tirto.id - Jacinda Kate Laurell Ardern, petahana yang bertarung kembali dalam pemilihan Perdana Menteri Selandia Baru telah mengumumkan kemenangannya pada Sabtu (17/10/20) lalu. Partai Buruh sebagai kendaraan politik Ardern menang besar dengan meraup 49 persen suara, mengalahkan lawan utamanya, Partai Nasional, yang hanya mengantongi 27 persen suara. Ini adalah kekalahan terburuk partai konservatif tersebut sejak 2002-mengkonfirmasi hasil rentetan jajak pendapat publik sebelum pemilu.
Ada dua rekor yang dicetak Ardern bersama Partai Buruh dalam kemenangan kali ini. Pertama, ini adalah kemenangan terbesar partai sosial demokratik berhaluan kiri tengah dalam setengah abad terakhir. Kedua, Ardern dan partainya mampu mengamankan kursi mayoritas di parlemen sehingga bisa membentuk pemerintahannya sendiri tanpa koalisi, hal yang belum pernah terjadi sejak Negeri Kiwi menerapkan sistem pemungutan suara proporsional 24 tahun lalu.
Dalam pidato kemenangan di depan ratusan pendukung di Auckland, Ardern menyebut partainya kini mendapat lebih banyak dukungan dalam 50 tahun terakhir. Ia berjanji akan melayani semua warga negara Selandia Baru.
“Kita hidup di dunia yang semakin terpolarisasi, ketika semakin banyak orang tak lagi mampu melihat sudut pandang satu sama lain,” ujarnya dilansir dari Associated Press. "Saya kira dalam pemilihan ini rakyat Selandia Baru telah menunjukkan kita bukan orang semacam itu."
Selama kampanye, Ardern memang sedang menikmati popularitasnya yang besar. Kemenangan tampak sangat dekat. Ia disambut bak bintang rock. Orang rela berdesak-desakan agar bisa memberi dukungan langsung hingga berswafoto. Kepopuleran Ardern juga tak lepas dari kesuksesannya membendung virus Corona di Selandia Baru ketika para pemimpin dunia lainnya gagap. Sejak akhir Maret saat masih sekitar 100 orang dinyatakan positif, Ardern langsung mengunci negerinya, menutup perbatasan dan mengurai langkah ambisius untuk menghilangkan virus. Singkatnya, rakyat benar-benar percaya Ardern akan melindungi diri mereka dari bahaya virus. Bahkan saat wabah muncul kembali di Auckland pada Agustus kemarin, Ardern berani menunda pemilu agar berfokus mendahulukan penanganan wabah. Hasilnya, negara berpenduduk lima juta jiwa itu kini tak lagi harus memakai masker dan menjaga jarak.
Inilah yang menjadi salah satu faktor kepopuleran Ardern dan partainya. Di sisi lain, Partai Nasional semakin kehilangan basis dukungannya ketika tak bisa berbuat apa-apa melihat aksi-aksi memukai Ardern selama menangani pandemi. Padahal, hasil jajak pendapat Partai Nasional pada Februari lalu masih menunjukkan angka 46 persen, unggul dari Partai Buruh yang 41 persen.
Popularitas Ardern tentu tak hanya dibangun dari kecakapannya menangani pandemi. Namanya telah mencuri perhatian dunia saat menangani insiden penembakan 51 jamaah muslim di dua masjid Christchurch oleh seorang supremasi kulit putih. Ardern menunjukkan empatinya kepada korban dan bergerak cepat mengeluarkan undang-undang baru yang melarang penjualan senjata semi-otomatis.
Faktor lain yang membuat Ardern populer adalah kecakapan komunikasi publik dan penggunaan media sosial dinilai menjadi poin penting dalam menarik banyak pemilih. Ia aktif dan terampil menampilkan yang natural dengan menyampaikan pandangan atau kebijakannya langsung kepada khalayak. Menjelang pemilu 17 Oktober kemarin, pengikut Facebook Ardern jumlahnya empat kali lebih banyak dari gabungan tujuh pemimpin partai utama di negeri tersebut.
Sosialis Sejak Remaja
Ketika pertama kali terpilih sebagai perdana menteri pada Oktober 2017, Ardern masih berusia 37 tahun. Ia menjadi perdana menteri termuda Selandia Baru dalam 150 tahun terakhir. Ardern juga menjadi kepala pemerintahan pertama di dunia yang melahirkan anak ketika masih aktif menjabat. Beberapa bulan sebelum kemenangannya yang pertama, ia menjadi pemimpin Partai Buruh setelah duduk di parlemen mewakili partai sejak 2008 silam.
Ardern adalah anak kedua dari dua bersaudara yang lahir dari keluarga Mormon. Dikutip dariEncyclopaedia Britannica, ayahnya adalah polisi dan diplomat yang sering berpindah-pindah sesuai tugas. Walhasil, Ardern tumbuh dalam lingkungan yang berbeda-beda. Ia memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Waikato pada 2001. Jauh sebelum kuliah, di usianya yang baru 17 tahun, Ardern memutuskan bergabung dengan Partai Buruh. Dengan bantuan dari bibinya, ia terlibat kampanye pemenangan anggota parlemen dari Partai Buruh di distrik New Plymouth. Ardern pun makin tertarik dengan perjuangan seputar isu-isu keadilan sosial.
Setelah lulus kuliah, Ardern menjadi peneliti untuk anggota parlemen dari Partai Buruh lainnya, Phil Goff. Karier politiknya dimulai hingga ia pernah menjadi staf Perdana Menteri Helen Clark. Perjalanan karier Ardern terus membawanya melanglang buana, termasuk ke Inggris. Di Inggris ia sempat bekerja di kantor kabinet Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
Pada awal 2008, Ardern terpilih sebagai presiden Serikat Pemuda Sosialis Internasional (IUSY) yang menjadi payung organisasi pemuda sosialis, sosial demokrat, dan perburuhan dari seluruh dunia. Organisasi ini berjuang untuk kebebasan dan jaminan atas Hak Asasi Manusia, keadilan sosial dan demokrasi, dan solidaritas universal. Karier Ardern di dalam negeri memasuki babak baru ketika ia dipilih sebagai kandidat parlemen dari Partai Buruh mewakili distrik Waikato.
Hasilnya? Ardern pun terpilih. Usia 28 tahun membuat Ardern menyandang status wakil rakyat termuda. Dalam pidato perdananya, ia menyerukan pengajaran wajib dalam bahasa Maori di sekolah-sekolah Selandia Baru dan mengkritik sikap pemerintah terkait perubahan iklim. Di internal partai, Ardern menjabat sebagai juru bicara untuk urusan pemuda serta komite peninjau peraturan dan pemilu partai.
Partai Buruh Selandia Baru sudah cukup tua. Didirikan pada 1916, Partai Buruh adalah gabungan dari berbagai kelompok sosialis dan serikat buruh. Secara tradisional, inilah partai terkuat di antara serikat pekerja dan pemilih berpenghasilan rendah. Partai ini resmi menjadi oposisi parlemen (1930-1935). Setelah menyapu kursi mayoritas di parlemen, Partai Buruh akhirnya membentuk pemerintahan untuk pertama kalinya (1935-1949). Dari tangan merekalah muncul kebijakan-kebijakan progresif, mulai dari jaminan sosial, kewajiban berserikat, regulasi harga, hingga perlindungan orang Maori sebagai penduduk asli.
Kritik terhadap Ardern
Demam “Jacinda-mania” telah mengalirkan jutaan suara ke Partai Buruh. Politik kiri Selandia Baru pun kembali berada di puncak setelah sembilan tahun partai konservatif berkuasa. Namun, bukan berarti kepemimpinan Ardern bebas dari kritik.
Bagi Ben Peterson, aktivis sosialis danpengorganisir Serikat FIRST yang menaungi pekerja dari berbagai sektor manufaktur di Selandia Baru, demam Jacinda-mania saja tak cukup. Dalam kritiknya di majalah Jacobin, Peterson menulis pemerintahan Ardern masih menunda reformasi kebijakan perburuhan yang disebut sebagai Perjanjian Pengupahan yang Adil (FPA). FPA yang sedang diperjuangkan memungkinkan pekerja dan serikat menegosiasikan standar minimum di seluruh industri.
Beberapa tahun belakangan, catat Peterson, tingkat kemiskinan juga meroket. Ada lebih dari 660 ribu orang Selandia Baru yang hidup dalam kemiskinan. Rekomendasi pengentasan kemiskinan dari sebuah komite yang diundang pemerintah sejauh ini masih diabaikan. Alih-alih mengusulkan kenaikan tunjangan sosial sebesar 47 persen, Ardern hanya mengabulkan kenaikan tiga persen yang dinilai tak cukup.
Program KiwiBuild untuk membangun perumahan harga terjangkau juga gagal memenuhi target. Hanya 452 rumah yang dibangun dari target ribuan yang dijanjikan. Di sektor perubahan iklim, meski Ardern sudah melarang ekspor minyak dan gas, ia belum berani menyentuh izin terkait ekspor yang sedang berjalan dan baru akan kadaluwarsa beberapa dekade lagi. Para aktivis Maori juga belum merasakan pemenuhan hak-haknya terkait tanah di Ihumātao yang disita pemerintah sejak 1865 untuk diberikan kepada para pemukim kulit putih. Pada 2016 tanah adat itu justru dijual ke pengembang perumahan.
“Ada banyak kegagalan Ardern memenuhi janji kampanyenya yang hampir tidak diperhatikan. Sebaliknya, dapat dipahami bahwa publik memusatkan perhatiannya pada tanggapan Ardern terhadap serangkaian krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya: serangan teroris, bencana alam, dan pandemi.” tulis Peterson.
Peterson sadar bahwa Partai Buruh harus didorong sekuat mungkin untuk memenuhi komitmen ideologisnya oleh gerakan-gerakan sosial yang independen dari partai. Ia menyebut keberhasilan kaum guru sekolah dasar memenangkan tuntutan gaji yang lebih baik dan penguarangan beban kerja pada 2019. Contoh lain yang dikutip Peterson: pemogokan pengemudi bus di Wellington, Hamilton, Dunedin, dan Auckland. Aksi-aksi ini sukses membuat Partai Buruh memberlakukan upah layak nasional bagi semua sopir bus.
Bagaimanapun, kemenangan Partai Buruh tahun ini telah membukakan jalan bagi kemenangan yang lebih besar untuk kelas pekerja dan kaum terpinggirkan lainnya. Sejak terpilihnya Ardern pada 2017, lebih dari seperempat anggota serikat buruh Selandia Baru telah terlibat dalam sejumlah aksi. Keanggotaan serikat buruh pun meningkat, dengan lebih dari lima puluh ribu pekerja bergabung. Gelombang serikat buruh yang meningkat ini akan sangat penting untuk memenangkan tuntutan-tuntutan lain yang lebih besar.
Editor: Windu Jusuf