tirto.id -
Tim advokasi pondok pesantren Ibnu Masud yang terdiri dari Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa, Social Movement Institute, Amnesty Internasional Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, menelusuri alasan pembubaran pesantren ini.
Temuan tim advokasi ini menunjukkan bahwa kasus pesantren Ibnu Masud ini berawal dari insiden pembakaran umbul-umbul merah putih. Masyarakat sekitar lokasi pesantren diduga telah menggeneralisir kasus ini bahwa pembakaran umbul-umbul sebagai bagian radikalisme hasil dari pendidikan Ibnu Masud.
"Kalau memang ada persoalan hukum dengan pembakaran umbul-umbul yang dilakukan oleh seseorang itu adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab perorangan," tegas Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid di Cikini, Jakarta, Kamis (14/9/2017).
Usman menerangkan, peristiwa pembakaran umbul-umbul merah putih dipicu oleh seorang pengasuh santri berinisial MS pada tanggal 16 Agustus 2017. MS diduga sedang dalam tekanan psikologis saat melakukan hal itu.
Aksi MS menimbulkan emosi massa. Masyarakat sekitar lokasi langsung mendesak para pimpinan kecamatan untuk menutup pondok pesantren Ibnu Masud. Tekanan tersebut berpengaruh hingga saat musyawarah pimpinan kecamatan. Dari hasil musyawarah pimpinan kecamatan, tiga orang pengurus Ibnu Masud menandatangani pernyataan akan membubarkan pesantren pada tanggal 17 September 2017.
Tim advokasi berpendapat bahwa tindakan pembakaran yang dilakukan oleh MS merupakan tindakan individu dan di luar sepengetahuan para pengurus pondok pesantren. Situasi tersebut tidak bisa disamakan bahwa perilaku satu orang mewakili kelompok dengan pembubaran pesantren. Apalagi, dalam pemeriksaan, MS menyadari kesalahannya usai membakar umbul-umbul.
"MS ini juga telah mengakui kesalahannya dengan alasan khilaf karena kondisi psikologis dan dia ini memang merasa kecewa terhadap pemerintah karena banyaknya hal-hal ketidakadilan, korupsi," Usman menambahkan.
Selain itu, dikatakan Usman, tim advokasi juga telah mencermati bahwa pasal perusakan bendera yang dikenakan kepada MS adalah kekeliruan karena umbul-umbul jelas tidak memenuhi kualifikasi bendera sebagaimana dimaksud pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Instrumen HAM internasional tidak memberikan kewenangan negara untuk melakukan upaya pemidanaan berdasarkan konsep penghinaan, penodaan atau pencemaran suatu simbol-simbol abstrak.
"Terduga pelaku pembakaran umbul-umbul seharusnya hanya diancam pasal-pasal pidana umum seperti perusakan barang milik orang lain atau publik," kata Usman.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri