tirto.id - Bagi industri musik Indonesia, era 1980-an merupakan era tembang-tembang pop melankolis menggempur pasar. Hampir semua lapak kaset (resmi dan bajakan), siaran radio, sampai tayangan televisi dikuasai bermacam lagu yang bikin hati nelangsa. Publik terpaksa mengikuti selera arus utama yang tak jauh-jauh dari tiga hal: kesedihan, patah hati, dan derai air mata. Bahkan kelak, Menteri Penerangan Harmoko melarang lagu yang disebutnya, "..."ratapan patah semangat berselera rendah, keretakan rumah tangga, atau hal-hal cengeng."
Di tengah dominasi pop melankoia yang sepertinya sulit untuk dikikis, ragam musik lain bernama fusion jazz ternyata berhasil mencuri (sedikit) tempat. Memanfaatkan momentum yang tengah dirayakan secara global, fusion jazz hadir dan populer di Indonesia lewat dua band: Chaseiro serta Karimata.
Warna musik dua kolektif tersebut banyak terpengaruh Casiopea, Chick Corea Electric Band, hingga Earth, Wind & Fire━yang menggabungkan irama-irama ritmis jazz, soul, dan sedikit nafas disko.
Dalam perjalanannya, baik Chaseiro maupun Karimata telah menelurkan sederet album yang layak diingat. Chaseiro, ambil contoh, punya kanon dalam wujud Pemuda (1979) dan Ceria (1982). Sedangkan Karimata membikin Pasti (1985) atau Lima (1987) yang kualitasnya, saya pikir, tidak usah dipertanyakan lagi.
Dua band ini memiliki tendensi artistik yang hampir sama. Sekalipun mereka berusaha menyasar target audiens yang lebih luas, visi bermusiknya tak serta merta tunduk pada keinginan pasar. Mereka justru membungkus idealisme yang diusung dengan balut kesegaran: membikin jazz terdengar lebih catchy.
Berkat Si Flamboyan
Popularitas kedua band ini tentu tak bisa dilepaskan dari kontribusi satu nama: Candra Darusman.
Di Chaseiro dan Karimata, Candra adalah otak dari segala kreasi yang ada. Ia berdiri di belakang layar, menjadikan komposisi-komposisi Chaseiro serta Karimata terdengar begitu bernas. Ia berperan sebagai leader yang paham dengan baik bagaimana menyusun struktur, menempatkan nada agar berada di tempat yang tepat, serta memberi ruang secara proporsional untuk improvisasi.
Ketika di Chaseiro, kemampuan istimewa Candra ini dapat disimak, misalnya, dalam nomor “Karmen” atau “Lautan Kenangan”. Kemudian di Karimata, Anda dapat mendengarkan komposisi berjudul “Let Me” yang sangat bergizi.
Yang harus diperhatikan, dan faktor inilah yang menjadi nilai plusnya, selama bermusik di Chaseiro dan Karimata, Candra bukanlah tipikal kibordis yang gemar pamer kemampuan. Ia cenderung bermain sesuai pakem━mengurangi ambisi untuk solo-solo panjang. Untuknya, menjalankan peran sebagai conductor sekaligus leader━memastikan semua sesuai porsinya━adalah prioritas.
Bermain untuk Chaseiro dan Karimata tak bisa dipungkiri merupakan rangkaian masa keemasan Candra. Namun, sebetulnya, puncak kreatif adik dari Marzuki Darusman --Jaksa Agung usai reformasi-- ini justru muncul manakala ia membikin proyek solo, di sela-sela kesibukannya bersama dua kolektif di atas.
Dua album sudah ia hasilkan saat berdiri dengan entitas sendiri. Dari sepasang karya yang dibuat, visi bermusik Candra Darusman mencapai titik tertingginya saat album bertajuk Kekagumanku (1983) rilis ke pasaran.
Album produksi Musica Studio ini punya sampul bergambar dirinya sedang duduk di bangku yang panjang, berlatar jendela tua yang sudah berkarat, serta pandangan menatap lurus ke depan. Tampilannya begitu elegan: rambut rapi dan kemeja yang necis.
Terdapat sembilan nomor di Kekagumanku. Album dibuka dengan “Kekagumanku” yang terdengar sangat solid: kocokan gitar repetitif bertemu dengan brass section yang padat. Lalu di “Senantiasa,” Candra menurunkan temponya. Tak ada warna fusion, apalagi jazz━hanya pop minimalis yang levelnya jauh dari kacangan.
Salah satu track yang layak didaulat sebagai juara di Kekagumanku hadir dalam wujud “Geneva”. Di nomor ini, Candra tak ragu mengambil sensibilitas jazz khas Benua Biru━Perancis atau Italia━yang cenderung klasik dan penuh kehati-hatian.
Jangan lupakan pula “Our Moments of Paradise” yang komposisinya dibikin oleh Indra Lesmana. Di tangan Indra, lagu ini melaju dengan liar: tempo cepat, meriah, serta diisi banyak warna━irama bossa, solo flute, serta ketukan-ketukan yang ganjil tapi nagih di telinga.
undefined
Mendengarkan album Kekagumanku, pada dasarnya, seperti menyimak kehidupan cinta seseorang━atau tepatnya kita sebagai pendengar. Candra menjahit keseluruhan lagu menjadi satu jalinan cerita yang utuh, tentang bagaimana romansa dua insan berbicara, menyatu, dan meluruh.
Dimulai dari menyukai dari jauh (“Kekagumanku”), mencari sosok mak comblang (“Jasa Seorang Teman”), memberanikan diri untuk menyapa (“Perkenalan Perdana”), menjalani masa-masa kencan yang berujung pacaran (“Geneva” atau “Our Moments of Paradise”), hingga akhirnya mendapati fakta bahwa “jalan kita harus berakhir” sebab satu-dua alasan yang tak bisa dikendalikan (“Makna Nostalgia”).
Album Kekagumanku kian menarik karena kendati mengambil tema percintaan, Candra tidak kelewat mendramatisasinya. Lirik-liriknya tidak lembek serta tak kelewat melankolis━sehingga membikin pendengar menangis sesenggukan. Di “Gadis Pujaan” misalnya, Candra menyanyi dengan lantang: “Tiap pria yang jatuh hati kau balas dengan basa-basi.”
Dari sisi musikalitas, Candra, lewat album Kekagumanku, membuktikan bahwa ia seorang komposer yang andal. Ia dapat membikin warna fusion tak terdengar terlalu rumit, mengolah jazz menjadi lebih mudah diterima, serta membuat pop tak dianggap picisan. Ia memberi standar yang jelas untuk masing-masing nomor yang ia susun agar terjaga kualitasnya.
Dan untuk itulah, Candra Darusman layak didudukkan dalam daftar musisi menonjol dari era 80-an.
Editor: Nuran Wibisono