tirto.id - Ratih Puspa Nusanti melaporkan dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Ade Armando ke Bareskrim Mabes Polri. Ia tidak terima Ade mengunggah di Facebook gambar editan berkonten Imam Besar FPI Rizieq Syihab dan sejumlah ulama lain mengenakan topi sinterklas.
Ratih menilai unggahan Ade telah melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 156 KUHP. Pasal ini mengatur larangan bagi siapa pun menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Namun Ade berkilah: “Saya, kan menulis bahwa itu hoax? Kok malah dituduh menghina? Saya kan justru ingin agar orang tahu bahwa tidak benar Rizieq mengenakan pakaian siterklas. Saya justru ingin orang tahu bahwa tidak benar di hari Natal, Rizieq akan ada di Jakarta dan bersama kawan-kawannya merayakan Natal,” tulis pria kelahiran Jakarta, 24 September 1961 ini di laman Facebooknya.
Bagi Ratih, bantahan Ade mengada-ada. Ia menilai keterangan “Ini hoax ya” yang dicantumkan Ade dalam unggahannya tidak menutup unsur pidana.
“Sekarang kalau dia sudah tahu hoax kenapa masih diposting? Dan itu gambar yang sudah tidak mungkin, ini kan tentu seperti memancing masalah dan niatnya melecehkan,” kata pengacara yang tergabung dalam Peradi ini kepada Tirto.
Menilik aktifitas orang-orang tersebut di media sosial, sukar dipungkiri pelaporan terhadap mereka bertendensi politis. Situasi semacam ini menurut Institute for Criminal Justice Reform diprediksi meningkat pada pilkada seretak 2018 dan pemilu 2019. Pertanyaannya bagaimana polri mesti bersikap terhadap kentalnya nuansa politis di balik pelaporan-pelaporan tersebut?
Polisi Harus Preventif dan Netral
Anggota Komisi III DPR Fraksi PDI Perjuangan Junimart Girsang meminta kepolisian cerdas menyikap beragam laporan yang menggunakan dalil UU ITE. Ia berpandangan polisi tidak mesti melulu melakukan pendekatan hukum formal dalam menyikapi beragam laporan UU ITE. Sebab acap kali pelanggaran terjadi karena ketidaktahuan masyarakat.
“Polisi bisa saja mengambil kebijakan menyuruh agar orang tersebut (yang dianggap bersalah) menyatakan pernyataan maaf karena ketidaktahuan (mengenai peraturan ITE),” ujar Junimart kepada Tirto.
Menurut Junimart UU ITE berpotensi besar menjadi alat kriminalisasi terhadap seseorang mapun kelompok yang berlain pandang. Ia mengingatkan aparat untuk tidak mengabaikan kondisi sosiologis dan pengetahuan para pelaku. “Fakta menunjukkan perbuatan itu didominasi orang-orang yang tidak paham dan kebanyakan dari kampung,” katanya.
Anggota Komisi III DPR Fraksi PKS Nasir Djamil meminta polisi sejak sekarang mengedepankan upaya pencegahan daripada penindakan. Hal ini karena ia yakin kontestasi politik para pendukung politik di dunia maya akan mengalami eskalasi di Pilkada 2018 maupun Pemilu 2019.
“Ada upaya mencegah terjadinya hate speech atau apapun yang bisa dipidanakan. Perlu juga polisi di sini menggandeng pemangku kepentingan lainnya,” ujar Nasir.
“Kalau ada kasus-kasus yang diproses massif kepolisian, [namun] di sisi lain masyarakat melihat ada pelanggaran yang tak diproses, bisa saja publik melihat seolah-olah ada ketidakseimbangan, subyektivitas, dan politisasi,” katanya.
Leksono mengatakan ACTA siap mengawal pelaporan berdalil UU ITE yang bernuasa menjelekkan dan memojokkan ulama.
Wayan Sudirta, bekas Kuasa Hukum Basuki Tjahaja Purnama punya cara pandang berbeda dalam melihat maraknya aksi pelaporan berdalil UU ITE. Meski rawan menjadi alat kriminalisasi, Wayah mengatakan bisa saja UU ITE berperan mendewasakan masyarakat saat menggunakan teknologi informasi.
"Agar tak gampang memaki-maki, bicara seenaknya. Coba siapa yang sekarang bisa bebas dari makian? Presiden saja bisa dimaki. Ada hak yang harus dijaga tapi ada keteraturan demokrasi," kata Wayan.
Devie Rahmawati, dosen Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia mengatakan konflik politik para elit turut berpengaruh terhadap tingginya pelanggaran UU ITE. Devie mengatakan apa yang dilakukan masyarakat sesungguhnya cerminan dari perilaku elite yang mereka contoh.
“Karena para politikus ini orang yang intelek dan punya pengaruh di dunia virtual, tapi tidak menggunakan kekuasaan mereka di dunia digital atau di media untuk kebaikan,” ujar Devie.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengklaim institusinya telah berupaya mencegah pelanggaran pidana di media sosial (medsos). Ia mengakui, pengawasan di medsos mulai ditingkatkan pasca-kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok.
"Kebebasan itu kalau diisi yang provokatif itu kan sangat berbahaya. Oleh karena itu Polri juga memperkuat pengawasan di dunia maya," kata Tito di Mabes Polri.
Tito berharap polisi di Indonesia dapat lebih efektif menangani kejahatan di dunia siber pada 2018, tanpa harus mengekang kebebasan berpendapat masyarakat. "Oleh karena itu perlu aparat penegak hukum Polri untuk memperkuat kemampuan pengawasannya," katanya.
Sepanjang 2017, Polri telah menangani 5.061 kasus kejahatan siber. Sebanyak 1.368 kasus berhasil ditangani aparat kepolisian. Jumlah itu meningkat dari keberhasilan polisi menangani 1.119 kasus kejahatan siber pada 2016.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Jay Akbar & Maulida Sri Handayani