tirto.id - Pekan lalu, kasus pembobolan dana nasabah BRI membuat heboh. Modus kejahatan diduga dengan cara mencuri data kartu debet dengan teknik skimming.
Pada Senin (12/3), sejumlah nasabah berbondong-bondong mendatangi kantor BRI di Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Mereka melaporkan telah kehilangan sejumlah uang di rekening secara misterius. Berdasarkan informasi dari kepolisian, nasabah BRI yang melaporkan saldo rekeningnya berkurang mencapai 87 nasabah hingga 14 Maret 2018.
“Para korban tiba-tiba menerima pesan singkat yang menginformasikan saldonya berkurang dari Rp500.000 hingga Rp10 juta. Padahal, mereka tidak melakukan transaksi,” kata Kepala Bidang Humas Polda Jatim Frans Barung Mangera dikutip dari Antara.
BRI telah melakukan investigasi internal, antara lain soal jumlah kerugian nasabah, sistem keamanan bank, termasuk penyebab berkurangnya saldo rekening nasabah.
“Apabila hasil investigasi menunjukkan bukti skimming, kami akan bertanggung jawab penuh terhadap kerugian yang dialami nasabah,” kata Bambang Tribaroto, Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk kepada Tirto.
Kasus pembobolan rekening nasabah yang terjadi di bank pelat merah ini spontan jadi sentimen negatif bagi para investor pasar modal. Pergerakan saham BRI sepanjang pekan lalu tren melemah.
Harga saham bank dengan kode emiten BBRI sepanjang pekan lalu (12-16 Maret 2018) telah anjlok 2,17 persen menjadi Rp3.680 per saham dari Rp3.760, meskipun pada saat yang sama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga turun 3,01 persen menjadi 6.304 dari sebelumnya 6.500,.
Namun, harga saham BRI turun drastis melebihi IHSG pada 15 Maret saat manajemen bank mengeluarkan pernyataan siap mengganti dana nasabah yang hilang akibat skimming. Harga saham BRI kala itu turun 2,93 persen menjadi Rp3.640 dari Rp3.750, lebih dalam ketimbang IHSG yang turun 0,95 persen menjadi 6.321 dari 6.382,.
Reaksi pasar terhadap kasus pembobolan perbankan tak hanya terjadi pada Bank BRI. Bank BUMN lainnya seperti Bank Tabungan Negara (BTN) juga pernah kasus pembobolan dana nasabah. Saat itu terungkap dana senilai Rp258 miliar raib pada 17 Maret 2017. Hilangnya dana itu diduga disebabkan sindikat kejahatan bank, dan melibatkan oknum kepala kantor kas.
Terkuaknya kasus pembobolan ini menyebabkan harga saham bank dengan kode emiten BBTN itu sempat turun 2,73 persen ke level Rp2.200 per saham pada perdagangan 20 Maret 2017, dari perdagangan Jumat (17/3) di level Rp2.260. Pada saat bersamaan, IHSG juga anjlok, tapi hanya 1 persen menjadi 5.534 dari 5.540,.
Hanya Sementara
Persepsi setiap investor memang sangat beragam dalam menanggapi suatu skandal perbankan. Apabila tidak mengganggu fundamental perseroan, biasanya dampak dari sentimen itu hanya terjadi sesaat.
Selain di Indonesia, persepsi investor di luar negeri juga seperti itu. Beberapa kasus membuat saham bank tertentu terdepresiasi akibat adanya sentimen negatif. Salah satu contoh adalah kasus skimming terhadap ATM milik Bank of America.
Kasus skimming yang menerpa Bank of America pada 6 April 2016 itu terjadi di dua tempat, yakni di Wicker Park dan Bucktown. Kepolisian Chicago juga merespon cepat dengan memperingatkan warganya melalui media sosial untuk waspada.
Bank of America juga mengumumkan kepada para nasabahnya bahwa uang yang hilang akan diganti seluruhnya. Bank juga mendorong para nasabahnya untuk langsung memberitahukan pihak bank apabila terjadi transaksi yang mencurigakan.
Akibat kasus skimming ATM itu, harga saham Bank of America anjlok menjadi US$12,85 pada penutupan perdagangan Jumat (7 April 2016) dari sebelumnya sebesar US$13,27 pada penutupan harga saham Kamis (6 April 2016).
Analis Recapital Asset Management Kiswoyo Adi Joe menilai setiap bank memang memiliki peluang untuk dibobol oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Di Indonesia, hampir seluruh bank besar sudah pernah merasakan kasus pembobolan dan nasabah.
“Rata-rata semua bank pasti kena. Tinggal bagaimana antisipasi mereka, dan membuat agar masalah itu tidak membesar. Untuk itu saya pikir saham bank terdepresiasi karena pencurian atau fraud ini hanya sementara saja,” katanya kepada Tirto.
Selain itu, dampak kasus pembobolan bank juga tidak terlalu signifikan terhadap kinerja keuangan bank. Saat ini, kinerja keuangan bank-bank besar di Bursa Efek Indonesia masih positif, baik dari sisi marjin bunga bersih maupun profitnya.
BTN misalnya, telah membukukan laba bersih senilai Rp3,02 triliun sepanjang 2017, naik 16 persen dari laba bersih yang dikantongi pada 2016 sebesar Rp2,61 triliun.
Laba bersih BTN pada 2017 ditopang oleh penyaluran kredit dan pembiayaan yang tumbuh sebesar 21 persen menjadi Rp198,99 triliun dari penyaluran kredit dan pembiayaan 2016 senilai Rp164,44 triliun.
Sementara itu, BRI meraup pendapatan sebesar Rp102,89 triliun sepanjang 2017, naik 10 persen dari pendapatan 2016 senilai Rp93,99 triliun. Dari pendapatan itu, perseroan meraup laba bersih sebesar Rp29,04 triliun, naik 11 persen dari laba bersih 2016.
“Tapi dengan kebobolan ini sebenarnya membuat bank belajar kok. Jadi bakal lebih waspada lagi ke depannya. Saya yakin kasus-kasus pembobolan bank ini akan semakin berkurang jumlahnya,” ujar Kiswoyo.
Respons pasar modal hanya bersifat sementara dari kasus yang muncul, tapi risiko pembobolan bank tetap menjadi kekhawatiran para nasabah. Apalagi, bank pada dasarnya adalah bisnis kepercayaan. Sehingga tidak menutup kemungkinan, berdampak pada loyalitas nasabah.
Keputusan bank yang kena kasus skimming untuk mengembalikan uang nasabah yang hilang tentu hal sudah sepatutnya. Namun, mengembalikan kepercayaan soal sistem keamanan perbankan bukan pekerjaan yang mudah.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra