tirto.id - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Didik Budijanto meminta masyarakat mewaspadai tuberkulosis (TBC) yang hingga saat ini masih menjadi endemi di Indonesia.
Bahkan, dari laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ada 9,9 juta kasus TBC di dunia dan Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah India dan Tiongkok.
"Hingga saat ini jumlah kasus TBC di Indonesia sebanyak 824 ribu dan kematian sebanyak 93 ribu di setiap tahun," kata Didik dalam konferensi pers virtual pada Selasa (22/3/2022).
Didik mengingatkan bahwa TBC merupakan salah satu komorbid pada penyakit COVID-19 dan bisa memperbesar risiko serta gejala yang dialami pasien.
"TBC menjadi salah satu komorbid yang menyerang organ pernapasan dan kemungkinan besar berdampak pada kematian," ujarnya.
Meski serupa dengan COVID-19 yaitu menyerang pernapasan, namun terdapat sejumlah perbedaan antara COVID-19 dan TBC.
"COVID-19 diserang oleh virus maka diberi obat antivirus, bahkan dibiarkan saja selama antibodi kuat seperti sudah divaksin, maka dia akan sembuh dengan sendirinya," jelasnya.
Adapun TBC yang menyerang adalah bakteri sehingga perlu diberi antibiotik. Dalam proses pengobatannya harus tuntas, apabila tidak bakteri yang ada dalam tubuh bisa menjadi resisten terhadap obat yang diberikan.
Selain itu, TBC memiliki kecenderungan untuk hinggap di dalam tubuh dalam jangka waktu lama. Sehingga banyak masyarakat tidak menyadari bahwa dirinya sakit sehingga enggan mendapatkan pengobatan.
"Bakteri TBC tidak seperti influenza yang bisa timbul dan menunjukkan gejala secara langsung, bisa jadi sudah terinfeksi sejak kecil namun baru menunjukkan gejala saat dewasa, sehingga disebut TBC laten," jelasnya.
Didik menyebutkan ada tiga provinsi dengan angka TBC tertinggi yaitu Banten, Jawa Barat dan Gorontalo.
"Kami mengenalnya dengan istilah 'Kupat' yaitu kumuh dan padat, sehingga potensi penularan TBC sangat tinggi," ujarnya.
Didik meminta kepada masyarakat untuk segera memeriksakan diri ke Puskesmas terdekat bila terdapat gejala TBC. Adapun obat selama dalam program penanganan TBC maka akan ditanggung oleh pemerintah.
"Pengobatan TBC ditanggung oleh negara dengan menggunakan dana APBN dan juga dari donor internasional, sehingga tidak perlu khawatir apabila tak bisa membayar. Namun hal ini hanya berlaku bagi instansi kesehatan yang sudah bekerjasama dengan Kemenkes," terangnya.
Sedangkan penggunaan obat tradisional, Didik mempersilakan untuk menggunakannya karena sebagian besar masyarakat Indonesia juga menggunakan obat herbal dalam proses penyembuhan. Namun dirinya tetap mengingatkan untuk berkonsultasi dengan dokter yang menangani.
"Obat tradisional mampu meringankan gejala, sedangkan untuk membunuh bakteri menggunakan antibiotik yang diresepkan dokter," terangnya. Selain itu kami meminta kepada akademisi untuk terus melakukan rises dalam pemanfaatan obat tradisional," jelasnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Bayu Septianto