Menuju konten utama

Keoknya Tuan Tanah dalam Kontestasi Politik Flores

Dukungan politik untuk para tuan tanah di Nusa Tenggara Timur. Sebabnya? Politik uang. 

Keoknya Tuan Tanah dalam Kontestasi Politik Flores
Avatar Emilianus Yakob Sese Tolo. tirto.id/Sabit

tirto.id -

Pada 2019, pemilihan umum (pemilu) di Nagakeo menunjukkan perubahan budaya politik di Flores secara bertahap sebagai akibat dari perubahaan sistem kepemilikan tanah dan politik uang yang tumbuh subur dalam satu dekade terakhir. Pada 2019, tak sedikit tuan tanah —yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) di parlemen lokal— gagal lolos. Mauritzius Meze (PKB) dan Faustinus Ngebu (PDIP), misalnya, adalah tuan tanah yang disegani di kecamatan Boawae, yang kalah di percobaan pertama mereka untuk masuk gelanggang parlemen kabupaten Nagekeo. Di Mbay, beberapa tuan tanah —seperti Florianus Papu dan Arnoldus Ju Wea yang merupakan petahana, dan Kalis Amekare— juga gagal meraih kursi parlemen Nagekeo. Padahal, pada 2014, 12 tuan tanah sukses memenangkan kursi di parlemen Nagakeo. Sebaliknya, hanya delapan tuan tanah yang terpilih pada 2019—dan beberapa dari mereka adalah petahana turut memainkan politik uang selama kampanye. Walhasil, dari 25 anggota DPRD terpilih di Nagekeo pada April lalu, terdapat 15 wajah baru.

Para tuan tanah jelas terkejut atas kekalahan mereka dan beberapa bereaksi dengan amarah. Di kecamatan Boawae, empat hari setelah mengetahui kekalahannya, seorang tuan tanah yang dihormati merebut kembali tanah yang telah diberikan leluhurnya kepada gereja Katolik pada 1950-an untuk mendirikan sekolah dasar. Lapangan sepak bola dan taman sekolah dipagari dan lebih dari dua puluh pohon pisang ditanam di lapangan sepakbola itu. Sementara di Mbay, tak sampai seminggu setelah pemilihan, para kerabat dari seorang tuan tanah yang kalah menutup dua jalan umum dengan sepuluh truk berisi tanah dan batu. Selain itu, seorang tuan tanah lain yang kalah di Mbay melarang sebuah keluarga untuk menguburkan kerabat mereka di pemakaman umum—yang berlokasi di tanah keluarga sang tuan tanah akibat perbedaan pilihan politik dalam konstelasi politik lokal Nagekeo di Pemilu 2019. Di Maunori, seorang tuan tanah dan kerabatnya menutup akses warga setempat terhadap air bersih. Beberapa minggu setelah pemilihan, seorang tuan tanah lain yang gagal di Nagekeo mengusir beberapa penggarap yang dianggap berkhianat karena mencoblos kandidat lain di bilik suara pada pemilu 2019.


Sumber kemarahan para tuan tanah di Flores bukan hanya karena mereka tersisih dari pertarungan politik lokal. Mereka menjadi murka karena mereka dikalahkan oleh “caleg pendatang,” yang sudah mempermalukan mereka di hadapan konstituen, terutama para penggarap dan pendatang. Thomas Mega Maso dari Nasdem—seorang kontraktor lokal dan caleg dari Boawae—memenangkan kursi di DPRD dari dapil Mbay. Di Boawae, sementara itu, tuan tanah Mauritzius Meze dikalahkan oleh Lukas Y.M.P. Boleng, seorang pengusaha dan kontraktor lokal yang ayahnya berasal dari Flores Timur. Lukas, caleg dari Nasdem, bahkan mendapatkan jumlah suara terbanyak di Boawae sehingga punya peluang besar untuk menjadi wakil ketua DPRD Nagekeo karena Nasdem memperoleh suara terbanyak kedua di dapil itu.

Kekalahan sejumlah tuan tanah terkemuka dalam pemilihan lokal di tangan “caleg pendatang” dalam pemilu 2019 menunjukkan pergeseran halus di mata para pemilih di Flores. Pergeseran tersebut memiliki beragam penyebab dan implikasi: terkikisnya feodalisme yang sekaligus meningkatkan prevalensi politik uang di Flores.

Apa yang mendorong pemilih, terutama penggarap dan migran, untuk tidak memilih tuan tanah dalam pemilihan 2019 di Flores? Dan apa artinya perubahan sikap ini bagi politik lokal di Indonesia?

Politik Uang

Peningkatan jumlah proyek infrastruktur, terutama selama periode pertama pemerintahan Jokowi, telah berkontribusi pada pertumbuhan orang kaya baru di Flores. Mulai dari kontraktor lokal, birokrat, politisi hingga pengusaha. Apalagi, proyek infrastruktur pemerintah rentan korupsi dan karena itu pembangunan infrastruktur membuat kantong-kantong para birokrat senior dan politisi semakin gemuk. Birokrat senior dapat mencatut paling tidak 10% dari anggaran proyek infrastruktur yang ditangani oleh seorang kontraktor. Setali tiga uang, politisi juga bisa mencatut dana proyek karena memiliki otoritas atas pengalokasian proyek-proyek kepada orang tertentu. Seorang pejabat partai lokal di Flores mengungkapkan kepada saya bahwa "ketua DPRD kabupaten rata-rata mendapat 50 proyek, wakilnya 30 proyek, dan anggota DPRD yang lain 15-17 proyek." Dalam setiap proyek, katanya, kontraktor harus membayar 10% dari nilai total proyek kepada politisi untuk memastikan penawaran mereka menang selama proses tender.

Orang-orang kaya baru kerap berkompetisi untuk meraih posisi politik di parlemen lokal dalam setiap pemilu di Flores. Persaingan dalam pemilu tak jarang melibatkan politik uang demi memuluskan langkah mereka ke parlemen sehingga efektif mendepak elit-elit politik lama di Flores, terutama yang berasal dari kalangan tuan tanah. Tak hanya di Flores, politik uang adalah praktik yang jamak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.

Namun, para tuan tanah di Flores jarang melibatkan politik uang, terutama di desa mereka sendiri karena pada pemilu-pemilu terdahulu mereka bisa memenangi kursi di parlemen lokal hanya dengan mengandalkan otoritas tradional. Apalagi, walau menguasai tanah lebih besar dan luas dibandingkan rata-rata penduduk desa yang lain, para tuan tanah bukanlah kelompok sosial yang bergelimang uang di pedesaan. Sebab, para tuan tanah di Flores cenderung tidak secara aktif menggunakan tanah untuk mengakumulasi kekayaan seperti kelas kapitalis. Sebagian besar penggarap yang pada umumnya adalah migran atau sesama anggota klan dari para tuan tanah diperbolehkan menggarap tanah dengan bayaran yang sangat rendah dalam sistem lokal yang disebut fedho. Dalam sistem fedho, para penggarap membayar kepada tuan tanah berupa pemberian seekor kerbauyang diberikan kepada pemilik tanah setiap 15-20 tahun agar bisa menggarap satu atau dua hektar lahan tanah. Namun, tidak jarang penggarap menggarap tanah tanah itu tanpa membayar apapun, kecuali sumbangan untuk ritual dan upacara adat di desa.


Sebaliknya, para caleg dari kelompok orang kaya baru di Flores membagi-bagikan uang tunai dan sogokan materiil lainnya kepada calon pemilihnya. Jumlah uang yang dibagikan bisa mencapai Rp250.000 hingga Rp300.000 per kepala—jauh lebih besar dibandingkan pemilu-pemilu terdahulu yang berkisar antara Rp50.000 hingga Rp200.000. Di wilayah miskin seperti Flores, uang ratusan ribu rupiah sangat berarti. Seorang kepala keluarga, contohnya, dapat membeli 20kg beras untuk makan sekeluarga selama dua minggu. Politik uang bisa pula berupa pemberian barang, seperti kalender, pakaian, jam dinding dan barang-barang lain yang lebih mahal. Seorang pengusaha lokal yang berbisnis peti mati dan air bersih biasa memberikan barang dagangannya secara cuma-cuma kepada calon konstituennya beberapa bulan bahkan tahun sebelum pemilu.

Sebagaimana jamak terjadi di Flores, seorang caleg yang ingin memenangi pertarungan elektoral harus menawarkan bukan saja visi dan misi yang baik, tetapi juga gizi yang baik selama kampanye-kampanye politik mereka. Para caleg menyembelih hewan seperti babi, kerbau, domba dan sapi untuk memobilisasi massa selama masa kampanye. Di Nagekeo, wilayah dengan tingkat stunting (39,8%) pada 2018 melebih angka rata-rata nasional (29,6%), masa kampanye kerap dijuluki sebagai masa untuk perbaikan gizi masyarakat.

Sertifikasi Tanah

Kemerosotan popularitas tuan tanah di politik elektoral Flores adalah akibat langsung dari kebijakan agraria Presiden Jokowi. Sejak 2014, akselerasi proses sertifikasi tanah telah menjadi salah satu program prioritas pemerintahan Jokowi di seluruh Indonesia, termasuk Flores.Melalui program nasional seperti Proyek Operasi Agraria Nasional (PRONA), Jokowi berencana menerbitkan 21 juta sertifikat tanah baru kepada petani dalam kurun waktu 2017 hingga 2019. Dalam konteks Flores, PRONA telah membantu masyarakat miskin untuk bisa mensertifikasikan tanah mereka secara gratis walaupun memiliki dampak negatif lainnya seperti meningkatkan konflik dan komodifikasi tanah.

Walaupun di masa lalu orang-orang Flores enggan mensertifikatkan tanah untuk menghindari pajak, kini mereka mulai aktif bernegosiasi dengan tuan tanah—yang dapat memberi izin untuk kepemilikan individual atas tanah melalui proses sertifikasi—dan mendorong pemerintah lokal untuk mensertifikasi tanah mereka. Gereja Katolik di Flores pun turut aktif berpartisipasi. Uskup Agung Ende, Vincetius Sensi Potokota, telah mengirim beberapa imamnya dari Ende untuk mensertifikatkan semua tanah gereja di seluruh penjuru Flores, terutama tanah-tanah yang telah diserahkan tuan tanah setempat untuk pembangunan gereja dan sekolah di masa lampau. Pada perayaan ekaristi hari Minggu di Boawae sepanjang Juni 2019, seorang imam—yang sengaja datang dari Ende untuk mensertifikasi tanah gereja—menyerukan kepada umat Katolik di Boawae untuk mengurus sertifikasi tanah. Menurutnya, sertifikasi tanah “akan sangat berguna dalam 50 tahun mendatang bagi generasi mendatang” saat berhadapan dengan tuan tanah.

Namun, antusiasme publik atas program sertifikasi tanah harus berhadapan dengan perlawanan para tuan tanah terhadap program sertifikasi tanah yang sedang diimplementasikan di tanah kolektif mereka. Sebelum pemilu 2019, kampanye program sertifikasi tanah di Flores ditentang sejumlah tuan tanah setempat. Di Lape, misalnya, para tuan tanah mengirim surat ke kantor cabang Badan Pertanahan Nasional (BPN), menuntut program sertifikasi tanah dihentikan. Seorang migran dari Mbay mengatakan kepada saya: “kami sangat marah dengan tuan tanah yang tidak mengizinkan kami menyertifikasi tanah tempat tinggal kami. Padahal kami telah berdomisili di sini selama hampir 40 tahun.”

Dengan sertifikat tanah di tangan, masyarakat Flores, termasuk “pendatang” dan “penggarap,” sudah menentang otoritas tuan tanah, termasuk saat berada di bilik suara. Kepemilkan tanah bersertifikat akan memberikan otonomi lebih besar untuk mengambil keputusan-keputusan politik tanpa perlu takut bila pemilik tanah mereka tidak memenangkan pertarungan elektoral seperti pada pemilu-pemilu terdahulu. Dengan program sertifikasi tanah pemerintah dan inisiatif akar rumput yang aktif dalam menyukseskan program sertifikasi tanah, dominasi kelas tuan tanah dalam politik lokal di Flores akan semakin tergerus, kecuali jika mereka turut terlibat permainan politik uang.

Pertanda Baik atau Buruk?

Dalam pemilu 2019, tampak jelas bagaimana dinamika ekonomi politik —sebagaimana yang yang sudah saya jelaskan di muka— semakin liat menentukan hasil kontestasi pemilu lokal di Flores. Ketika tanah di Flores menjadi lebih produktif berkat ketersediaan peralatan pertanian modern, tuan tanah tentu kian berat hati menyerahkan tanah kolektif untuk kepemilikan individual yang sah melalui kepemilikan sertifikasi tanah. Mereka berupaya untuk mempertahankan politik patronase yang sudah sejak lama dibangun melalui penguasaan tanah. Di sisi lain, warga miskin dan migran berjuang mendapatkan sertifikat tanah dari pemerintah supaya terbebas dari politik patronase ini.

Infografik Tuan Tanah Politik Flores

Infografik Tuan Tanah Politik Flores. tirto.id/Quita


Sekilas, melemahnya kekuatan tuan tanah dalam ekonomi politik Flores adalah sebuah pencapaian demokratis yang positif. Walau tidak secara terbuka menghadapi reaksi negatif kelas tuan tanah setelah kalah dalam pemilihan, masyarakat Flores justru memendam kemarahan yang lebih dalam. Beberapa orang yang saya ajak bicara mengatakan bahwa mereka tidak akan memilih caleg dari kelas tuan tanah pada pemilu mendatang, sebab, mereka, seperti kubu Prabowo, tidak bersikap demokratis dalam menanggapi kekalahan mereka.

Namun, sulit untuk mengabaikan ancaman dari praktik politik uang yang makin marak terhadap demokrasi lokal di Flores pada tahun-tahun mendatang. Eskalasi praktik politik uang hanya akan membuat berbagai bidang politik didominasi oleh mereka yang memiliki modal uang, serentak menutup pintu bagi orang biasa yang memiliki kapabalitas personal tetapi miskin secara materiil. Kondisi tersebut dapat menginspirasi kelas tuan tanah untuk terlibat dalam politik uang dengan cara merasionalisasi penggunaan tanah supaya memperoleh keuntungan ekonomi sehingga akan mengorbankan para pengarap dan migran.

Jadi, jika rakyat Flores ingin menjadi makmur di bawah demokrasi elektoral, perlu ada mekanisme untuk menantang budaya politik uang yang berkembang sambil mempertahankan budaya kolektivitas—tanpa feodalisme—di Flores. Reformasi berupa pembagian sertifikat tanah (yang secara luas disalahpahami sebagai reforma agraria tidak dapat menyelesaikan masalah pokok terkait ketidaksetaraan dalam kepemilikan tanah di Flores. Sebab, sebagian besar tanah di Flores masih dikuasai oleh tuan tanah. Pemerintah dan warga Flores perlu berfokus pada perbaikan relasi kuasa yang beroperasi dalam masyarakat agraris lokal dengan memperkenalkan kebijakan progresif sembari terus memperkuat kapasitas birokrasi, aparatur negara dan masyarakat sipil untuk melawan politik uang dan korupsi.


======


Sebelum diterjemahkan oleh Levriana Yustriani, tulisan ini terbit dalam bahasa Inggris di New Mandala dengan judul "Voting out the landlords in Flores". Penulisnya, Emilianus Yakob Sese Tolo, adalah peneliti untuk isu perubahan agraria, migrasi, dan desentralisasi. Selama Pemilu 2019, ia menjadi New Mandala Indonesia Correspondent Fellow yang menulis isu seputar pembangunan di Indonesia Timur.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.