Menuju konten utama
Sri Mulyani:

Kelas Menengah yang Kuat Bisa Jadikan Indonesia Pemimpin ASEAN

Sri Mulyani yakin kelas menengah yang terdidik mampu ciptakan kualitas kebijakan dan demokrasi di Indonesia.

Kelas Menengah yang Kuat Bisa Jadikan Indonesia Pemimpin ASEAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia untuk mendorong penguatan ekonomi kelas menengah. Berdasarkan data World Bank saat ini, jumlah kelas menengah di Indonesia ada 52 juta jiwa dan 115 juta jiwa yang berpotensi menjadi kelas menengah, dari total pendudukan sekitar 250 juta.

Perhatian pemerintah untuk meningkatkan kuantitas serta kualitas kelas menengah bukan berarti mengalihkan fokus pemerintah dari pengentasan kemiskinan dan ketimpangan. Menurut Menkeu, hal itu justru akan sejalan dengan misi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menginginkan tingkat kemiskinan berada di kisaran 7-8 persen pada 2019. Pada triwulan I 2017 Badan Pusata Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan Indonesia masih sebesar 10,64 persen.

"Kalau 115 juta itu stabil, Indonesia bisa menjadi pemimpin ASEAN. Untuk menjadi pemain global yang kuat kita perlu memiliki kelas menengah yang harus kuat juga," ujar Sri dalam acara World Bank di Jakarta pada Senin (4/12/2017).

Ia percaya kualitas kebijakan dan demokrasi di Indonesia tidak akan berjalan lebih baik, tanpa adanya kelas menengah yang terdidik. Kelas menengah dipandang sebagai motor penggerak kualitas pertumbuhan ekonomi karena memiliki potensi sebagai lahirnya wirausahawan yang mempekerjakan orang, sebagai target wajib pajak dan inovator.

"Jadi kelas menengah bisa jadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang utama di masa depan. PDB (Produk Domestik Bruto) sangat bergantung dangan kelas menengah, bisa membantu masyarakat miskin. Ini suatu hal sensitif," ujarnya.

“Jadi pemerintah mau memberikan kemudahan untuk kelas menengah berkembang. Kelas menengah tidak hanya para pencari kerja, tapi juga menciptakan kerja," lanjut dia.

Kemudian, Sri menyebutkan alokasi untuk pendidikan dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) antara Indonesia dengan Vietnam sama-sama sebesar 20 persen. Namun, hasil capaiannya sangat berbeda. Indonesia terbukti masih kalah efisien dan efektif dalam memajukan tingkat pendidikan secara merata.

"Indonesia untuk memperkuat kelas menengah sangat penting di pendidikan. Secara konsisten Indonesia habiskan 20 persen untuk pendidikan sama dengan Vietnam, tapi hasilnya sangat berbeda. Jadi tidak tentang besaran uang, tapi gimana kita membelanjakan anggarannya," ungkap Sri.

Oleh karenanya, tantangan yang sangat besar terkait pendidikan adalah perbaikan tata kelola dan hasil efektifitas dari anggaran pendidikan. Sementara itu, pemerintah pusat dalam hal ini melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mendelegasikan fungsi pendidikan ke daerah-daerah baik tingkat provinsi hingga kabupaten/kota untuk berbagai jenjang pendidikan. Termasuk jumlah guru, tapi menurutnya hal itu tidak berbanding lurus dengan kualitas dan distribusi tiap daerah.

Ia melanjutkan, Pemerintah Pusat melalui Kemendikbud perlu membuat standar kualifikasi pendidikan. "Sehingga di daerah tidak menimbulkan persoalan pelik yang mana jumlahnya banyak, tapi kualitasnya enggak bagus dan kita bergantung pada guru honorer. Itu juga enggak adil buat mereka (guru honorer)," terangnya.

Sementara itu, Peneliti World Bank Rodrigo Chaves mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara maju. Sejalan dengan itu, Indonesia perlu bertransformasi dalam mengelola pertumbuhan ekonomi. Model pertumbuhan lama yang membantu Indonesia selama 50 tahun terakhir tidak lagi relevan digunakan di tengah persaingan global saat ini.

"Pada 50 tahun lalu 70 persen dari warga Indonesia kondisi miskin ekstrim. Dari 70 persen menjadi 7 persen. Indonesia harus bangga dengan pencapaian tersebut. Tapi, Indonesia memiliki potensi untuk bisa tumbuh maksimal. Untuk ke sana ada tantangan baru," sebut Rodrigo.

Menurut dia, kalangan menengah bisa membuka potensi tersebut dengan syarat kalangan kelas menengah harus lebih kuat lagi. "Butuh kebijakan publik yang fokus untuk mencapai kondisi sejahtera. Swasta dan pemerintah harus berupaya bersama untuk capai tujuan tersebut," ucapnya.

Baca juga artikel terkait KELAS MENENGAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto