tirto.id - Skrining atau uji saring pada bayi baru lahir (Neonatal Screening) dinilai penting untuk dilakukan guna memastikan adanya gangguan/kelainan bawaan pada anak atau tidak. Tujuannya agar jika ada gangguan atau kelainan pada bayi sejak awal kelahiran, bisa dideteksi dan diantisipasi sedini mungkin.
Skrining bayi baru lahir, salah satunya untuk mengantisipasi kasus Hipotiroid Kongenital. Deteksi dini dan pengobatan guna mengatasi gangguan ini idealnya dilakukan sebelum bayi berusia 1-3 bulan.
Sebab, gangguan Hipotiroid Kongenital sulit diketahui secara kasat mata pada bayi berusia 1-3 bulan. Dampak gangguan ini umumnya baru terlihat secara jelas ketika bayi berusia sekitar 1 tahun. Hal ini sesuai dengan penjelasan eks Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Dr. Budihardja, di artikel yang dilansir laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Menurut Budiharja, seringkali kasus Hipotiroid Kongenital baru dikenali setelah timbul gejala khas dan sudah terjadi dampak permanen. Akibatnya sejumlah bayi mengalami gangguan pertumbuhan (cebol) hingga mengalami keterbalakangan mental (retardasi).
Oleh karena itu, kampanye soal pentingnya deteksi dini Hipotiroid Kongenital sebelum bayi berusia 2 bulan dilakukan organisasi profesi dan Kemenkes sejak 2009. Kampanye itu dilakukan Kelompok Kerja Program Skrining Bayi Baru Lahir (Pojoknas Skrining BBL).
Jenis-jenis Skrining Bayi Baru Lahir dan Prosesnya
Tujuan utama skrining terhadap bayi baru lahir adalah mendeteksi dan mengintervensi secara dini sejumlah gangguan sejak lahir agar tumbuh kembang anak optimal. Berdasar ulasan yang dilansir laman resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), terdapat sejumlah jenis skrining terhadap bayi baru lahir. Di antaranya sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
1. Skrining Hipotiroid Kongenital
Skrining jenis ini bertujuan untuk mendeteksi dini adanya gangguan Hipotiroid Kongenital pada bayi baru lahir. Deteksi dini penting karena gangguan Hipotiroid kongenital yang tidak diobati sejak awal bisa menyebabkan anak mengalami retardasi mental berat.
Adapun Hipotiroid adalah keadaan menurun atau tidak berfungsinya kelenjar tiroid. Bila terdapat sejak lahir, gangguan ini disebut Hipotiroid Kongenital. Kekurangan hormon tiroid pada bayi baru lahir bisa menghambat tumbuh kembang anak. Sebab, tiroid berfungsi mengatur metabolisme tubuh, kerja jantung, perkembangan susunan syaraf pusat (otak) dan produksi panas tubuh.
Kelenjar tiroid (kelenjar gondok) berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak di depan leher. Fungsi tiroid dikendalikan hormon TSH yang dibuat di kelenjar pada bagian otak. Jika kelenjar gondok tak berfungsi normal, hormon yang dihasilkan pun tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Akibatnya, kelenjar hipofisis di otak memproduksi lebih banyak TSH. Makanya, kadar TSH tinggi bisa menjadi pertanda Hipotiroid.
Sebagaimana penjelasan yang dirilis IDAI, penyebab Hipotiroid Kongenital pada bayi baru lahir ialah setidaknya tiga kondisi. Pertama, kelainan pada pembentukan kelenjar. Contoh: kelenjar tak terbentuk, kelenjar kecil, atau posisi kelenjar tidak pada tempatnya (ektopik). Kedua, gangguan pada pembuatan hormon tiroid. Ketiga, kekurangan iodium pada ibu hamil.
Umumnya (lebih dari 95 persen kasus), bayi terlihat normal pada minggu-minggu pertama setelah lahir karena mendapatkan hormon tiroid dari ibunya selama di kandungan. Akibatnya, Hipotiroid Kongenital baru terlihat jelas gejalanya beberapa bulan kemudian, atau ketika pengobatan sudah terlambat.
Sejumlah gejala Hipotiroid Kongenital yang tampak jelas adalah bayi kurang aktif dan malas menetek, mengalami kuning yang lama, tangan dan kaki kurang bergerak, lidah semakin besar sehingga minum kerap tersedak, perut buncit dengan pusar bodong, kulit kering dan burik, serta bayi mudah kedinginan.
Selain itu, saat anak dengan gangguan Hipotiroid Kongenital bertambah usia, tubuhnya pendek, punya wajah hipotiroid (sembab, bibir tebal, hidung pesek), mental terbelakang, IQ rendah, dan kesulitan bicara.
IDAI merekomendasikan Skrining Hipotiroid Kongenital idealnya dilakukan saat bayi berumur 48-72 jam. Apabila bayi mengalami gangguan tersebut, terapi dini sangat perlu dilakukan. Di kasus seperti itu, skrining Hipotiroid Kongenital perlu dilakukan secara rutin.
Proses skrining Hipotiroid Kongenital biasanya dilakukan dengan meneteskan sedikit darah bayi di atas kertas saring khusus yang kemudian dikeringkan dan dikirim ke laboratorium. Kemudian, di laboratorium, kadar hormon TSH diukur dan hasilnya bisa diketahui dalam waktu kurang dari satu minggu. Apabila hasil tes menunjukkan gejala tak normal, bayi akan diperiksa oleh Tim Konsultan Program Skrining Bayi Baru Lahir.
Metode pengobatan bayi yang menderita Hipotiroid Kongenital umumnya dengan memberikan pengganti hormon tiroid berupa tablet tiroksin yang bisa digerus dan dicampur dengan ASI atau air. Obat tiroksin mudah didapat dengan harga tidak mahal.
2. Skrining pendengaran bayi baru lahir
Di beberapa rumah sakit, skrining pendengaran bayi baru lahir sudah rutin dilakukan. Sebab, seringkali gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal. Selain itu, adanya periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara, yang dimulai pada 6 bulan pertama kehidupan dan berlanjut sampai usia 2 tahun. Bayi dengan gangguan pendengaran bawaan juga bisa punya kemampuan bicara secara normal apabila diintervensi sejak sebelum usia 6 bulan.
Sebenarnya terdapat sejumlah faktor risiko yang dapat diidentifikasi karena berpotensi memicu gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Faktor-faktor itu ialah: riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran, kelainan bawaan bentuk telinga dan kelainan tulang tengkorak-muka, dan infeksi janin ketika dalam kandungan (infeksi toksoplasmosis, rubella,sitomegalovirus, herpes).
Sejumlah faktor yang lain ialah sindrom tertentu seperti Sindrom Down, berat lahir bayi kurang dari 1500 gram, nilai Apgar rendah, perawatan di NICU, serta penggunaan obat-obat tertentu yang bersifat toksik terhadap saraf pendengaran.
Namun, sesuai catatan di ulasan yang dirilis IDAI, 50 persen bayi dengan gangguan pendengaran tidak dipengaruhi faktor-faktor risiko di atas. Oleh sebab itu, skrining pendengaran pada bayi baru lahir direkomendasikan. Skrining itu bisa menunjukkan ada atau tidaknya respons ke rangsangan dengan intensitas tertentu. Namun, tidak untuk mengukur beratnya gangguan maupun jenis tuli (konduktif atau saraf).
Sedangkan alat yang direkomendasikan untuk skrining pendengaran pada bayi adalah otoacoustic emissions (OAE) atau automated auditory brainstem response (AABR). Pemeriksaan dengan OAE dilakukan terhadap bayi baru lahir berusia 2 hari atau 0-28 hari.
2. Skrining penglihatan kepada bayi prematur
Bayi prematur sering mengalami kondisi Retinopathy of prematurity (ROP). Kondisi ini adalah salah satu penyebab kebutaan bayi di dunia, termasuk Indonesia. Oleh sebab itu, perlu dilakukan skrining pada bayi prematur untuk mendeteksi dini kondisi ROP. Tujuannya agar terapi terhadap bayi dengan kondisi ROP bisa dilakukan sejak dini guna mencegah terjadinya kebutaan.
Skrining ROP biasa dilakukan terhadap bayi dengan berat kurang dari 1500 gram dan lahir ketika usia kehamilan baru sekitar 34 minggu. Skrining juga perlu dilakukan terhadap bayi risiko tinggi. Misalnya, bayi yang mendapat fraksi oksigen tinggi, transfusi berulang, kelainan Jantung bawaan, infeksi/sepsis, gangguan napas, asfiksia, gangguan pertumbuhan janin di rahim dan perdarahan di otak (IVH).
Sementara waktu pemeriksaan untuk bayi dengan masa gestasi (umur kehamilan) kurang dari 30 pekan dilakukan pada 2-4 minggu setelah lahir. Kemudian, skrining terhadap bayi dengan masa gestasi lebih dari 30 minggu dilaksanakan pada 4 pekan setelah lahir.
Skrining penglihatan juga dilakukan ketika bayi tidak dapat memfiksasi dan mengikuti objek pada usia 3 bulan. Selain itu, skrining dilakukan pula terhadap bayi dengan riwayat katarak bawaan, retinoblastoma, penyakit metabolik dalam keluarga, serta juling.
Editor: Addi M Idhom