tirto.id - Bangsa asing itu girang karena ternyata terdapat kandungan minyak bumi yang cukup melimpah di Tarakan, Kalimantan bagian utara. Atas temuan pada awal abad ke-20 tersebut, pemerintah kolonial Hindia Belanda kemudian melakukan eksploitasi melalui Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Padahal, minyak yang diisap Belanda itu berada di atas tanah milik Kerajaan Tidung.
Kala itu, Kerajaan Tidung dipimpin seorang raja bernama Datoe Adil. Raja muslim yang bertakhta sejak 1896 ini memang tidak disukai Belanda karena selalu menentang kebijakan pemerintah kolonial, termasuk soal penambangan minyak bumi di Tarakan. Maka dicarilah cara untuk menyingkirkan Datoe Adil sekaligus memusnahkan Kerajaan Tidung.
Yang terjadi kemudian adalah, aparat kolonial menangkap Datoe Adil dan para pejabat serta keluarga kerajaan, termasuk para pangeran pewaris takhta, dengan tuduhan pembangkangan juga tidak membayar pajak. Pada 1916, mereka diasingkan ke luar Borneo. Kerajaan Tidung di Kalimantan Utara yang sudah berdiri sangat lama pun musnah.
Antara Dayak Atau Melayu
Riwayat Kerajaan Tidung yang didirikan di sekitar Tarakan, Kalimantan bagian utara, dekat perbatasan Indonesia-Malaysia, setidaknya dapat dibagi dalam dua fase besar, yakni fase pra-Islam dan fase Islam, serta bertahan cukup lama sebelum keruntuhannya.
Sebelum Islam masuk, kerajaan ini disebut Kerajaan Tidung Kuno atau Ancient Kingdom of Tidung. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada 1076 M dan mulanya berpusat di pesisir timur Pulau Tarakan, yaitu di Binalatung (Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-kerajaan Nusantara, 2009:37). Pada 1156, ibukota Tidung pindah ke pesisir barat, yakni di Tanjung Batu. Pusat pemerintahan Tidung mengalami beberapa perpindahan lagi sehingga kerap disebut kerajaan nomaden.
Apakah masyarakat Kerajaan Tidung merupakan bagian dari Suku Dayak atau Melayu masih belum terjawab dengan pasti hingga kini. Ada kemungkinan, warga Tidung masih berkerabat dengan orang-orang Dayak dari rumpun Murut, yakni Suku Dayak di Sabah (kini wilayah Malaysia).
Baca Juga: Ali Anyang, Putra Dayak Penegak NKRI
Martinus Nanang (2008) dalam Sejarah dan Kebudayaan Tidung di Kabupaten Malinau menyebutkan bahwa di Kuala Penyu, Sabah Barat, terdapat etnik Murut yang disebut Tenggara atau Tengara. Mereka dianggap sebagai turunan Tidung yang bukan Islam (hlm. 1).
Penyebutan Tengara sebagai leluhur orang-orang Tidung dibenarkan oleh Datuk Norbeck bin Datuk Bayal bin Datuk Asang yang dikenal sebagai budayawan Tidung. Ia menyebut, Kerajaan Tidung adalah kerajaan dari dinasti Suku Tengara (Yoko Handani, ”Runtuhnya Kerajaan Tidung karena Kandungan Minyak”, dalam Newstara.com, 2015).
Tjilik Riwut dan Nina Riwut (2007) dalam buku Kalimantan Membangun, Alam, dan Kebudayaan, juga berkeyakinan serupa. Disebutkan, Tidung dulu diperintah oleh orang Dayak, bersatu di bawah seorang Raja Dayak bergelar Wira. Gelar ini diubah saat orang-orang Bugis, Melayu, dan lainnya datang. Mereka menyebarkan agama Islam dan sejak saat itu, raja serta sebagian orang Dayak memeluk Islam (hlm. 149).
Baca Juga: Melayu, Islam, dan Politisasi Pribumi ala Kolonial
Sejak masuknya ajaran Islam sejak abad ke-13 yang kemudian menjadi agama resmi kerajaan, orang-orang Tidung memang tidak dianggap lagi sebagai bagian dari Suku Dayak. Mereka lantas dikategorikan sebagai suku yang berbudaya Melayu.
Islam kemudian menjadi alat ukur “kemelayuan”. Mahyudin Al Mudra (2009) dalam tulisannya berjudul “Praksis Perlawanan Terhadap Erosentrisme” memaparkan, seseorang dianggap Melayu setidaknya memenuhi empat syarat tak tertulis, yaitu menetap di kawasan Melayu, berbicara bahasa Melayu, mengamalkan adat-istiadat Melayu, dan beragama Islam.
Panas-Dingin Tidung & Bulungan
Kerajaan Tidung Kuno bertahan cukup lama. Setelah dipimpin 17 raja, kerajaan ini kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Tarakan setelah masuknya Islam. Meski demikian beberapa kalangan masih menyebutnya dengan nama Kerajaan Tidung.
Pemimpin Kerajaan Tidung Kuno yang terakhir adalah seorang ratu bernama Ikenawai, bertakhta hingga tahun 1557. Ia digantikan Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet, pemimpin Tidung pertama yang beragama Islam.
Peralihan Tidung menjadi kerajaan Islam berlangsung tanpa kekerasan, melainkan melalui ikatan perkawinan. Ratu Ikenawai, pemimpin Tidung Kuno terakhir, menikah dengan Amiril Rasyd yang diduga datang dari Sulu (kini termasuk wilayah Filipina).
Baca Juga: Ketegasan Ratu Shima Penguasa Pantura
Sejak saat itu, Tidung memasuki fase baru dan dipimpin secara turun-temurun oleh keturunan Ratu Ikenawai dan Amiril Rasyd. Dari era ke era, Kerajaan Tidung atau Tarakan tetap eksis meskipun beberapa kali terlibat perselisihan dengan kerajaan baru bernama Bulungan, yang berdiri sejak 1731. Kerajaan ini sejak awal sudah memeluk Islam dan memakai konsep kesultanan.
Antara Bulungan dan Tidung sempat terjalin keakraban, termasuk mempererat persaudaraan dengan jalan pernikahan. Bahkan berdirinya Kesultanan Bulungan tidak terlepas dari keberadaan Kerajaan Tidung di Tarakan. Bulungan membentuk pemerintahan sendiri setelah memisahkan diri dari Kerajaan Tarakan (B. Sellato, Forest, Resources, and People in Bulungan, 2001:17).
Baca Juga: Tragedi Pembantaian Bulungan di Perbatasan Malaysia
Namun, relasi antara Kerajaan Tarakan atau Tidung degan Kesultanan Bulungan ibarat api dalam sekam alias berlangsung panas-dingin. Salah satu penyebabnya adalah persaingan dalam memperebutkan kandungan minyak bumi yang terdapat di wilayah tersebut.
Musnahnya Kerajaan Tarakan
Hingga akhirnya Belanda mengetahui bahwa di bumi Tarakan terkandung potensi minyak bumi yang amat berharga, bahkan disebut-sebut memiliki kualitas terbaik di dunia. Ini terjadi ketika Kerajaan Tidung dipimpin oleh seorang raja bernama Datoe Adil, berkuasa sejak 1896.
Datoe Adil tidak pernah menyukai Belanda. Ia menolak perintah pemerintah kolonial Hindia Belanda memungut pajak dari rakyat Tidung karena hasil pajak tersebut harus diserahkan kepada Belanda untuk membiayai perang dan militer kompeni (Handani, 2015).
Belanda kemudian menghasut Kesultanan Bulungan untuk bekerjasama menghadapi Kerajaan Tidung atau Tarakan. Dijanjikan oleh Belanda, jika Tidung dapat ditaklukkan, maka wilayahnya akan diserahkan kepada Bulungan. Namun Belanda meminta bagian untuk menambang minyak bumi di wilayah tersebut.
Atas bantuan Bulungan, Belanda menuding bahwa Datoe Adil melakukan penggelapan uang pajak dan membangkang perintah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Maka, Datoe Adil harus menjalani hukuman buang ke Manado, Sulawesi Utara, pada 1916. Begitu pula dengan para pejabat tinggi kerajaan, termasuk pangeran dan putra mahkota, yang diasingkan ke beberapa tempat yang berbeda.
Baca Juga: Belanda Membantai Orang-orang Banda
Sementara keluarga Kerajaan Tidung lainnya, berjumlah lebih dari 62 orang, ditawan di Tanjung Selor, pusat pemerintahan Kesultanan Bulungan. Belanda pun memberikan kewenangan kepada Bulungan untuk menguasai bekas wilayah Kerajaan Tidung. Bahkan, istana Tidung kemudian dihancurkan oleh aparat kolonial (Handani, 2015).
Dibuangnya Datoe Adil beserta pewaris takhtanya pada 1916 oleh Belanda otomatis mengakhiri riwayat Kerajaan Tidung atau Tarakan. Peradaban lama di perbatasan Indonesia-Malaysia yang sempat bertahan selama berabad-abad ini akhirnya musnah dan belum mampu bangkit lagi hingga kini.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya