tirto.id - Kementerian Agama (Kemenag) menyebut tengah menyusun regulasi pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan.
Dirjen Pendidikan Islam, Muhammad Ali Ramdhani mengatakan regulasi tersebut dalam bentuk Peraturan Menteri Agama (PMA) yang akan disusun sebagai langkah mitigasi atas terjadinya sejumlah kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan dalam beberapa tahun terakhir.
“Kami sudah mulai susun regulasinya. Kami jaring saran dan masukan dari berbagai pihak, termasuk dari ormas keagamaan,” kata Ali di Jakarta, Kamis (3/2/2022).
Pria yang akrab disapa Dhani ini mengaku bahwa pembuatan PMA akan memperhatikan dinamika dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
PMA disusun dengan prinsip kehati-hatian dan memperhatikan keberagaman serta kekhasan yang ada di lembaga pendidikan keagamaan, khususnya pesantren.
“Semua pihak, baik personal maupun institusi, sudah saatnya sinergi untuk bersama-sama menegakkan nilai-nilai keadilan dengan mendasarkan pada pemahaman keagamaan yang moderat (tawasut) dan sesuai hukum-hukum nasional dan internasional terkait sexual violence,” paparnya.
Kasus kekerasan seksual dalam beberapa tahun terakhir dilaporkan terjadi di sejumlah lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa pelaku di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan dilaporkan kepada pihak berwajib karena diduga melakukan tindakan asusila.
Ali Ramdhani mencatat dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya ada 12 laporan yang muncul terkait kasus kekerasan di lembaga pendidikan keagamaan, yaitu di Bandung, Tasikmalaya, Kuningan, Cilacap, Kulonprogo, Bantul, Pinrang, Ogan Ilir, Lhokseumawe, Mojokerto, Jombang, dan Trenggalek. Beberapa kasus di antaranya masih berproses dalam persidangan di pengadilan.
Dhani mengapresiasi pelaporan yang dilakukan para pihak. Menurutnya, pelaku kejahatan, oleh siapa pun dan di mana pun tempatnya, harus ditindak sesuai ketentuan oleh pihak berwenang.
“Kejahatan bisa dilakukan siapa saja dan terjadi di mana saja, termasuk di lembaga pendidikan keagamaan. Saya mengapresiasi langkah para pihak untuk melaporkan setiap peristiwa kepada pihak berwajib untuk ditindak tegas,” tuturnya.
Menurutnya, persoalan hukum di lingkungan pendidikan keagamaan yang muncul ke publik menunjukkan adanya kesadaran bersama tentang pentingnya kerjasama semua pihak untuk menegakkan nilai-nilai keadilan, terutama bagi korban kekerasan seksual.
Sementara itu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghafur menambahkan, pihaknya telah membentuk tim kelompok kerja (pokja) untuk percepatan penanganan tindak kekerasan seksual di pesantren.
Sebagai langkah awal, Tim Pokja ini terlah menjalin kerja sama dengan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) untuk membuat survei awal kepada komunitas pesantren.
Survei ini melibatkan 1.402 responden di 34 provinsi. Responden terdiri dari pengelola pendidikan keagamaan Islam, guru, santri, dosen, mahasiswa/siswa, pemuka agama, wali santri, dan pengelola pesantren.
“Hasil survei menunjukkan responden secara umum mengetahui adanya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan. Mereka umumnya tahu dari berita media maupun media sosial,” kata Waryono.
Berdasarkan survei, kata Waryono, responden merespons dengan prihatin, marah, dan kecewa. Sebagian besar memilih untuk melaporkan info tindak kekerasan seksual itu kepada pihak berwajib agar pelakunya dihukum dengan adil.
“Lebih 95% responden menilai penting adanya regulasi dan mekanisme khusus untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan,” terangnya.
Selain regulasi, sejumlah usulan yang mengemuka dalam survei adalah pentingnya penguatan bimbingan konseling dan pembentukan satuan tugas pencegahan.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri