tirto.id - Rapid test menjadi salah satu langkah efektif untuk mendeteksi infeksi virus COVID-19 yang telah dilaksanakan di berbagai negara termasuk Indonesia.
Rapid test merupakan tes massal yang memiliki bermacam-macam jenis, salah satunya adalah Polymerase Chain Reaction atau disingkat PCR. Lalu apa itu rapid test metode PCR dan bagaimana cara kerjanya?
Dilansir dari situs The Guardian, rapid test dengan metode PCR digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi COVID-19 dalam tubuh seseorang.
Tes ini dapat menemukan partikel virus pada tubuh setiap individu dan menempatkan urutan gen Coronavirus tertentu. Selanjutnya, PRC akan membuat banyak salinan untuk memudahkan pendeteksian.
Tergantung pada jenis PCR yang ada, tes ini dilakukan oleh para petugas kesehatan mungkin dengan menyeka bagian belakang tenggorokan. Upaya ini guna mengambil sampel air liur, atau mengumpulkan sampel cairan dari saluran pernapasan bawah.
Namun, tes PCR juga dapat dilakukan dengan menggunakan sampel tinja, demikian dilansir dari Live Science.
Ketika sampel tiba di lab, para peneliti mengesktrak asam nukleat di dalamnya. Di dalam asam nukleat tersebut terdapat genom virus yang dapat menentukan adanya infeksi atau tidak dalam tubuh.
Kemudian, peneliti dapat memperkuat daerah genom tertentu dengan menggunakan teknik yang dikenal sebagai reaksi berantai transkripsi polimerase terbalik.
Pada dasarnya, hal ini memberi para peneliti sampel besar yang kemudian dapat mereka bandingkan dengan virus corona baru, yang dikenal sebagai SARS-CoV-2.
Virus SARS-CoV-2 memiliki hampir 30.000 nukleotida, blok bangunan yang membentuk DNA dan RNA.
Menurut Seattle Times, Dr. Alex Greninger, asisten profesor di Departemen Kedokteran Laboratorium dan asisten direktur Laboratorium Virologi Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Washington mengungkapkan, tes PCR yang dikembangkan oleh fakultas di mana ia bekerja menargetkan hanya 100 nukleotida yang spesifik untuk COVID-19 tersebut.
Lebih lanjut, 100 nukleotida tersebut termasuk dua gen dalam genom SARS-CoV-2.
Sampel akan dianggap positif apabila tes yang dilakukan menemukan dua gen tersebut, tidak meyakinkan jika hanya satu gen yang ditemukan, dan negatif jika tidak ada gen yang terdeteksi.
Andrew Preston dari Bath University menyatakan, tes PCR sangat efektif untuk mendeteksi virus COVID-19.
Akan tetapi, keberhasilan dalam melakukan tes juga tergantung pada seberapa baik petugas layanan kesehatan mengambil sampel dari hidung atau bagian belakang tenggorokan pasien.
“Jika virus tidak diambil pada swab, hasilnya akan negatif. Jadi, seberapa efektif swab diambil, dan jumlah virus yang ada di lokasi pengambilan sampel, akan menentukan apakah virus terdeteksi dari orang yang terinfeksi,” katanya dikutip dari The Guardian.
Di sisi lain, teknologi dalam tes massal COVID-19 dengan metode PCR sangat sensitif.
Situs Oxford menyebutkan, kesensitifan PCR tersebut dapat membantu mendeteksi infeksi pada tahap awal dan berpotensi membantu mengurangi penyebaran virus SARS-CoV-2 atau COVID-19.
Teknologi ini hanya membutuhkan blok panas sederhana yang mempertahankan suhu konstan untuk transkripsi balik RNA dan amplifikasi DNA, dan hasilnya dapat dibaca dengan mata telanjang. Ini membuatnya berpotensi berguna di daerah pedesaan atau pusat kesehatan masyarakat.
Teknologi ini telah divalidasi dengan sampel klinis nyata di Rumah Sakit Shenzhen Luohou di Cina. Rumah Sakit Luohu Shenzhen telah menerapkan rapid test pada 16 sampel klinik, termasuk 8 positif dan 8 negatif, yang telah dikonfirmasi oleh metode RT-PCR konvensional dan bukti klinis lainnya. Hasil tes menggunakan rapid test semuanya berhasil.
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno