Menuju konten utama

Kemudahan Mencari Takjil Adalah Kesulitan untuk Pedagang

Pedagang lama harus ikhlas omzet turun karena pedagang baru juga ambil untung di bulan puasa.

Kemudahan Mencari Takjil Adalah Kesulitan untuk Pedagang
Warga membeli makanan untuk berbuka puasa di Pasar Takjil Benhil, Jakarta, Jumat (18/5/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Penjaja makanan dan minuman “khas Ramadan” di ibu kota kian banyak saban tahun. Banyaknya pedagang takjil ini jadi cerita dan obrolan di antara pedagang panganan berbuka puasa yang Tirto temui di dua lokasi berbeda, pertengahan pekan lalu.

Maraknya pedagang kolak, es buah, gorengan, atau berbagai minuman dan makanan lain sebenarnya memudahkan pekerja kantoran atau warga Jakarta mencari takjil. Kemudahan buat pembeli nyatanya memunculkan kesulitan buat pedagang.

Jika pembeli merasa semakin banyak penjual berarti pilihan kudapan tambah beragam, pedagang punya anggapan berbeda. Semakin banyak penjual berarti semakin menipis keuntungan.

Begitu kira-kira yang dirasakan Hendra, salah seorang pedagang yang saya temui. Ia berkata dagangannya tak lagi banyak terjual seperti saat jumlah penjual makanan buka hanya segelintir orang.

“Kalau dulu mah jam 4, udah ambil barang lagi di rumah. Sekarang mah udah berkurang, banyak pedagang baru soalnya dari luar [daerah],” ucap Hendra.

Suhendra dan keluarganya sudah berjualan hidangan berbuka puasa di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat, sejak 10 tahun lalu. Ia bersama ibunya menjajakan bermacam gorengan, kolak, dan es blewah.

Lokasinya berjualan berada di sisi utara Masjid Cut Meutia yang berada dekat Stasiun Gondangdia. Makanan dan minuman yang ia jajakan dipajang di atas meja seukuran 0,5 x 2 meter.

Sambil sibuk membungkus kolak yang dibeli para pelintas jalan, Hendra bercerita pedagang-pedagang baru mulai marak menjual makanan Ramadan sekitar dua tahun terakhir.

Saat Tirto menyambangi kawasan Gondangdia, pedagang mulai terlihat dari perempatan yang berada di sisi Stasiun Gondangdia hingga pintu belakang Masjid Cut Meutia.

Mereka terlihat menjajakan dagangan yang serupa mulai dari kolak, es buah, hingga gorengan. Setiap hari, Hendra dan ibunya berdagang sejak pukul 14.30 WIB hingga pukul 18.30 WIB.

“Kalau akhir pekan, kami libur. Di luar bulan puasa saya dan ibu jualan nasi uduk pagi-pagi, tempatnya sama juga di sini,” ujarnya.

Selama empat jam berjualan, Hendra mengaku mendapat omzet kotor senilai Rp1,5 juta. Jumlah ini turun dibanding tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai Rp2 juta lebih setiap harinya. Omzet kotor ini berbeda tipis dari pendapatan mereka kala berjualan nasi uduk yang mencapai Rp 1,3 juta per hari.

Hendra bersama ibunya berencana menjual panganan untuk berbuka puasa hingga masa cuti para pekerja tiba. Ia tak mau berjualan lagi setelah masa cuti tiba, karena sebagian besar pembeli barang dagangannya adalah pekerja yang pulang dan pergi di Stasiun Gondangdia.

“Sudah sepi soalnya. Orang pulang kerja udah jarang,” kata Hendra.

Dagangan Seragam, Pendapatan Berkurang

Keluhan yang disampaikan Hendra juga dirasakan Aji. Pedagang es buah asal Cirebon ini mengaku pendapatannya setiap tahun dari berjualan minuman jelang buka puasa selalu berkurang.

Selisih muncul karena beberapa pedagang baru yang datang ke lokasinya berjualan di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Beberapa orang bahkan mengubah dagangannya dari yang semula makanan ke minuman serupa milik Aji.

Pria berusia 49 tahun itu mengaku sudah puluhan tahun berjualan hidangan jelang buka puasa di Jalan Veteran. Di luar Ramadan, ia berjualan makanan di kantin Mahkamah Agung (MA).

Aji menuturkan banyaknya pedagang baru membuat dagangannya tak selaku beberapa tahun lalu. Saat masih sepi pedagang, Aji mengaku bisa menjual 200 lebih gelas kolak, sementara saat ini, dia bisa menjual 170 gelas. “Itu dua jenis kolak. Kalau dihitung ya lebih dikit,” ujar Aji.

Bersama dua anak buahnya, Aji hanya menjual dua jenis kolak, pisang dan ubi ungu, serta es buah. Lokasinya berjualan tepat di sebelah Bank BRI di Jalan Veteran.

Saban hari, Aji mulai berjualan pukul 15.00 WIB hingga 18.30 WIB. Ia hanya tidak berjualan jika hari libur. Setiap gelas kolak ia jual dengan harga Rp 5 ribu. Untuk es buah, pembeli harus merogoh kocek lebih dalam karena harganya mencapai Rp10 ribu.

“Biasanya es buah kejual 100-130 bungkus,” kata Aji.

Selepas berjualan, Aji rutin pergi ke Pasar di Angke, Jakarta Utara, untuk membeli buah yang akan digunakan keesokan harinya. Ia rela membeli bahan pokok dagangannya di tempat yang jauh demi mendapat harga murah.

Selisih harga buah di Angke dan pasar kaget di kawasan Jakarta Pusat disebutnya lumayan, mencapai Rp 5 ribu per kilogram.

"Buahnya disimpan dulu kan, besoknya sudah matang terus dikupas. Sore ke sini [lokasi berjualan] langsung siapin di plastik," ujar Aji sambil memasukkan es buah pesanan pembeli ke plastik.

Sama seperti Hendra, Aji mengaku biasa berjualan santapan jelang berbuka hingga masa cuti pegawai tiba. Jika cuti pegawai tiba, Aji dan anak-anak buahnya yang berasal dari satu kampung pun mudik. Rutinitas itu bakal diulang Aji tahun depan, meski pendapatan yang ia kantongi mungkin tak lagi sebesar dulu.

Baca juga artikel terkait RAMADAN 2018 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih