Menuju konten utama

Kepentingan di Balik Unjuk Kekuatan di Laut Cina Selatan

Sengketa di Laut Cina Selatan semakin memanas dan jauh dari kata damai. Tak hanya melibatkan negara yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan, tetapi juga melibatkan Amerika Serikat yang tak ada klaim di wilayah perairan tersebut. Saling unjuk kekuatan pun dilakukan oleh negara-negara itu. Lantas apa yang sesungguhnya yang dicari di Laut Cina Selatan?

Kepentingan di Balik Unjuk Kekuatan di Laut Cina Selatan
Kapal Induk USS John C. Stennis (CVN 74) dan USS Ronald Reagen (CVN 76) (ka) kelas Nimitz melakukan operasi kelompok serangan ganda kapal induk di area operasi armada US ke-7 untuk mendukung keamanan dan stabilitas Indo-Asia-Pasifik di Laut Filipina, Sabtu (18/6). Antara foto/courtesy jake greenberg/u.s. navy/handout via reuters/cfo/16

tirto.id - Pangkalan militer Amerika Serikat (AS) mengepung Laut Cina Selatan. Mulai dari Jepang, Filipina, Thailand, Korea Selatan, Australia, Guam, Alaska, dan Hawaii. Sementara Cina tak mau kalah dan menunjukkan kedigdayaannya di kawasan tersebut.

Laut Cina Selatan sudah menjadi wilayah pertempuran abadi. Negara-negara adikuasa yang memiliki kepentingan besar, berupaya menunjukkan kekuatannya. Mereka tak mau kalah untuk bisa menjadi penguasa salah satu wilayah yang punya potensi ekonomi besar itu.

Konflik Laut Cina Selatan melibatkan banyak negara. Salah satunya Amerika Serikat (AS) dan Cina. Sejak 2010, Amerika Serikat mulai menggertak Cina yang ingin mendominasi perairan Laut Cina Selatan. Bagi AS, meningkatnya kekuatan Cina akan melahirkan ketakutan dan ketidakstabilan serta menyulut konflik teritorial. Inilah yang kemudian menjadi bagian dalam pengembangan strategi mereka di Asia Pasifik.

Amerika Versus Cina

Sejarah mencatat, AS memang banyak melibatkan diri dalam konflik dan peperangan misalnya di Kawasan Timur Tengah, konflik Arab-Israel, terorisme, dan kini di Laut Cina Selatan. AS mulai intens memperhatikan kawasan Asia, terutama sejak Barack Obama menjabat sebagai presiden. Topik ini pula yang menjadi poin vokal bagi AS dalam strateginya yang dikenal dengan Asia’s Rebalancing.

Obama secara terang-terangan menyampaikan penolakan terhadap klaim Cina atas wilayah perairan itu. Cina membalas penolakan Obama itu dengan mengatakan bahwa wilayah sengketa itu masuk dalam kedaulatannya.

Menanggapi hal itu, pada Januari lalu, AS mengerahkan satu kapal perangnya dalam radius 12 mil laut dari Kepulauan Paracel. Cina mengklaim wilayah itu masuk dalam kedaulatannya. Sementara Washington menyebut wilayah itu masuk perairan internasional.

Keberadaan kapal perang AS itu ternyata tidak membuat nyali Cina ciut. Cina balas menantang dengan menempatkan sistem pertahanan udara di Pulau Woody. Cina juga mengerahkan jet tempur J-11 dan J-7 di pulau yang menjadi sengketa itu. Lembaga Asian Maritime Transparency Initiative (CSIS) merilis foto-foto pembangunan sistem radar di Laut Cina Selatan.

Melihat gelagat Cina yang makin agresif, komandan senior Angkatan Laut AS Laksamana Madya Joseph Aucoin dalam lawatannya ke Australia Februari lalu, meminta bantuan kepada sekutunya. AS minta Australia dan negara-negara lain untuk melayarkan kapal perang ke dekat pulau-pulau sengketa di Laut Cina Selatan. Tujuannya untuk membuat salah satu jalur pelayaran tersibuk dunia itu agar menjadi tetap terbuka.

"Yang ingin kami upayakan adalah menjamin semua negara, terlepas dari ukuran dan kekuatannya, bisa mengejar kepentingan mereka berdasarkan undang-undang kelautan yang seharusnya tidak diancam oleh sejumlah tindakan," jelas Joseph Aucoin, seperti dikutip bbc.

Pada Maret lalu, AS kembali mengirimkan kapak induk USS John Stennis, dua kapal perusak, dan dua kapal pengawal ke Laut Cina Selatan. Cina pun kesal dibuatnya.

“Kami menilai langkah AS mengirim kapal perang dan pesawat tempur di dekat kepulauan Spratly dan sejumlah karang sebagai bentuk unjuk kekuatan bukan hal yang baik,” kata juru bicara Kongres Nasional Cina Fu Ying, seperti dikutip The Straits Times Maret lalu. “Langkah AS ini memunculkan rasa muak di kalangan rakyat Cina. AS terus melakukan hal yang memicu ketegangan sehingga memunculkan pertanyaan terkait motif mereka.”

Hingga Mei, AS masih mengerahkan kapal perang Angkatan Laut AS ke pulau karang Fiery Cross Reef yang disengketakan. Tak tinggal diam, Cina mengerahkan dua jet tempur dan tiga kapal perang untuk membayang-bayangi kapal perang AS tersebut dan menyuruhnya untuk meninggalkan wilayah itu.

Juru bicara Departemen Pertahanan AS Bill Urban mengatakan, kapal perang yang berlayar di area 12 mil laut kawasan sengkerta Fiery Cross Reef yang dikuasai Cina itu merupakan operasi kebebasan navigasi. Hal itu dilakukan untuk “menantang klaim-klaim maritim berlebihan” yang membatasi hak-hak navigasi di Laut Cina Selatan, demikian independent.

Beberapa bulan terakhir pemerintah Cina meningkatkan pasukan militer serta armadanya di Laut Cina Selatan setelah membuat pulau-pulau buatan di perairan sengketa itu. Media Hong Kong, South China Morning Post (SCMP) melaporkan, Cina berencana untuk membangun sebuah pos, 230 kilometer (140 mil) di lepas pantai Filipina, di Laut Cina Selatan.

Rencana itu langsung dikecam AS melalui Menteri Pertahanannya Ashton Carter. Dalam sebuah forum di Singapura mengatakan bahwa AS dan negara lainnya akan bertindak jika Cina membangun pos baru di kawasan Laut Cina Selatan.

“Saya berharap bahwa perkembangan ini tidak terjadi karena akan mengakibatkan tindakan yang diambil baik oleh Amerika Serikat dan oleh pihak lain di wilyah yang akan memiliki efek tidak hanya meningkatkan ketegangan tetapi juga mengisolasi Cina,” kata Carter.

Kepentingan di Laut Cina Selatan

Bukan tanpa alasan AS melibatkan diri di Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan punya nilai ekonomis, politis, dan strategis. AS ingin agar lalulintas perdagangan dan jalur komunikasi, yang jadi prinsip kebebasan pelayaran, terjamin di wilayah laut yang penting itu. Bagi AS, klaim yang dilakukan dapat mengganggu salah satu jalur perdagangan paling “gemuk” di dunia itu.

Menurut US Energy Information Agency (EIA) peranan Laut Cina Selatan sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia. Hampir sepertiga dari minyak mentah dunia dan lebih dari setengah gas alam cair global (LNG) melewati Laut Cina Selatan setiap tahun.

Laut Cina Selatan juga merupakan salah satu jalur perdagangan bagi negara anggota ASEAN dan negara Asia Timur lainnya seperti Cina. Comtrade mencatat total ekspor dan impor Cina-ASEAN mencapai lebih dari 468 miliar dolar AS pada 2015. Sedangkan perdagangan Cina dengan Indonesia sendiri mencapai 54 miliar dolar AS yang tentunya juga melewati Laut Cina Selatan.

Tidak hanya sebagai jalur perdagangan penting dunia, Laut Cina Selatan juga kaya sumber daya alam. EIA memperkirakan terdapat sekitar 11 miliar barel minyak mentah dan 190 triliun kubik gas ada di wilayah sengketa itu.

Vietnam, Malaysia dan Brunei memiliki sejarah panjang perkembangan di Laut Cina Selatan. Negara-negara tersebut telah berinvestasi dalam teknologi lepas pantai, jaringan pipa dan pengeboran minyak. Akibatnya negara-negara tersebut memiliki cadangan minyak dan gas tertinggi.

ASEAN di Antara Dua Kekuatan

Konflik Laut Cina Selatan bagaimanapun telah menyeret Brunei, Filipina, Vietnam, Malaysia,Taiwan dan termasuk Indonesia yang notebene anggota ASEAN. Lantas, bagaimana dengan strategi negara-negara ASEAN di antara dua kekuatan besar itu?

Peneliti senior Hubungan Internasional, I Nyoman Sudira dalam jurnalnya yang berjudul “Konflik Laut Cina Selatan dan Politik Luar Negeri Indonesia ke Amerika dan Eropa” (2014) mengatakan, apabila Cina tidak menjaga sikap arogansinya, maka akan melahirkan bumerang. Hal ini tentu saja nantinya akan sangat merugikan. Negara manapun yang terlibat dalam Konflik Laut Cina Selatan selama merasakan adanya ancaman dari Cina pasti akan mencari payung keamanan dan pilihan mereka adalah Amerika.

Pernyataan Sudira bisa jadi benar. Negara ASEAN yang terdesak tentunya meminta bantuan AS. AS bisa memanfaatkan itu untuk memperkuat kerja samanya dengan negara ASEAN serta untuk meningkatkan pasokan senjatanya.

Misalnya dengan Vietnam. Setelah hubungan keduanya tidak harmonis dalam 50 tahun terakhir, kini Washington dan Hanoi makin mesra. Hal itu dipertegas dengan dicabutnya embargo senjata yang dijatuhkan oleh AS kepada Vietnam.

Pencabutan embargo tersebut merupakan lampu hijau bagi Vietnam agar dapat memasok senjata dari negeri Paman Sam itu. Tentunya itu bukan tanpa alasan, sebab sebelumnya Vietnam lebih banyak membeli senjata dari Rusia. Vietnam merupakan negara ASEAN yang paling banyak membeli kelengkapan militer dari Rusia. Pada 2015, Vietnam mengeluarkan 812 juta dolar AS untuk membeli peralatan militernya dari Rusia.

Selain Vietnam, AS juga memiliki kedekatan dengan Filipina. Tak tanggung-tanggung Filipina menawarkan delapan pangkalan baru bagi AS sebagai tempat untuk membangun fasilitas militer AS dalam menghadapi arogansi Cina di Laut Cina Selatan.

”Kami ingin meminta tambahan dukungan dari AS agar kami mampu memiliki posisi yang lebih kuat dalam mempertahankan posisi kami yang menjunjung tinggi aturan hukum untuk isu Laut China Selatan, Kami berharap mendapatkan dukungan yang lebih substantif,” kata Sekretaris Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario, dikutip The Manila Times April tahun lalu.

Sementara Malaysia agak berbeda. Negara ini memilih menggandeng Australia. Hal itu terlihat dari pertemuan Menteri Pertahanan Malaysia dengan Menteri Luar Negeri Australia pada Maret lalu yang membahas ekspansi Cina di Laut Cina Selatan. Selain itu, Malaysia meminta dukungan kepada negara ASEAN.

“Malaysia tidak bisa bertindak sendiri dalam menghentikan tindakan agresif. Kami membutuhkan dukungan dari negara-negara ASEAN lain, dan saya akan terus mencari dukungan,” kata Menteri Pertahanan Malaysia, seperti dikutip Asia Times Maret lalu.

Cina dan Amerika berjuang keras menunjukkan kekuatannya di Laut Cina Selatan. Sementara negara-negara ASEAN juga menggalang kekuatannya, baik dengan sumber dayanya sendiri maupun berkongsi dengan negara lain. Intinya sama: mencari kebenaran atas klaim di Laut Cina Selatan.

Baca juga artikel terkait HUKUM atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Hukum
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti