 1911 dengan sebutan "pulau paling utara dari Nanoesa (Nusa Utara) eilanden", Belanda menyebut pulau ini sebagai "Miangas". Ini misalnya termuat dalam laporan ilmuwan Kebun Raya Buitenzorg (Bogor) yang pergi ke pulau ini untuk melakukan penelitian flora-fauna pada 1926.
Kerja saintifik ini berhasil dilakukan Belanda karena mereka berinteraksi terlebih dahulu dengan penduduk lokal. Pada 1895 misalnya, melalui kunjungan Residen Manado E. J. Jellesma, Belanda membuat kontrak kerjasama antara dengan Raja Tabukan, penguasa wilayah Miangas.
Maka tak heran jika Belanda akhirnya mengklaim bahwa Pulau Miangas masuk ke dalam wilayah kekuasaannya. Dalam Peta Talaud bikinan Belanda disebutkan bahwa "pulau-pulau di sekitar Talaud merupakan milik Belanda, yang berada di sekitar 126 derajat dan 30 menit hingga 127 derajat Bujur Timur serta 3 derajat dan 40 menit hingga 5 dejarat dan 35 menit Lintang Utara. Terdiri dari Karakelang, Salibabu, Kabaruan, dan pulau-pulau kecil (termasuk Miangas) lainnya."
Atas penggunaan nama Miangas, didukung kerjasama yang sempat dilakukan dengan penguasa lokal, maka Mahkamah Arbitrase Internasional meyakini Belanda memiliki kedaulatan atas Pulau Miangas.
Editor: Irfan Teguh Pribadi