tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) atau gaji ke-14 dan gaji ke-13 bagi aparatur negara, termasuk PNS, pada 23 Mei lalu.
Jumlah THR yang akan diberikan kepada aparatur negara akan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya, semenjak kebijakan gaji ke-14 berlaku sejak 2016. Ini karena sebelumnya THR untuk aparatur negara hanya mengacu pada gaji pokok, sementara tahun ini mencakup tunjangan-tunjangan. Selain itu, pada ini untuk kali pertama para pensiunan juga dapat THR.
Artinya, uang negara yang akan dialokasikan untuk membiayai THR aparatur negara tahun ini lebih besar. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan anggaran yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp35,76 triliun. Anggaran itu meningkat 68,9 persen dibanding 2017.
"Karena tahun lalu pensiunan tidak mendapatkan THR. Dan untuk tahun ini, THR-nya termasuk di dalamnya adalah gaji pokok sebesar Rp5,24 triliun. THR untuk tunjangan kinerja adalah sebesar Rp5,79 triliun," ungkap Sri Mulyani, seperti dikutip dari laman resmi Kemenkeu.
Menaikkan Popularitas Jokowi?
Sebagaimana kebijakan pemerintah lain, THR dengan format baru ini direspons beragam. Ada yang setuju, ada yang sebaliknya.
Menurut anggota Komisi XI dari fraksi Gerindra Sumail Banyu, kebijakan THR tahun 2018 tidak tepat dan sarat unsur politis. Di tengah defisit anggaran di APBN yang mencapai Rp55,1 triliun per April kemarin, pemerintah seharusnya tidak menggelontorkan uang negara dalam jumlah besar untuk hal-hal di luar pembangunan dan program-program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan.
Pemerintah beralibi kebijakan gaji ke-14 dalam rangka meningkatkan daya beli dan kesejahteraan aparatur negara. Selain itu, kebijakan ini juga merupakan kompensasi dari tidak naiknya gaji mereka sejak 2016. Pemerintah seolah ingin mengamankan pengeluaran negara di masa depan dengan menekan jumlah gaji pokok yang harus dibayarkan karena akan berimbas pada besaran pengeluaran pensiunan aparatur negara di masa depan.
"Kenapa baru sekarang bukan dari lalu-lalu? Ya ini karena mau Pilpres," kata Sumail kepada Tirto, Jumat (25/5/2018).
Fadli Zon pun mengeluarkan pendapat serupa. Ia mengatakan "kenaikan ini menurut saya mungkin saja ada maksud-maksud karena ini tahun politik lah, biasa."
Buka kali ini saja kebijakan pemerintah yang dikeluarkan jelang Pemilu dianggap mendulang popularitas. Hal yang sama terjadi pada kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan program Padat Karya Tunai di era Presiden Jokowi. Keduanya sama-sama mengandung unsur keluarnya anggaran negara.
Firmanzah, dalam buku Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik mencatat bahwa program BLT mengangkat popularitas SBY yang naik turun selama 10 tahun berkuasa. BLT berkontribusi terhadap terpilihnya kembali SBY yang kali kedua pada 2009.
"Beberapa lembaga survei mencatat popularitas SBY menurun ketika menaikkan harga BBM tahun 2005 serta program konversi minyak ke gas yang menuai banyak protes. Namun sedikit demi sedikit popularitas SBY kembali baik dengan program BLT," tulis Firmanzah (hlm. 177).
Sementara Mulyadi Sumarto, peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, pernah mengatakan bahwa BLT khususnya yang dikeluarkan pada 2009 sebagai "manipulasi politik" karena sebetulnya pada tahun itu BLT tak lagi dibutuhkan karena harga BBM telah diturunkan.
Dalam konteks kebijakan menaikkan nilai THR para aparatur negara, apakah memang ada motif politik?
Beberapa anggota DPR yang separtai dengan Jokowi menyanggahnya. Anggota Komisi XI DPR F-PDIP, Eva Kusuma Sundari, mengatakan kebijakan menaikkan nilai THR aparatur negara tak lain merupakan komitmen pemerintah "untuk menjaga modal sosial, tradisi khas Muslim Indonesia dengan kunjungan, sungkeman, maaf-memaafkan."
Eva mempertegasnya dengan mengatakan tak mungkin THR merupakan kebijakan yang dipaksakan hanya demi meningkatkan popularitas. Alasannya, anggaran di APBN untuk ini masih masuk akal dan sudah diperhitungkan.
"Kalau sampai jebol kan bakal fireback ke presiden. Masak presiden mau 'bunuh diri'?" katanya.
Sementara Ketua DPP PDIP sekaligus anggota Komisi XI F-PDIP, Hendrawan Supratikno, mengatakan kenaikan nilai THR tahun ini dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat. Ia menegaskan tak ada motif lain di luar itu.
"Lebaran adalah sebuah ritual dan festival kebahagiaan. Jadi belum lengkap kalau tidak ada THR dan peningkatan daya beli," kata Hendrawan.
Direktur Institute for Development of Economis and Finance (IDEF) Enny Sri Hartati menilai kenaikan nilai THR untuk aparatur negara di 2018 bukan hal yang mesti diributkan. Ia melihatnya dari sudut pandang relasi pekerja-pemberi kerja: bahwa THR memang sudah seharusnya diberikan pemberi kerja ke penerima kerja. Dalam hal ini pemerintah adalah pemberi kerja, dan PNS adalah penerimanya.
"Pegawai negeri sipil kan pekerja juga," kata Enny kepada Tirto.
Menurut Enny, peningkatan jumlah tersebut dapat digunakan sebagai siasat meningkatkan daya beli masyarakat di saat nilai rupiah menurun terhadap dolar AS. Saat ini dolar sudah menembus Rp14.000 lebih.
"Nilai uang kita turun. Akibatnya secara nominal jumlahnya mengalami kenaikan," kata Enny.
Namun, kata Enny, bukan berarti pemerintah terbebas dari masalah. Kenaikan nilai THR bagi aparatur negara mesti dibarengi dengan upaya mewujudkan stabilitas harga kebutuhan pokok. Alasannya percuma saja bila ada pemasukan tambahan misalnya untuk PNS yang totalnya mencapai 4,3 juta orang tapi harga-harga ikut tinggi.
"Itu hanya bikin APBN jebol dan kas korporat jebol tapi tidak memberi dampak apapun. Jadi yang penting harga harus terus ditekan," katanya.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino