Menuju konten utama

Kematian Para Pendaki Gunung Everest di Musim Semi

Musim pendakian awal tahun 2017 ini, Everest sudah menelan 6 korban. Padatnya pendaki yang sebagian besar minim pengalaman, kini menjadi persoalan.

Kematian Para Pendaki Gunung Everest di Musim Semi
gunung everest foto/shutterstock

tirto.id - Di Everest Base Camp, seorang pemandu mengajarkan beberapa orang pendaki cara memakai crampon—besi yang dipasangkan ke tapak sepatu untuk berjalan di salju. Rob Hall, pemimpin ekspedisi Adventure Consultants melihatnya dari kejauhan.

“Yang benar saja!” umpat Rob sambil menggelengkan kepala. Rob tak habis pikir, bagaimana mungkin orang yang bahkan tak bisa memakai crampon ingin mendaki hingga ke puncak Everest.

Adegan itu adalah kepingan dalam film Everest, sebuah film yang menceritakan tragedi mengerikan dalam pendakian gunung tertinggi di dunia pada Mei, 1996. Ia bukan film fiksi, ceritanya diambil dari kisah nyata yang membuat Rob Hall menghembuskan napas terakhirnya di gunung itu. Sebelum difilmkan, kisah itu telah ditulis oleh Jon Krakauer dalam buku berjudul Into Thin Air.

Tak hanya Rob Hall yang menjadi korban. Sekitar delapan pendaki dan pemandu lain juga gagal kembali ke base camp setelah menginjakkan kaki di puncak. Selain badai, ada banyak penyebab yang memicu tragedi itu terjadi. Pertama, padatnya pendaki yang membuat tersendatnya jalur pendakian.

Dalam film Everest maupun buku Into Thin Air, digambarkan bahwa antrean yang panjang saat harus menyeberang melewati tangga atau melewati tebing es membuat para pendaki kedinginan karena menunggu lama. Hal ini terjadi karena banyak sekali tim yang ingin mencapai puncak pada 10 Mei. Rob sebenarnya sudah mencoba bernegosiasi agar beberapa tim mengubah jadwal pendakian, tetapi usulan Rob ditolak tim lainnya. Mereka semua menargetkan berada di puncak pada 10 Mei.

Selain persoalan padatnya pendaki, kerusakan tali di Hillary Step juga bisa disebut sebagai salah satu penyebab. Hillary Step adalah tebing curam sebelum puncak. Untuk melewatinya diperlukan tali pengaman. Saat tim Rob ingin melewati tebing itu, talinya belum terpasang. Para sherpa—sebutan untuk pemandu lokal—yang seharusnya membenahi tali-tali itu. Kerusakan tali membuat para pendaki harus menunggu lama lagi sampai tali benar-benar terpasang. Beberapa pendaki tampak mundur dan kembali ke camp karena kedinginan.

Persoalan lainnya adalah ketersediaan tabung oksigen. Banyak pendaki mati kedinginan karena kehabisan oksigen. Di ketinggian 8.000-an meter di atas permukaan laut, kadar oksigen memang sangat tipis, hanya sekitar 30 persen. Itu mengapa tabung oksigen diperlukan untuk bertahan. Kehabisan oksigen itu disebabkan mereka menunggu begitu lama.

Ketika Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay mendaki puncak Everest dan menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Everest pada 1953, hanya ada mereka berdua di sana. Dua pendaki itu tak perlu mengantre dan menunggu.

Sekitar 60 tahun kemudian, setiap Maret hingga Oktober, ratusan orang dari penjuru dunia ingin berada di puncak Everest. Kini, perlengkapan mendaki sudah semakin memadai, alat pemantau cuaca dan komunikasi semakin canggih, jasa pemandu profesional juga semakin banyak. Hal ini memperkecil risiko mendaki Everest dan membuat para pendaki amatir yang minim pengalaman tetapi banyak uang, berbondong-bondong ingin berada di puncak tertinggi bumi.

Tahun 1990, hanya ada 72 orang yang mencapai puncak sepanjang tahun. Tahun 2016 angkanya mencapai 641. Ketika semakin banyak pendaki, maka semakin padat jalur pendakian. Kemacetan di ketinggian seperti yang dialami Rob dan teman-temannya, bisa jadi terus terulang dan berakibat fatal.

Infografik Tubuh dan Ketinggian

Pada musim semi tahun ini—Maret hingga Mei—Departemen Pariwisata Nepal menerbitkan 371 izin pendakian Everest. Ini adalah jumlah terbanyak dalam catatan sejarah pendakian ke Everest.

Pada musim ini pula, setidaknya sudah enam orang meninggal dunia di Everest. Tak semuanya karena jalur yang padat, memang. Salah satu di antaranya adalah Ueli Steck, pendaki gunung asal Swiss yang terkenal cepat dan kuat. (Baca: Ueli Steck, si Mesin Swiss yang Berakhir di Everest). Ueli meninggal karena jatuh saat proses aklimatisasi.

Pada 6 Mei lalu, Min Bahadur Sherchan—pendaki gunung asal Nepal—juga meninggal dunia di Everest. Min telah menginjakkan kaki di puncak Everest pada 2008 dan menjadi pendaki tertua yang pernah mencapai puncak. Gelar itu kemudian berpindah kepada Yuichiro Miura, pendaki asal Jepang yang mencapai puncak Everest pada 2012. Tahun ini, di usianya yang ke 85, Min ingin mengambil kembali gelar pendaki tertua. Min menghembuskan nafas terakhirnya di Everest Base Camp karena serangan jantung.

Pada 21 Mei, empat orang pendaki tewas di Everest. Roland Yearwood dari Amerika Serikat, Vladimír Štrba asal Slovakia dan Francesco Enrico Marchetti dari Australia terserang penyakit di ketinggian atau Altitute Mountain Sickness (AMS). Ketiganya tak tertolong. Di hari yang sama, Ravi Kumar asal India terjatuh sejauh 200 meter dan tak terselamatkan.

Empat pendaki lainnya ditemukan tewas di dalam tenda di Camp 4, camp terakhir sebelum puncak pekan lalu. Belum diketahui identitas dari keempat pendaki. Ang Tshering dari Nepal Mountaineering Association mengatakan tak ada tim yang menyalakan alarm di base camp. Ia meragukan keempat pendaki mendaki di musim semi tahun ini. Karena tak ada laporan kematian dari tim di Base Camp. Sampai saat ini, belum ada kejelasan tentang empat pendaki itu.

“Masalah terbesar di Everest saat ini adalah meningkatnya jumlah pendaki tak berpengalaman dan pemandu yang tak memenuhi syarat,” kata Alan Arnette seperti dikutip Fox News. Alan adalah pendaki senior yang pernah ke puncak Everest pada 2011.

Baca juga artikel terkait EVEREST atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Humaniora
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani