Menuju konten utama

Kenangan Fahri Hamzah: Ramadan Tanpa Listrik di Utan Sumbawa

Bagi Fahri Hamzah, beribadah di kampung dengan segala keterbatasan jauh lebih mudah menghadirkan kekhusyukan.

Kenangan Fahri Hamzah: Ramadan Tanpa Listrik di Utan Sumbawa
Fahri Hamzah. ANTARA FOTO/Zul Sikumbang

tirto.id - Utan hingga dekade 1980-an adalah sebuah kampung kecil yang sepi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pada masa itu, listrik masih merupakan fasilitas langka yang cuma bisa dinikmati oleh orang kota. Namun, dalam "zaman kegelapan" inilah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah justru merasakan kesan mendalam terhadap Ramadan.

“Kami sahur dengan cahaya kecil dari lampu minyak. Maka kesannya mendalam sekali,” kata Fahri.

Fahri lahir 10 Oktober 1971. Kedua orang tuanya H. Hamzah Ahmad dan Hj. Nurjannah ialah petani dan guru mengaji di kampung. Meski hidup dalam lingkungan religius, Fahri mengaku tidak pernah mendapat paksaan berpuasa dari orang tuanya. “Orang tua saya, bahkan kakek nenek saya tidak termasuk suka memaksakan ibadah kepada anak-anaknya. Mereka membiarkan kami berpuasa setengah hari waktu kecil,” ujar Fahri.

Kesadaran berpuasa sehari penuh muncul saat Fahri duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Kesadaran ini terus tumbuh hingga ia menjadi mahasiswa. Fahri tercatat pernah menempuh studi di Fakultas Pertanian Universitas Mataram pada 1990 hingga 1992.

Belum tuntas kuliah di sana, ia hijrah ke Jakarta dan mendaftar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) pada 1992. Di UI, Fahri menyibukkan diri sebagai aktivis masjid. Ia menjadi Ketua Umum Forum Studi Islam di fakultasnya, menjabat Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan di Senat Mahasiswa UI periode 1996-1997, juga membidani lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Malang.

“Begitu SMP, saya sudah berpuasa penuh dan mengikuti ritus-ritus yang padat selama bulan puasa. Sehingga sewaktu saya kuliah, apalagi menjadi aktivis masjid kampus, alhamdulillah kesadaran makna berpuasa, selain yang wajib, yang sunnah juga muncul,” katanya.

Seingat Fahri, listrik baru masuk ke Kabupaten Sumbawa saat ia SMP. Namun, meski relatif belum tersentuh, Fahri justru mengaku sangat mensyukuri hari-harinya berpuasa di Utan. Saat itu belum ada siaran televisi dan koran yang masuk ke kampungnya. Gajet berteknologi cerdas juga belum ada. Dalam arus informasi yang serba terbatas semacam itu, ceramah-ceramah keagamaan yang disampaikan para kiai dan ustaz di kampung terasa berbekas dan mengena. Ia menjadi pedoman hidup bagi pendengarnya. Menurut Fahri, ibadah relatif lebih khusyuk dulu ketimbang sekarang.

“Karena waktu itu kita belum banyak informasi. Tidak ada koran, tv, dan gajet. Sehingga kekuatan pesan dan kesan ceramah agama masih terdengar sampai sekarang dan masih menjadi pedoman sampai sekarang,” ujarnya. “Dulu seperti Ramadan manual. Kegiatan terselenggara seksama, tertib, sistematis, dan syahdu. Hari ini kita seperti Ramadan digital. Sepertinya memang meriah, tapi terkadang kekhusyukan susah didapatkan."

Fahri senang menghabiskan hari-hari Ramadan bersama teman-temannya. Di saat lapar dan dahaga karena berpuasa, mereka akan bermain di sungai, hutan, mengaji usai magrib, dan tarawih berjamaah. Ia mengenang suasana tarawih di kampung dahulu betul-betul semarak. Ceramah-ceramah agama pun meresap ke dalam ingatan.

Bagi politikus Partai Keadilan Sejahtera ini, berkumpul bersama keluarga menjelang berbuka, shalat tarawih, dan sahur menjadi momen paling berkesan saat Ramadan. Sambil menunggu bedug magrib, Fahri dan keluarga biasanya mendengarkan siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Makassar. Biasanya RRI memutar lagu-lagu Umm Kulthum, biduan legendaris Mesir. Selain itu, ada juga ceramah agama dari seorang ulama asal Padang—yang kemudian pindah ke Makassar—bernama Daeng Naba yang ternyata adalah bapak dari politikus Golkar Ibnu Munzir.

“Itu makanya kalau lagu [Umm Kulthum] diputar lagi sekarang, kadang-kadang saya merasa lapar karena lagu itu diputar menjelang buka puasa,” katanya.

infografik fahri hamzah

Makanan kesukaan Fahri saat berbuka puasa di Utan adalah sepat. Makanan khas Sumbawa yang terbuat dari ikan bakar yang dicelupkan dalam bumbu air daun mentah. Yang mengherankan, kata Fahri, meski di Sumbawa banyak hidup orang-orang dari Makassar, tapi ia tidak pernah menemui sepat di Makassar. “Ini hanya ada di Sumbawa. Tidak ada di seluruh dunia,” katanya.

Biasanya sepat dihidangkan bersama makanan manis seperti tai bembe. Tai bembe adalah masakan serupa kolak. Disebut demikian karena bentuknya dianggap mirip dengan kotoran kambing (embe). Selain tai bembe, ada batu kumang yakni kue berbentuk bulat yang terbuat dari telur, tepung terigu, garam, dan air gula. Disebut batu kumang karena rupanya dianggap mirip batu apung.

“Ramadan ini insyaallah saya akan berkunjung ke Sumbawa untuk berbuka puasa dengan keluarga di Sumbawa,” ujarnya.

Meski suasana Ramadan dahulu sudah tinggal kenangan bukan berarti hakikat dan makna puasa hilang sama sekali, Fahri percaya Ramadan dengan segala ritusnya tetap mampu menciptakan manusia yang bisa menghadirkan pesan damai dan cinta di dalam Islam. “Mudah-mudahan bulan suci ini bisa kita hayati dan cerna dengan baik,” katanya.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Humaniora
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Maulida Sri Handayani