tirto.id - Pertemuan antara Jan Koum dan Brian Acton pertama kali terjadi pada 1997. Acton adalah karyawan ke-44 Yahoo, ia mewawancarai Koum yang melamar pada posisi System Security di Yahoo. Pertemuan dua profesional itu berlanjut menjadi persahabatan.
Persahabatan Koum dan Acton semakin erat dan kompak. Sebagai contoh, pada akhir Oktober 2007 keduanya sepakat mengundurkan diri bersama dari Yahoo. Pada Mei 2009, keduanya sukses membangun aplikasi pesan instan WhatsApp. Hingga akhirnya Facebook membeli WhatsApp senilai $19 miliar pada 2014.
Namun, setelah akuisisi itu, Acton memilih jalan mengundurkan diri, Koum juga melakukan hal sama belum lama ini. Keputusan duo pendiri WhatsApp ini mundur karena masalah fundamental yaitu kebijakan privasi dan perlindungan data Facebook.
Mark Zuckerberg, pendiri Facebook sekaligus yang membuat dua sahabat itu kaya raya ikut berkomentar “Jan, saya pasti akan rindu bekerja bersamamu. Terimakasih untuk segalanya [...] termasuk soal masalah enkripsi.”
The Washington Post menulis, sebelum Koum resmi mengumumkan pengunduran diri, ia menyatakan akan mundur “karena strategi layanan perpesanan populer tersebut serta upaya Facebook untuk menggunakan data pribadi pengguna WhatsApp dan melemahkan enkripsi.”
Sejak 2014, di bawah kendali Facebook, WhatsApp perlahan berubah, terutama tentang kebijakan privasi. Data-data para pengguna WhatsApp dimanfaatkan raksasa media sosial ini untuk kepentingannya iklan.
Pada Agustus 2016, sebagaimana diwartakan Techcrunch, perubahan WhatsApp oleh Facebook benar-benar terjadi. WhatsApp “mulai membagikan beberapa data pengguna pada perusahaan induknya, termasuk membagi data dengan alasan iklan.”
WhatsApp, dalam unggahan blog resmi yang dikutip Techcrunch, mengatakan bahwa “Facebook bisa menghadirkan sugesti pertemanan yang lebih baik dan menampilkan iklan yang lebih relevan” dengan memanfaatkan data yang dimiliki WhatsApp.
Pada aturan tentang privasi terbaru, penggunaan data WhatsApp bagi Facebook lebih jelas. Sebagaimana dikutip dari laman resmi WhatsApp, aplikasi pesan instan tersebut mengatakan bahwa “kami dapat menggunakan informasi yang diterima dari Facebook, dan Facebook pun dapat menggunakan informasi yang kami bagikan.”
Pembagian data antara WhatsApp dan Facebook untuk “meningkatkan layanan, seperti melawan SPAM antar aplikasi (dalam keluarga Facebook), membuat sugesti produk yang lebih akurat, dan menampilkan iklan relevan di Facebook.”
Dalam kehidupan sehari-hari, aksi pertukaran data ini nampak nyata. Pradiptajati, seorang pengguna Facebook
membagikan pengalamannya tentang penggunaan data WhatsApp oleh Facebook. Dalam statusnya, ia menceritakan saat berbincang dengan sang istri tentang servis AC via pesan instan WhatsApp. Yang terjadi setelah itu adalah iklan terkait servis AC muncul di akun Facebook miliknya.
Contoh lain adalah, saat seseorang menyimpan daftar kontak orang lain yang ada di WhatsApp, Facebook bisa memunculkan saran pertemanan di media sosial dengan orang bersangkutan. Dengan kata lain, lewat dua platform di bawah Zuckerberg ini mampu menggenggam aktivitas pribadi para penggunanya, yang rentan pada persoalan privasi.
Sejak awal, Koum dan Acton sangat peduli soal isu privasi. Acton, bahkan melangkah lebih jauh. Selepas mundur dari Facebook, dengan duit miliaran yang diperolehnya dari Facebook. Acton menginvestasikan duit senilai $50 juta pada Signal, aplikasi pesan instan serupa WhatsApp tetapi dengan embel-embel keamanan privasi yang lebih baik.
Acton, dalam keterangannya mengatakan bahwa langkah berinvestasi pada Signal dilakukannya sebagai “rencana memulai model baru di dunia teknologi non-profit yang fokus pada privasi dan perlindungan data.”
Konsen Acton pada privasi bukan tanpa sebab.PewResearch, dalam salah satu publikasinya pada 2014 menemukan 80 persen responden merasa khawatir atas data mereka yang dijadikan bahan baku iklan di media sosial.
Daniel Ives, Chief Strategy Officer GBH Insight, firma penelitian pasar, mengatakan “bagian dari kesuksesan Facebook ialah akuisisi, yang lantas dimonitisasi dengan cara mengintegrasikan menjadi mesin iklan.”
Instagram merupakan kisah kesuksesan akuisisi Facebook. Sejak dibeli Facebook senilai $1 miliar pada 2012, aplikasi berbagi foto tersebut kian sukses mendulang pendapatan bagi Facebook, terutama dengan model bisnis iklan. Mengutip publikasi Statista, di 2017 Instagram memperoleh pendapatan sebesar $5,3 miliar, meningkat dari $3,1 miliar setahun sebelumnya. Pada 2018, pendapatan Instagram diprediksi meningkat menjadi $7 miliar.
Pada awalnya, Facebook tak berhasil melakukan apa yang dilakukan pada Instagram di WhatsApp. Salah satu alasannya, menurut Ives karena ada resistensi dari pendiri WhatsApp yang tak setuju menjadikan aplikasi tersebut mesin iklan “Benturan budaya besar-besaran” antara Facebook dan WhatsApp terjadi.
Namun, Facebook kini sudah menentukan arah bagaimana aplikasi pesan instan dengan 1,5 miliar pengguna aktif bulanan tersebut berjalan. Namun, perlu diingat, skandal Cambridge Analytica yang menimpa Facebook, menjadi bukti soal privasi dan keamanan data pengguna bisa jadi bumerang bagi Facebook.
Editor: Ahmad Zaenudin