tirto.id - Sudah hampir dua tahun pekerja di Indonesia berkutat dengan pandemi virus Corona. Selama itu pula, mereka harus membiasakan diri untuk bekerja jarak jauh (Working from Home/WfH). Meski konsep WfH makin populer di akhir abad 20, konsep ini sudah dikenal sejak 1970-an. Saat itu WfH mulai dibicarakan untuk mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan komputer pribadi. Kemudian, dalam dua tahun ke belakang, WfH dilakukan untuk mengakomodir kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan pemerintah di berbagai daerah, serta protokol kesehatan untuk menekan transmisi virus corona.
Pandemi tentu berdampak besar bagi para pekerja. Survei Kemnaker pada November 2021, misalnya, mencatat ada 72.983 karyawan menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Survei tersebut dilakukan di 21 Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) dari 34 provinsi ada di Indonesia.
WfH juga punya banyak dampak, dan amat berpengaruh bagi para pekerja. Studi dari Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization – ILO) pada 2020 juga menemukan bahwa 41 persen orang yang bekerja dari rumah menganggap diri mereka sangat stres, dibandingkan dengan 25 persen dari mereka yang bekerja di kantor. Studi ILO lainnya pada 2020 juga mencatat secara global terjadinya peningkatan risiko kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan berbasis teknologi (online harassment).
Tim Riset Tirto menemukan berbagai kesulitan saat WfH pada survey bulan April 2021. Permasalahan terbesar pekerja WfH terdapat pada koneksi internet (67,9 persen), rapat virtual yang semakin banyak (52,3 persen), dan fasilitas kerja yang kurang memadai (41,8 persen).
Masalah juga dialami mereka yang tidak bisa melakukan WfH, yakni pekerja sektor TGSL (tekstil, garmen, sepatu, dan kulit). Menurut laporan Tirtopada Juli 2021, ketika kasus COVID-19 merangkak naik, pekerja sektor ini, 100 persen, mesti bekerja di pabrik. Mereka juga tetap bekerja penuh waktu hingga lembur.
Kewajiban itu seringkali tidak dibarengi protokol kesehatan. Pekerja pabrik berkerumun di dalam ruang tertutup sehingga sirkulasi udara buruk dan memudahkan virus menyebar ke seluruh pabrik. Pabrik pun tidak menyediakan alat pelindung diri dan fasilitas kesehatan memadai seperti klinik, tes awal, atau vitamin. Selain itu, perusahaan juga tidak mengongkosi biaya tes COVID-19 yang ketika itu masih ada di angka ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah.
Dalam persoalan-persoalan ini, penerapan K3 (Keselamatan & Kesehatan Kerja) menjadi sangat krusial. ILO mendefinisikan K3 dengan lebih detail sebagai pemahaman tentang antisipasi, pengenalan, evaluasi, dan pengendalian bahaya yang dapat timbul di dalam tempat kerja atau lingkungan yang mengelilingi tempat kerja, hal ini dapat berupa masyarakat sekitar atau lingkungan kerja secara umum.
Upaya untuk memastikan tempat kerja yang aman dan sehat menjadi penting untuk mencegah korban jiwa atau kecelakaan, terutama di tengah kondisi kerja saat pandemi. Selain setiap pekerja berhak atas kondisi dan lingkungan pekerjaan yang layak, tidak diterapkannya K3 secara baik dapat mengganggu proses kerja dan menurunkan produktivitas.
Dalam mendorong upaya pencegahan COVID-19 melalui penguatan upaya K3 di tempat kerja, ILO melalui Proyek Pencegahan COVID-19 di dan melalui Tempat Kerja, yang didukung pemerintah Jepang, berupaya meningkatkan kemampuan tempat kerja dalam menilai risiko penularan virus sekaligus mengedukasi terkait penerapan prinsip K3 yang menjadi kunci untuk menjamin tempat kerja yang aman dan sehat.
Selanjutnya, menurut survey yang dilakukan ILO terhadap para pekerja untuk mengetahui pengetahuan dan perilaku kesehatan di tempat kerja (Layanan Penilaian Risiko COVID-19) menunjukkan 94 persen dari 4.100 karyawan yang mengisi survei mengatakan tempat kerja mereka sudah melakukan sosialisasi terhadap penularan COVID-19. Ini memperlihatkan edukasi pencegahan merupakan hal penting untuk dilakukan sebagai penunjang penerapan K3 yang optimal.
K3 juga mesti jadi pertimbangan bagi pengusaha dan pemerintah ketika hendak mengatur pekerja untuk kembali melakukan Working from the Office (WfO). Menurut aturan terakhir Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada 6 Januari 2022, WfO di kantor pemerintahan bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat berkisar antara 50 hingga 100 persen tergantung jenis sektor pekerjaan (esensial atau non-esensial) dan juga status PPKM daerah terkait.
Selain itu, untuk memastikan tempat kerja yang aman, berdasarkan layanan penilaian risiko yang terbuka bagi semua bentuk tempat kerja dan dunia usaha, ILO bekerja sama dengan para dokter-dokter K3 di bawah Perhimpunan Dokter Kesehatan Indonesia (IDKI) untuk menyusun rencana aksi dan strategi pencegahan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing tempat kerja. Sebanyak 170 tempat kerja dari 143 perusahaan yang tersebar di hampir seluruh provinsi Indonesia sudah mengikuti layanan yang menargetkan lebih dari 1.500 tempat kerja baik besar dan kecil dengan melibatkan partisipasi baik dari perusahaan maupun pekerjanya.
“Dalam membangun budaya pencegahan K3, perlu partisipasi dari semua pihak dan penekanan pada dialog sosial atau diskusi antara pekerja dan pengusaha. Dengan mengetahui kondisi dan situasi kerja, maka penerapan budaya pencegahan ini menjadi langkah terbaik guna menurunkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja serta meningkatkan produktivitas,” ujar Abdul Hakim, Manajer Proyek ILO untuk Pencegahan COVID-19.
Selain penerapan K3 di tempat kerja, hal lain yang mesti menjadi perhatian bagi pengusaha untuk memutuskan WfO adalah penyebaran varian COVID-19 Omicron yang sangat cepat. Per 30 Januari 2022, menurut catatan Satgas COVID-19, diketahui terdapat 8.115 kasus harian baru, dengan penambahan kasus terpusat di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Melihat hal ini, pemerintah berusaha mengantisipasi penyebaran varian Omicron dengan melakukan evaluasi perpanjangan PPKM Jawa-Bali setiap minggu, seperti disampaikan lewat situs Sekretariat Kabinet RI (16/01).
Hanya saja perbaikan belum terlihat di lapangan. Mengutip Kompas.compada 22 Januari, kasus COVID-19 di Depok, Jawa Barat, bertambah jadi 165, salah satu penyebabnya adalah klaster perkantoran. Hal serupa juga terjadi di Jakarta. Karena itu pula, Dinas Kesehatan DKI menyarankan agar setiap perkantoran memperketat aturan untuk bekerja di kantor di tengah kenaikan kasus COVID-19 hingga mencapai 6,6 ribu kasus.
Di sisi lain, Kemenaker telah mengeluarkan Surat Edaran Menaker Nomor M/7/AS.02.02/V/2020 untuk melakukan upaya antisipasi penularan COVID-19 di tempat kerja. Ada pula Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/8/H.04/V/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja pada Kasus Penyakit akibat Kerja karena COVID-19, dimana pekerja yang terinfeksi COVID-19 berhak menerima manfaat program JKK pada BPJS Ketenagakerjaan. Hanya saja, upaya ini masih belum cukup lantang di lapangan.
Masih terkait K3, “Sejumlah perusahaan memang belum menjadikan keselamatan sebagai poin penting,” ujar Nining Elitos, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) pada Tirto (28/01)
Hal ini menjadi kenyataan di lapangan ketika para pengusaha masih menerapkan WfO bagi para pekerja garmen, tekstil, sepatu, dan kulit, seperti dilaporkan Tirto. Pada industri ini, PPKM nyaris tidak berlaku bagi ratusan ribu atau bahkan jutaan pekerjanya. Di banyak sentra industri sektor ini; misal, Cakung, Tangerang, Subang, Sukabumi, dan Solo, puluhan pabrik masih beroperasi 100 persen.
Di sisi lain, Nining juga menyampaikan bahwa Alat Pelindung Diri (APD) pada para pekerja masih minim. Hal tersebut tentu menjadi beban bagi pekerja dengan upah yang kecil, sebab harus mengeluarkan ekstra biaya untuk kebutuhan masker dan hand sanitizer. K3 seharusnya bukan sekadar menjadi pembicaraan, tetapi implementasinya menjadi penting baik di kondisi pandemi maupun tidak.
Sementara itu, penyediaan peralatan K3, seperti APD, masih dianggap sebagai beban biaya bagi pengusaha dan pekerja. Dalam hal ini, K3 masih dianggap sebagai beban pengeluaran dan bukan investasi di tempat kerja. Padahal menurut Abdul Hakim, “Penerapan APD ini seharusnya menjadi langkah terakhir, karena yang paling utama adalah menjadikan kesadaran terhadap K3 sebagai bagian dari segala aspek kehidupan bekerja kita. Dengan begitu, K3 menjadi investasi yang menguntungkan bagi pekerja dan pengusaha”.
Hal tersebut juga senada dengan yang termuat dalam World Employment and Social Outlook Trends 2022 (WESO Trends). Dalam laporan itu, ILO mencatat bahwa keselamatan dan kesehatan sebagai salah satu bagian tak terpisahkan dari pemulihan pasar tenaga kerja. ILO memperkirakan, pengangguran global diperkirakan akan tetap di atas level sebelum pandemi setidaknya hingga 2023.
Artinya, pemulihan pasar tenaga kerja tidak bisa dilepaskan dari perlindungan hak-hak dasar pekerja itu sendiri. Hal ini juga diungkapkan secara tegas oleh Direktur Jenderal International Labour Organization (ILO) Guy Ryder.
“Tidak akan ada pemulihan nyata dari pandemi ini tanpa pemulihan pasar tenaga kerja yang luas. Dan agar berkelanjutan, pemulihan ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip pekerjaan yang layak – termasuk keselamatan dan kesehatan, kesetaraan, perlindungan sosial dan dialog sosial”.
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Nuran Wibisono