tirto.id - Pada Sabtu 18 Juli 2020, sekitar pukul tiga sore, Elias Karunggu (40), Selu Karunggu (20), dan kurang lebih 50 orang lain menanti perahu di pinggir Sungai Kenyam, Kampung Masanggorak, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua. Mereka hendak pergi ke pusat kota Kabupaten Nduga yang juga bernama Kenyam, jaraknya hanya setengah kilometer.
Mereka semua adalah pengungsi lokal yang terusir setelah terjadi penembakan pekerja PT Istaka Karya di Yigi pada 2 Desember 2018. Mereka mengungsi di hutan. Tujuan mereka ke Kenyam adalah untuk meminta perhatian pemerintah.
Elias dan Selu, ayah dan anak, berasal dari Distrik Yal, kampung di sebelah utara Nduga, sedangkan pengungsi lain dari selatan Nduga, Yenggelo dan Paro.
Tapi Elias dan Selu tidak pernah sampai pusat kota. Awalnya, TNI, yang bikin pos darurat di pinggir sungai, menginterogasi semua pengungsi. Sementara yang lain diperbolehkan lewat, Selu tidak.
Diaz Gwijangge, anggota Badan Pengurus Elsham Papua, LSM HAM, mengatakan berdasarkan keterangan saksi mata, Selu diinterogasi dan bahkan dipukul karena penampilan dan barang bawaannya. Kala itu Selu mengenakan kaus oblong loreng tentara, bercelana pendek hitam, dan membawa noken serta kapak--yang ia gunakan itu membelah kayu. Sementara Elias berkoteka.
Tak lama kemudian perahu tiba, pengungsi lain ke seberang sungai. Mereka naik kecuali Elias yang memilih menemani anaknya.
“Roh dan diri saya ditahan, jadi saya ikut anak. Tentara kalau bunuh anak saya bukan dia sendiri, tapi saya juga harus dibunuh. Tolong sampaikan kepada sekda bahwa om tua dan om muda ditahan di atas. Kalau kami dibunuh oleh tentara, jangan kaget,” kata Elias dalam bahasa Nduga Adi, yang diterjemahkan Diaz kepada reporter Tirto, Rabu (22/7/2020).
Elias merupakan paman dari Sekretaris Daerah Kabupaten Nduga Namia Gwijangge.
Saksi tak tahu apa yang terjadi kemudian. Namun 15 menit naik perahu, saksi mendengar dua tembakan. “Masyarakat sadar kedua korban telah ditembak.”
Esoknya, pemda dan masyarakat Nduga beramai-ramai turun ke ke jalan. Tak ada ibadah Minggu hari itu. Massa berorasi dari pagi hingga sore menuntut jenazah Elias dan Selu diserahkan ke mereka untuk dikuburkan.
“Mereka ini warga sipil yang ditangkap dan ditahan dalam kondisi tidak melakukan tindak kejahatan terhadap siapa pun,” kata Diaz, menegaskan betapa tak manusiawinya penembakan tersebut.
Kasus ini menambah panjang daftar pembunuhan di luar hukum. Laporan Amnesty International Indonesia bertajuk Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua menyebut pada Januari 2010 hingga Februari 2018 terdapat 69 pembunuhan di luar hukum di Papua--atau dalam istilah hukum internasional disebut 'unlawful killing'. Laporan menyebut tak ada satu kasus pun diproses lewat mekanisme penyelidikan atau penyidikan independen.
Jika tragedi ini terus berlanjut, kata Diaz, itu sama saja dengan proses pemusnahan orang Papua di tanahnya sendiri.
Sementara Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan penembakan ini “adalah tindakan yang tak terukur, brutal, dan merupakan pelanggaran HAM.”
Dalam keterangan tertulis, Selasa (21/7/2020) ia mendesak “investigasi segera, menyeluruh, independen, transparan, dan tidak berpihak.”
Meski berstatus militer, Usman menegaskan terduga pelaku harus diadili di bawah yurisdiksi peradilan umum sesuai perintah UU TNI.
Dibantah TNI, Dibantah Lagi
Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III (Kapen Kogabwilhan III) TNI Kolonel Czi Gusti Nyoman Suriastawa tidak membantah penembakan oleh aparat. Namun, ia menegaskan Elias dan Selu “merupakan anggota kelompok bersenjata di Nduga dan bukan masyarakat sipil.” Dua orang ini disebut bagian dari kelompok Egianus Kogoya.
Dalam keterangan tertulis, Selasa (21/7/2020), ia menegaskan Elias dan Selu sebetulnya telah diincar TNI. Menurutnya aparat melihat transaksi penyerahan pistol. Satgas menemukan satu pistol jenis revolver dengan nomor senjata S 896209, ponsel milik prajurit yang sempat dirampas oleh korban sebulan lalu, dua tas, parang, kampak dan uang tunai Rp9.520.000.
Namun, sebenarnya pemerintah di Jakarta pun tak menginginkan penembakan ini. Rabu (22/7/2020) lalu, saat mendatangi Papua, Menko Polhukam Mahfud MD mengimbau pasukan untuk mengedepankan pendekatan hukum dan tak terpancing “untuk melakukan tindakan yang bisa dilanggar melanggar HAM.”
Selain itu, Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom membantah Elias dan Selu anggota mereka. “Mereka warga sipil murni dan tidak ada komunikasi maupun aktivitas langsung dengan pasukan kami,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (22/7/2020).
Egianus, kata Sebby, juga menegaskan Elias dan Selu adalah keluarga dekat Namia Gwijangge, dan masyarakat Nduga tahu kalau keduanya tak berafiliasi dengan kelompok bersenjata. Ia juga bilang pistol yang ditemukan di lokasi kejadian dan diklaim milik korban jelas-jelas pembohongan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino