tirto.id - Seluruh pimpinan dan anggota DPRD DKI Jakarta belum pernah melaporkan harta kekayaaan penyelenggara negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan belum juga mereka buat hingga 2018, atau setahun sebelum mereka lengser.
Menurut Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, DPRD DKI beranggotakan 106 orang tapi tak satu pun yang menyetor LHKPN.
“0 persen,” kata Pahala di Gedung KPK, Senin (14/1/2019).
Pernyataan Pahala tak dibantah Imam Satria, Ketua Komisi D DPRD DKI. Namun, politikus PKS ini berdalih laporan belum dibikin karena mereka belum memahami teknis pengisian LHKPN yang pakai sistem elektronik.
Menurut Imam, pimpinan DPRD pernah meminta Sekretaris Dewan untuk memfasilitasi pelaporan ini ke KPK. “Karena itu, kan, isinya tidak mudah,” kata Imam, Selasa (15/1/2019).
Dalih tak mudah mengisi LHKPN juga dikatakan Bestari Barus. Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI ini mengklaim pernah mencoba membuat LHKPN tapi gagal karena belum mendapat akses kata kunci untuk masuk ke situsweb LHKPN.
“Menunggu tindak lanjut Sekwan,” kata Bestari.
Dalih Imam dan Bestari disanggah Sekretaris DPRD DKI Jakarta Muhammad Yuliardi. Ia mengatakan sudah berulang kali mengingatkan anggota dewan untuk mengisi LHKPN karena KPK juga sudah membuat teknis pengisiannya.
“Tinggal tindak lanjutnya dari teman-teman dewan,” kata Yuliardi.
Untuk pengisian data, Yuliardi mengaku tidak punya hak apapun. Sebab untuk pengisian dilakukan secara perorangan dengan sistem yang terintegrasi secara elektronik. Sehingga setiap anggota yang sudah memiliki kata kunci, bisa langsung mengisi LHKPN.
“Pengisiannya itu online, [kata] kuncinya juga sudah dikasih. Jadi tidak perlu menunggu komando dari Sekwan atau Pak Ketua lagi. Mereka bisa buka dan isi sendiri. Yang penting bagaimana keinginannya mereka,” ujarnya.
Alasan yang Dibuat-buat
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan menilai dalih anggota DPRD belum melapor karena tak paham teknis pengisian adalah alasan yang dibuat-buat.
Menurut Misbah, sikap tersebut justru menunjukan integritas mereka yang rendah. “Dan perlu dipertanyakan komitmennya dalam pencegahan korupsi,” kata Misbah kepada reporter Tirto.
Menurut Misbah, anggota DPRD wajib menyerahkan LHKPN sebagai upaya pencegahan korupsi. Ini lantaran jabatan mereka di DPRD bisa berpotensi melakukan tindak pidana korupsi dan lewat LHKPN ini, kata Misbah, ukuran kewajaran harta kekayaan seorang pejabat bisa dinilai.
“Bila pada masa dia menjabat atau akhir dia menjabat ada kenaikan harta yang tidak wajar, dibanding saat pertama menjabat. Lembaga pengawas seperti KPK patut mencurigainya,” kata Misbah.
Penilaian Misbah ini sejalan dengan kekhawatiran ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurut Fickar, pejabat publik yang tidak menyetor LHKPN perlu dicurigai sedang melakukan tindak pidana pencucian uang.
“Kalau pejabat publiknya cerdik. Penghasilan di luar pendapatannya, entah dari suap atau korupsi, bisa dibuat atas nama orang lain. Baik itu dalam bentuk rekening, properti, atau bahkan saham,” kata Fickar kepada reporter Tirto.
Sanksi Perlu Diperketat
Namun masalah yang terjadi selama ini, pejabat negara termasuk anggota DPRD DKI yang tak melapor LHKPN, tak mendapat sanksi tegas. Masalah ini yang dipersoalkan Donal Fariz, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW.
Menurut Donal, anggota DPRD DKI ini sadar tak melapor karena tak ada sanksi yang bisa diterapkan kepada mereka. Situasi ini perlu dikasih solusi dengan regulasi baru yang lebih ketat.
"Sepanjang tidak ada perubahan regulasi, maka persoalan LHKPN ini tidak akan berubah," kata Donal kepada reporter Tirto.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah menjadikan LHKPN syarat wajib pendaftaran caleg dan diatur dalam UU Pemilu. Jika itu bisa dilakukan, kata Donal, seluruh caleg akan melaporkan LHKPN.
Sementara itu, Abdul Fickar Hadjar meminta pimpinan sebuah instansi pemerintah menindak tegas para pejabat yang tak membuat LHKPN. Sanksi bisa berupa penurunan jabatan atau pemecatan.
“Sesuai dengan UU administrasi pemerintah dan UU serta peraturan sektoralnya. Atau PP tentang kementerian yang terkait,” kata Fickar.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Mufti Sholih