tirto.id - “Saya bangga dapat bergabung dengan salah satu klub sepakbola terbaik. Arsenal dikenal dan dicintai di seluruh dunia karena gaya permainannya, berkomitmen terhadap pemain muda, stadion yang fantastis, serta bagaimana cara klub ini bekerja. Saya sangat bersemangat diberi tanggung jawab untuk memulai bab baru dalam sejarah Arsenal.”
Demikian pernyataan Unay Emery di laman resmi Arsenal setelah diumumkan sebagai kepala pelatih The Gunners, Rabu (23/05/2018).
Sejak Arsene Wenger menyatakan mundur di akhir musim, gosip mengenai siapa penggantinya tak pernah berhenti berseliweran. Carlo Ancelotti, Luis Enrique, Joachim Loew, Diego Simeone, Mikel Arteta, hingga dua legenda The Gunners, Dennis Bergkamp dan Patrick Viera adalah nama-nama yang ikut di dalam putaran gosip tersebut. Khusus Vieira, Wenger bahkan sudah memberi testimoni khusus.
Menggantikan Wenger jelas bukan pekerjaan gampang bagi siapapun, termasuk Emery. Sepanjang 22 tahun kariernya bersama Arsenal, publik akan mengenang Wenger tak hanya sebagai manajer handal, tetapi juga seorang revolusioner yang berhasil memberi warna baru dalam gaya permainan sepakbola di Britania Raya. Belum lagi keberhasilannya dalam menyusun sistem finansial The Gunners.
Tapi pelatih dengan nama lengkap Unai Emery Etxegoien tersebut juga tak bisa dianggap recehan. Kesuksesannya meraih tiga gelar Liga Europa secara beruntun (2013–14, 2014–15, 2015–16), dilanjutkan menyabet tujuh trofi lokal bersama Paris Saint German sepanjang dua musim, membuat nama Emery cukup disegani saat ini.
Tapi mengapa Emery berstatus atau ditunjuk Arsenal “hanya” sebagai head coach, kepala pelatih, bukan sebagai manajer sebagaimana Wenger? Sekilas perbedaan ini tak memiliki masalah apapun. Namun di Inggris persoalan ini tak dapat dipecahkan hanya dengan melihat kamus saja.
Melihat Perbedaan Kepala Pelatih dan Manajer
Pada September 2013, Paolo di Canio dipecat dari Sunderland setelah bertugas hanya dalam 13 pertandingan. Setahun setelah pemecatan tersebut, pelatih berkebangsaan Italia yang juga bekas bintang West Ham United itu masih merasa tak terima. Ia pun memberikan komentar pedas:
“Kesalahan besar saya adalah menerima pekerjaan begitu saja. Sekadar meluruskan, dari 14 pemain yang didatangkan Sunderland pada musim panas, tidak ada satu pun pilihan saya. Roberto De Fanti dan Valentino Angeloni adalah dua orang yang bertanggung jawab untuk kesalahan tersebut, dengan dukungan maksimal dari chairman, Ellis Short. Tapi saya tidak membawa satu pemain pun. Saya meminta mereka untuk mendatangkan 80 persen pemain Inggris.”
Jika saja Di Canio berkedudukan sebagai manajer, dan tak hanya kepala kepala, mungkin ceritanya akan akan lain. Dalam situasi yang berbeda, Mauricio Pochettino juga pernah menjelaskan apa perbedaan dasar antara pelatih dengan manajer.
“Musim lalu saya adalah kepala pelatih, sekarang saya manajer. Hanya klub yang dapat memberi status tersebut, tapi pada akhirnya pekerjaannya sama saja,” ujar Pochettino, tak lama setelah kontraknya bersama The Lilywhites diperpanjang dua tahun.
“Ketika saya menjadi kepala pelatih, saya terlibat dalam segala aspek di klub dan sekarang juga sama--hanya saja klub ingin memberi saya gelar sebagai manajer. Benar bahwa kata ‘manajer’ memiliki banyak perbedaan dengan kepala pelatih. Jika Anda manajer, Anda memutuskan banyak hal tentang kesebelasan. Tapi jika Anda seorang kepala pelatih, tanggung jawab Anda adalah untuk bermain lebih baik, mencoba meningkatkan performa pemain, serta berusaha mendapatkan hasil yang positif.”
Istilah manajer untuk seseorang yang “melatih” sebuah tim sepakbola memang hanya lazim digunakan di Inggris. Dalam praktiknya, manajer seperti memiliki tugas ganda. Ia tak hanya mengurus tim an sich (melatih skuat atau merumuskan taktik), tetapi juga memantau pemain mana yang sebaiknya didatangkan, hingga turut merancang strategi marketing, dan ikut memikirkan kondisi keuangan klub. Dengan tugas ganda tersebut, maka manajer pun memiliki privilese penuh dalam departemennya.
Sir Alex Ferguson adalah contoh terbaik melihat peran manajer di sebuah klub. Dalam soal pemilihan pemain, misalnya, Sir Alex diberi kebebasan mendatangkan siapapun, sejauh harga transfernya masih masuk akal. Kendati kemudian beberapa pemain pilihannya kelak bermain buruk (Eric Djemba-Djemba, Juan Sebastian, atau Bebe), hal tersebut tetap menunjukkan bagaimana bentuk hak prerogatif seorang manajer klub.
Domain seorang manajer dapat menjadi luas dalam kondisi tertentu, terutama seiring dengan lamanya ia bertahan di sebuah klub. Sir Alex kembali menjadi contoh yang tepat mengenai hal ini. Melalui tabiatnya yang tempramental, Sir Alex menciptakan sebuah kultur disiplin di Manchester United lewat ‘hairdryer treatment’ yang musykil ditemui di klub lain. Siapa saja pemain yang berseberangan dengan sikapnya, harus siap angkat koper dari Old Trafford.
Contoh lain seorang manajer sepakbola yang inspiratif tentu saja Arsene Wenger. Sejak awal menangani Arsenal pada musim 1996-1997, ia merumuskan pola kerja yang jauh dari stereotipe seorang pelatih klub. Di bursa pemain, Wenger membuat jejaring pemain-pemain Prancis — yang kelak disebut sebagai 'The French Connection'. Sementara dalam hal finansial, ia pun turut merumuskan 'adjustment program' dan selalu berhasil menghindarkan Arsenal dari efek gila kapitalisasi sepakbola.
Sedangkan seorang kepala pelatih, jika dianalogikan dengan pelajar, “sekadar" bertanggungjawab pada apa yang dilakukannya di sekolah. Namun jika urusan di luar sekolah, orang tuanya yang mendiktekan apa yang mesti ia lakukan.
Peran seorang kepala pelatih adalah memimpin departemen kepelatihan dengan gol utama memastikan klubnya tampil apik. Tugasnya antara lain meliputi: menyusun tim pelatih, memilih pemain, merancang tim utama, mengatur pola latihan, termasuk mendesain strategi, hingga urusan taktikal di lapangan.
di fra
Di Canio pernah menjelaskan seorang kepala pelatih tidak dapat menunjuk pemain manasuka untuk didatangkan ke klub. Tentu ia masih berhak merekomendasikan pilihannya, tetapi keputusan terakhir berada di bawah kendali manajemen klub, dengan direktur teknis sebagai penanggung jawabnya atau dalam bahasa Inggris disebut: “football managing director”.
Dari sinilah muncul sosok-sosok direktur teknis yang andal dan menentukan keberhasilan sebuah klub. Di Italia, ada Luciano Moggi. Di Juventus, Moggi kerap sukses mendatangkan pemain-pemain ternama dengan harga minim. Kendati kemudian ia harus dijebloskan ke penjara karena skandal Calciopoli, nama Moggi sudah kadung kesohor sebagai salah satu transfer guru legendaris. Sementara di Inggris, nama Peter Kenyon adalah salah satu negosiator handal di bursa transfer.
Peluang Unai Emery di Arsenal
Dengan menihilkan tugas-tugas dalam bursa transfer, seorang pelatih (semestinya) diuntungkan karena ia “hanya” fokus membangun tim. Namun, dalam derajat tertentu, hal tersebut dapat pula dianggap sebagai argumen apologetik yang klise dari pihak klub untuk mereduksi hak pelatih. Lihatlah Di Canio, ia didepak akibat sistem yang dibentuk tidak sesuai keinginannya.
Di lain sisi, cakupan kewenangan yang lebih luas membuat kewajiban seorang manajer jadi lebih berat. Makin rumit terutama jika harus menggantikan manajer terdahulu yang memiliki rekam jejak gemilang selama bertahun-tahun. Kegagalan David Moyes bersama United dapat menjadi contoh teraktual mengenai hal tersebut.
Moyes didatangkan dari Everton berkat rekomendasi Sir Alex. Ia dikontrak selama enam tahun tapi hanya bekerja selama 10 bulan di Old Trafford setelah dipecat karena hanya mampu membawa United mengakhiri kompetisi di peringkat tujuh dan tereliminasi di perempat-final Liga Champions.
Banyak jadi penyebab kegagalan Moyes. Pelitnya manajemen mendatangkan pemain-pemain baru (Moyes hanya membawa Marouane Fellaini dari Everton), konfliknya dengan Robin van Persie dan Wayne Rooney, hingga ketaksiapannya secara mental untuk Sir Alex. Selain itu, pemahaman Moyes dalam menangani sistem manajerial tim sebesar United juga menjadi salah satu faktor.
Arsenal bisa jadi telah berkaca dengan kegagalan Moyes di United sehingga tidak menjadikan Emery sebagai manajer. Patut diingat pula, ia melatih PSG dengan sokongan dana yang melimpah, termasuk mendatangkan Neymar dengan nilai transfer termahal sejagat: 222 juta euro atau 3,5 triliun rupiah. Namun demikian, terlepas dari beberapa trofi lokal yang ia raih, kinerja Emery jelas masih jauh panggang dari api.
Seorang pandit ESPN, Alejandro Moreno, memberikan penilaian:
“Alasan saya tidak menyukainya (melatih Arsenal) adalah karena ia gagal di PSG. Ketika dia datang ke PSG, dia seharusnya membawa tim ini ke tingkat yang berbeda. Dia berkali-kali diberi pemain sumber daya tak terbatas, tapi tak mampu berbuat apa-apa di Liga Champions, bahkan hingga PSG tekor.
Salah satu hal yang mengkhawatirkan tentang Emery adalah ia mengurus Neymar dengan cara yang salah, ia kurang memperlihatkan sikap kepemimpinan, dan juga cara klub menangani persoalan tersebut.”
Sementara itu, penilaian berbeda datang dari Frederic Hermel, jurnalis olahraga L'Equipe. “Di Prancis (PSG), salah satu masalah terbesarnya adalah dia menolak menggunakan jasa penerjemah di dalam ruang ganti dan memilih berbicara dengan bahasa Prancis. Tapi bahasa Prancisnya sungguh buruk sehingga komunikasi menjadi tidak jelas. Mungkin kini akan lebih baik jika dia menggunakan penerjemah karena dia juga tidak dapat berbahasa Inggris."
Editor: Zen RS